Sapaan Editorial
Alhamdulillah, segala puji dan syukur tercurahkan hanya kepada Allah, yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk kembali menerbitkan Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial Vol. 2, No. 2, Tahun 2009 dan berada ditangan para pembaca yang budiman. Dengan kerja keras dan kekompakan dan usaha-usaha akademik, isi jurnal edisi ini terus diupayakan agar supaya sejalan dengan karakteristik dasarnya; keislaman, keindonesiaan dan kedasaran sosial yang memihak (social empowering). Untuk itu, dalam edisi ini kami mencoba mengangkat berbagai persoalan aktual keagamaan, sosial yang mengitarinya dalam arti yang seluas-luasnya. Berinteraksi dengan budaya, politik, ekonomi, psychological dimension ditengah dinamika masyarakat beragama dewasa ini.
Oleh karena itu, pilihan artikel pertama disajikan dalam jurnal ini ialah persoalan interaksi kiai dengan santri yang penuh dengan interaksi-interaksi unik karena pola interaksinya tidak lazim ditemukan pada masyarakat umumnya, artikel ini ditulis oleh Muh. Syamsuddin dengan judul: Pola Hubungan Santri & Kiai Pondok Pesantren Attaroqi, Sampang Madura. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah tulisan yang mencoba mendedahkan persoalan kawin cerai yang soalah menjadi ”hal biasa” bagi para selebritas ibu kota ditulis oleh Lalu Darmawan, dengan judul Desakralitas Perkawinan: Kawin Cerai Artis dalam Perspektif Keluarga Islam dan Teori Pertukaran Sosial. Selanjutnya naskah yang di tulis oleh Ust. Retno Surnapati dengan judul: Al-qur’an dan Fenomena Alam Serta Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial. Dilanjutkan oleh Muhamad Ali Sahbana dengan judul atikel: Aspek Sosial di Balik Zakat: Sebuah Kritik Atas Penyaluran Zakat Masjid Jogokaryan.
Artikel selanjutnya diteruskan oleh Gatot Suhirman yang berjudul: Memahami Pluralisme Agama: Sebuah Telaah Wacana. Disusul kemudian oleh naskah yang di tulis oleh Fidagta Khoironi, Ekspresi Keberagamaan Komunitas Warung Kopi (Kasus Warung Kopi Blandongan Yogyakarta). Kemudian artikel yang berasal dari Doni Herdiyansyah berjudul: Benarkah Islam Tersebar Dengan Pedang Telaah Sosial-Historis Dinasti Umayyah. Dikuti oleh tulisan yang mengangkat persolan peran sebuah lembaga sosial dalam pelestarian budaya yang di tulis oleh Beti Widyastuti, berjudul; Motif Sosial Yayasan Kanthil Dalam Melestarikan Budaya Lokal Kotagede. Kemudian sebuah artikel yang ditulis oleh Faishal Hanif dengan judul: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim Di Dusun Wanteyan Grabag Magelang. Artikel terakhir berangkat dari Nurrochman dengan judul Teologi Humanis: Upaya Mengikis Radikalisme Islam.
Selain artikel-artikel tersebut, jurnal edisi ini juga memuat sebuah Risensi Buku yang berjudul: Pendekatan Tradisional dan Revisionis dalam Islamic Studies ditulis Fina ‘Ulya. Kami berharap semua artikel yang disajikan dalam edisi Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial kali ini dapat memenuhi hasrat pembaca budiman, sekaligus menanti sumbangsih pikiran-pikiran pembaca untuk kami terbitkan pada edisi mendatang. Salam hangat, penuh harap dari kami untuk anda semua. (Tim Redaksi).
Daftar Isi
Pola Hubungan Santri & Kiai Pomdok Pesantren Attaroqi, Sampang Madura
Muh. Syamsuddin
Desakralitas Perkawinan
Kawin Cerai Artis dalam Perspektif Keluarga Islam dan Teori Pertukaran Sosial
Lalu Darmawan
Al-qur’an dan Fenomena Alam Serta Implikasinya
Terhadap Kehidupan Sosial
Retno Surnopati
Aspek Sosial di Balik Zakat: Sebuah Kritik Atas Penyaluran Zakat
Masjid Jogokaryan
Muhamad Ali Sahbana
Memahami Pluralisme Agama: Sebuah Telaah Wacana
Gatot Suhirman
Ekspresi Keberagamaan Komunitas Warung Kopi
(Kasus Warung Kopi Blandongan Yogyakarta)
Fidagta Khoironi
Benarkah Islam Tersebar Dengan Pedang:
Telaah Sosial-Historis Dinasti Umayyah
Doni Herdiyansyah,
Motif Sosial Yayasan Kanthil Dalam
Melestarikan Budaya Lokal Kotagede
Beti Widyastuti
Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim
Di Dusun Wanteyan Grabag Magelang
Faishal Hanif
Teologi Humanis: Upaya Mengikis Radikalisme Islam
Nurrochman
Risensi Buku: Pendekatan Tradisional dan Revisionis dalam Islamic Studies
Fina ‘Ulya
Pola Hubungan Santri & Kiai Pomdok Pesantren Attaroqi,
Sampang Madura
Muh. Syamsuddin
Peneliti Lemlit UIN Sunan Kalijaga
Arikel ini ditulis dengan upaya untuk mengungkap bagaimana pola hubungan santri dan kiai di pesantren Attaroqi Sumenep Madura. Dengan analisis deskriptif interpretatif menunjukkan bahwa meskipun pola hubungan santri dan kiai speerti “patron client”, karena kedudukan kiai yang begitu kuat dengan kharismanya di mata santri, namun secara psikis keduanya memiluk hubungan egaliter. Inm terjadi karena pola hubungan yang digunakannya bersifat personal, terutama dalam peros pembelajaran di pesantren tersebut.
Kata Kunci : patron-client, kharsma, kia-santri, personal
A. Pengantar
Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan, keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) (Madjid : 1997: 3).
Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia, dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa/Madura disebut pondok atau pesantren, di Aceh dikenal rangkang, di Sumatera Barat dikenal surau. Nama yang sekarang diterima umum adalah pondok pesantren. Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kiai, ustadz, pengurus pesantren, dan santri hidup bersama dalam satu kampus berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Ia merupakan suatu keluarga besar di bawah asuhan seorang kiai atau ulama, dibantu oleh beberapa kiai dan ustadz. Dalam dunia pesantren, santri mempunyai dua orang tua, yakni ibu-bapak yang melahirkan dan kiai yang mengasuhnya. Ia juga mempunyai dua macam saudara, yaitu sesusuan dan saudara seperguruan (sesama santri) (Mastuhu, 1994: 57).
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di daerah pedesaan. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan, perlu melibatkan dunia pesantren (A'la, 2006:1-2, Mukti Ali, 1991:5).
Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan pesantren pun jadi memiliki fungsi ganda, selain sebagai lembaga pendidikan (keagamaan), sekaligus merupakan wadah dan alat perjuangan. Tidak mengherankan bila dari lembaga-lembaga pesantren ini selain melahirkan para ulama, kiai dan juga telah banyak melahirkan para pejuang bangsa.
Setelah bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan, pertumbuhan lembaga pesantren pun kian bertambah pesat, tidak hanya di daerah pedesaan, tetapi juga merambah masuk daerah perkotaan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, di lembaga-lembaga pesantren tidak hanya dilangsungkan pendidikan keagamaan saja melainkan juga telah mulai tumbuh pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum. Salah satunya Pondok Pesantren Attaroqi, Sampang Madura, Jawa Timur. Semenjak didirikannya tahun 1963, pondok pesantren ini telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang, dan kini telah menjadi sebuah pesantren yang terbilang besar di Kabupaten Sampang.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, keberadaannya ternyata mampu menarik perhatian masyarakat luas. Kendati ada sementara anggapan bahwa lembaga pendidikan pesantren kurang mampu menjanjikan masa depan yang cerah bagi para santrinya jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang bersifat umum, namun ternyata minat masyarakat untuk mengirimkan anaknya ke pondok-pondok pesantren masih tetap tinggi. Di samping itu, keberadaan pesantren yang dahulu hanya di dukung oleh kaum tani dan para pedagang. Kini menunjukkan adanya latar belakang ekonomi dan sosial budaya yang semakin beragam, di antaranya ada yang dari kalangan para pengusaha, pegawai dan para cendekiawan. Pesantren kemudian berhasil mempertegas eksistensinya sebagai pusat belajar masyarakat atau community learning centre. Pada konteks ini, pesantren memiliki otonomi dengan menggunakan model manajemen sendiri (self management) yang belakangan dikenal dengan istilah manajemen pendidikan berbasis masyarakat (Zubaedi, 2005:141) .
Hal lain yang lebih menarik dari lembaga pesantren adalah bahwa ternyata pesantren bukan hanya sekedar merupakan tempat anak didik menerima ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Lebih jauh dari itu, lembaga pesantren merupakan suatu wadah sosialisasi anak didik yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang budaya yang berbeda, dengan dasar norma-norma agama. Dengan kata lain, lembaga pesantren merupakan wadah untuk mentransformasikan nilai bagi para santrinya. Mengingat tulisan masalah-masalah pesantren cukup luas, maka dalam tulisan ini ruang lingkup pembahasannya dibatasi pada pola hubungan yang terjadi antara para santri dengan sesama santri dan kiai atau ustadz.
B. Pembahasan
1. Profil Pesantren Attaroqi
Pondok Pesantren Attaroqi adalah salah satu pesantren besar di kabupaten Sampang, Madura. Di kalangan masyarakat, pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Karongan. Ini disebabkan karena pesantren tersebut berada di kampung Karongan, Kelurahan Tanggumung, Kecamatan Sampang. Lokasi pesantren ini adalah di kabupaten Sampang, sekitar 2 km jaraknya dari ibukota kabupaten ke arah barat daya. Untuk mencapai lokasi pesantren ini bisa ditempuh melalui angkutan pedesaan. Dari Surabaya dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum (bus) jurusan Surabaya-Madura (Sumenep) maupun menggunakan angkutan yang lain. Jarak dari Surabaya ke lokasi pesantren adalah sekitar 90 km, melewati kabupaten Bangkalan maupun beberapa kecamatan yang ada di wilayah kabupaten Sampang.
Kondisi pesantren ini dapat digolongkan kedalam kategori pondok pesantren campuran, yaitu menggunakan tradisi salaf (tradisional) dan khalaf (modern). Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. Dalam hal ini, penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari oleh santri.. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi, demikian seterusnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas. Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajari suatu cabang ilmu. Pada pondok pesantren khalaf, pondok lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama. Dilihat dari struktur kelembagaannya, pengelolaannya, sarana dan prasarana maupun kurikulum dan proses belajar mengajar telah ditata dan dikelola secara baik. Namun ciri-ciri umum pesantrennya masih tetap utuh sebagai pesantren salafiyah.
Pesantren Attaroqi hingga kini memiliki jumlah santri relatif besar, yakni sejumlah 3000 santri dengan komposisi santri perempuan sebanyak 2000 orang dan santri laki-laki sebanyak 1000 orang. Areal pondok pesantren attaroqi relatif luas berada tidak jauh dari pusat kota. Pembagian lokal ruang sesuai dengan kebutuhan pondok termasuk masjid dan rumah kiai (pengasuh) yang ada di tengah areal pondok, sebagaimana umumnya pondok salaf. Keseluruhan santri ditempatkan di dalam sebuah asrama, dan ruang tidur di asrama tanpa adanya batas pemisah antara santri usia muda dengan yang dewasa. Untuk dapat makan secara tidak membayar sebagian para santri mendapat imbalan dari kontribusinya dalam ikut membantu atau menggarap usaha yang dimiliki kiai, seperti toko/warungan, dan kebun tembakau maupun yang lainnya. Secara tidak langsung pesantren attaroqi telah menanamkan semangat kewiraswastaan kepada para santri, selain terlihat adanya prinsip resiprositas yang terselubung.
2. Latar Belakang Pendidikan, Sosial dan Budaya Para Santri
Menurut tradisi pesantren, santri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama "santri mukim", yaitu murid pesantren yang berasal dari suatu daerah yang jauh dan selama ia menuntut ilmu pesantren, ia tinggal di dalam komplek pesantren. Kedua "santri kalong" ini dikaitkan dengan kebiasaan para santri dalam menuntut ilmu agama di pesantren, dimana mereka melakukan secara "nglaju" atau bolak-balik. Artinya, mereka berangkat dari rumah pada sore hari dan baru kembali lagi ke kerumah pada pagi harinya, sehingga diidentikkan dengan kehidupan binatang kalong (kelelawar) (Dhofier, 1982:51-52).
Berdasarkan kedua penggolongan di atas, para santri di pondok pesantren Attaroqi pada umumnya dapat digolongkan sebagai santri mukim. Ini berkaitan dengan peraturan dan tata tertib pesantren yang mewajibkan santrinya untuk tinggal dan menetap di komplek pesantren. Menurut Ziemek (Ziemek, 1986:32, Bdk. Dirdjosanjoto, 1999:149) kelompok santri mukim ini merupakan pengkaderan bagi timbulnya ulama-ulama Muslim di masa depan karena mereka belajar agama lebih intensif. Hal ini karena hampir semua mata pelajaran agama pada tingkat tersebut, kitab-kitabnya memakai pengantar bahasa Arab. Dengan demikian, latar belakang pendidikan para santri di pesantren ini bervariasi, yaitu dari tingkat ula (dasar), wustha (menengah) dan ulya (atas). Di dalam pandangan Islam, seseorang yang menuntut ilmu sesungguhnya dianggap sebagai seorang musafir yang tidak ada ujung pangkalnya. Dia berhak menerima zakat dari orang-orang kaya. Di samping itu, apabila orang tersebut meninggal pada saat menuntut ilmu, maka kematiannya dianggap sebagai mati syahid. Dalam tradisi pesantren, santri semacam ini disebut "santri kelana", dan santri model seperti itu sekarang sulit ditemukan.
Ada dugaan bahwa tradisi yang berkembang dalam lingkungan pesantren ini merupakan hasil akulturasi kebudayaan orang Madura dalam mencari hakekat hidup dan kebijaksanaan, serta tradisi Islam dimana berkelana mencari ilmu merupakan ciri utama sistem pendidikan tradisional. Dengan demikian santri tidak lagi seperti pada abad ke 19, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, melakukan rihlah ilmiyah, dari satu tempat ke tempat yang lain, belajar dari satu kiai ke kiai yang lain. Dengan berkembangnya sistem Madrasah dalam lingkungan (awal abad ke 20), salah satu ciri penting dalam tradisi pesantren tersebut mulai menghilang. Hal ini karena dalam sistem pendidikan Madrasah seorang santri yang menuntut ilmu diwajibkan tinggal menetap dilingkungan pesantren selama bertahun-tahun.
Bagi kebanyakan santri yang menjadi anggota atau warga sebuah pesantren, sebenarnya merupakan suatu pengalaman peralihan, karena pada mulanya mereka berasal dari latarbelakang sosial budaya yang berbeda, di antaranya ada yang berasal dari keluarga pedagang, petani, nelayan dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan para santri Pondok Pesantren Attaroqi. Secara umum latarbelakang sosial budaya mereka mayoritas berasal dari keluarga petani dari beberapa daerah di pulau Madura, Surabaya, Gresik, Jember, Situbondo, Bondowoso, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi dan sebagian kecil mereka datang dari Kalimantan.
Para petani yang biasa disebut dengan istilah oreng kene,' wong cilik atau orang kecil, pada umumnya hidup di daerah pedesaan. Hubungan sosial di desa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong. Sistem ini dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan interpersonal di seluruh desa. Agama dianggap sebagai urusan pribadi. Bagi masyarakat Madura, mereka juga sembahyang dan berpuasa pada waktunya, dan pergi ke Masjid pada hari Jum'at. Jika di desanya ada Masjid, biasanya dipertahankan oleh umat sendiri tanpa suatu organisasi formal. Para petani disini mengirimkan anaknya untuk belajar di sebuah pesantren, pada umumnya termasuk keluarga yang berkecukupan. Dalam pada itu, belajar di pesantren perlu adanya biaya, seperti biaya hidup, pemondokan, pendidikan, dan sebagainya. Zamahsjari Dhofier (Ibid: 40-41) mengatakan, bahwa biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu cukup mahal (baik untuk perjalanan, ongkos hidup dan kitab-kitab yang harus dibeli), sehingga biasanya tidak hanya ditanggung oleh keluarganya sendiri, melainkan juga kerabat dekatnya.
3. Pola Hubungan Santri
Santri merupakan salah satu elemen yang penting dalam suatu lembaga pesantren. Pada masa lampau, seorang santri yang pergi dan menetap di sebuah pesantren yang kesohor dan tempatnya jauh, merupakan suatu kebanggaan tersendiri, karena ia harus memiliki keberanian yang cukup, penuh ambisi, dan mampu menekan perasaan rindu, baik kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya. Ada beberapa alasan mengapa seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren, antara lain adalah, pertama ia ingin mempelajari dan mendalami kitab-kitab pelajaran Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren yang bersangkutan. Kedua, memperoleh pengalaman kehidupan di pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang kesohor. Ketiga, memuaskan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.
Selain itu, dengan tinggal di sebuah pesantren yang jauh letaknya dari rumahnya sendiri ia tidak mudah bolak-balik meskipun kadang-kadang menginginkannya. Berdasarkan dan kegiatan itu, maka seseorang santri yang telah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren diharapkan dapat menjadi seorang yang alim dan mampu mengajarkan kitab-kitab serta memimpin masyarakatnya dalam kegiatan keagamaan. Demikian pula halnya dengan para santri yang menetap di Pondok Pesantren Attaroqi, mereka dikirimkan oleh orang tuanya untuk menuntut ilmu di pondok pesantren ini dengan harapan-harapan tertentu, yaitu menjadi anak yang saleh.
Seseorang yang belajar di pesantren pada umumnya hanya karena ingin memperoleh kesalehan. Kata "saleh" memang bersifat sangat inti dalam kehidupan pesantren. Betapa tidak, karena hampir seluruh program pesantren umumnya diarahkan membentuk kesalehan individu setiap santri. Pagi-pagi sekali, setiap santri sudah harus bangun untuk menyongsong shalat subuh dengan tafakur. Seusai subuh, mereka biasanya melakukan tadarrus dan kemudian menanak nasi. Lalu, sepanjang hari mereka bertekun menelaah kitab kuning, untuk menggali khazanah kealiman yang menjadi sandaran bagi seorang yang ingin mencapai kesalehan. Dari kitab kuning, seorang seorang santri belajar bagaimana hidup wirai, yakni sebuah konsep kehidupan tasawuf yang suci. Begitu pula, dari kitab kuning seorang santri dapat mengenal batas-batas syar'i, untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan petunjuk kitab para ulama yang muktabar (Abdurrahman, 1995: 53-54).
Walaupun di Pondok Pesantren Attaroqi terdapat beberapa organisasi yang mengatur dan mewadahi hubungan di antara para santri, namun tidak terdapat pengelompokan santri berdasarkan tingkat tingkat pendidikan ke dalam kamar-kamar khusus. Pola hubungan di antara para santri ini cenderung mengarah pada corak hubungan pertemanan. Memang, di dalam struktur pesantren kedudukan mereka sama. Oleh sebab itu, dalam pola pergaulan di antara para santri menampakkan sikap yang bebas namun dalam batas kewajaran.
Dalam sebuah pesantren besar yang mempunyai ribuan santri seperti Pondok Pesantren Attaroqi, rasanya tidak mungkin seorang santri bergaul secara intensif dengan semua santri-santri lainnya. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi tingkat keakraban mereka dalam bergaul sehari-hari, sehingga unsur kecocokanlah yang memegang peranan penting. Dalam hal ini, diharapkan dapat memancarkan suasana kekeluargaan dan saling memperingatkan di antara para santri dengan cara halus dan sopan, sesuai dengan aturan-aturan yang tercantum dalam peraturan dan tata tertib yang dikeluarkan oleh pengurus pesantren. Ada dua bentuk peraturan dan tata tertib yang berlaku di pesantren ini; pertama, peraturan dasar pondok pesantren yang meliputi kewajiban-kewajiban dan larangan-laranga; dan kedua, peraturan tata tertib pondok pesantren.
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan, pola hubungan di antara para santri senior dengan santri yunior menunjukkan bahwa hubungan mereka cenderung mengacu kepada hubungan antara seorang guru dengan muridnya. Dalam berbagai kesempatan, para santri senior berusaha menasehati para santri yunior agar mereka rajin belajar, disiplin dan selain itu para santri yang lebih muda dalam kehidupannya sehari-hari tidak menyimpang dari peraturan dan tata tertib yang diberlakukan oleh pihak pesantren. Menurut pengakuan salah seorang santri senior, bahwa selama ini belum pernah ada santri yang melanggar peraturan dan tata tertib yang dapat digolongkan ke dalam pelanggaran berat. Akan tetapi pelanggaran-pelanggaran kecil pernah terjadi, dan sangsinya berupa hukuman kerja, membaca al-Qur'an, istighfar, dzikir dan lain sebagainya.
4. Pola Hubungan Santri dan Kiai
Dalam tradisi pesantren, gelar kiai biasanya digunakan untuk menunjukkan para ulama dari kelompok Islam tradisional, dan merupakan elemen paling pokok dalam sebuah pesantren. Dalam struktur sosial, politik dan masyarakat Madura, mereka digolongkan ke dalam salah satu dari kelompok elite. Walaupun perhatian mereka sebenarnya lebih terfokus pada masalah-masalah agama semata, tetapi dalam kehidupan sosial keberadaan para kiai dianggap mampu membuat keputusan-keputusan yang penting, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan saja, melainkan juga dalam percaturan politik. Barangkali karena alasan inilah, maka ada sementara ahli yang mengatakan bahwa kiai dengan pesantrennya pada dasarnya identik dengan sebutan kerajaan kecil, dimana kiai merupakan sumber kekuasaan dengan kewenangan yang absolut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa keberadaan kiai sebagai guru merupakan unsur yang paling pokok dalam sebuah pesantren. Seorang alim biasa disebut kiai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut. Oleh karena itu, hubungan antara kiai dengan santri dapat diibaratkan seperti dua sisi dalam mata uang. Artinya seorang kiai sebagai guru mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan para santri atau murid-muridnya.
Hubungan antara kiai dengan santri dalam kehidupan sehari-hari, nampaknya sangat dipengaruhi oleh pandangan dan keyakinan yang hidup di kalangan para santri, bahwa kiai sebagai penyalur keilmuan yang dapat memancarkan kepada para santrinya. Selain itu, konsep-konsep ajaran Islam yang mewajibkan seorang muda menghormati orang yang lebih tua, atau seorang anak harus hormat, patuh dan taat kepada orang tua, nampaknya sangat mempengaruhi bentuk pola hubungan di antara mereka. Oleh sebab itu, pola hubungan yang terwujud di antara para santri dengan kiainya tidak hanya terbatas pada hubungan antara murid dengan gurunya, melainkan juga mencerminkan hubungan antara anak dengan orang tuanya.
Hal yang demikian, diakui pula oleh para santri di Pondok Pesantren Attaroqi. Salah seorang santri senior, yang telah lama mengabdikan dirinya di pondok pesantren ini menuturkan, bahwa K.H. Alawy Muhammad yang kini menjadi pimpinan di pondok pesantren ini para santri menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. Sebagai seorang santri senior yang telah berhasil membaca kitab kuning, ia merasa bahwa keberhasilan itu sangat di dukung oleh kiainya, terutama K.H. Alawy Muhammad. Dukungan itu bukan hanya berupa nasehat belaka, melainkan juga dukungan materi, sehingga telah mengantarkannya menjadi seorang ustadz
Dampak sosiologis yang ditimbulkan dari kedudukan kiai berperan dalam membentuk ekspektasi-ekspektasi sosial di pesantren. Dengan kelebihan, baik secara sosial maupun spiritual, kiai memiliki pesan sentral yang dapat mengubah hubungan sosial antara kiai dan santri yang semula bersifat kontraktual menjadi hubungan pertukaran (social exchange). Kedudukan dan peran sosial kiai menjadi sentralistis dan berpengaruh besar dalam membentuk kesadaran intersubyektif santri, terutama cita-citanya dalam "meraih" kehidupan ala kiai (self indication) sebagai pemimpin spiritual (Romas, Vol.2, No.2, Juli-Desember 2008 :2-3). Oleh karena itu, kiai adalah elemen pokok dalam komunitas pesantren yang memiliki kedudukan dan peran sosial dominan sekaligus berfungsi sebagai pembentuk konsensus dan penegak nilai-nilai dan norma-norma kehidupan pesantren
C. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kiai dalam pesantren merupakan elemen yang sangat esensial. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren sangat bergantung kepadanya. Kiai dalam pengertian ini merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren yang mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya, ia juga disebut seorang alim. Selain itu, pondok pesantren attaroqi memiliki struktur organisasi yang jelas, namun hal yang menarik bahwa hubungan di luar organisasi antara santri dengan kiai, ataupun santri dengan santri begitu cair. Hubungan yang harmonis memberikan kesan hampir tidak terlihat adanya jarak secara kelas, usia atau secara psikologis di antara santri. Hal ini memang diakui oleh kiai, bahwa ia memang menginginkan hubungan yang tidak kaku di antara santri, dan ini dapat membantu proses percepatan dalam menyelesaikan pendidikan.
Sikap yang otoriter justru akan memperlambat studi santri. Kiai berusaha menghilangkan citra hubungan "patron-klien" sebagaimana image selama ini. Terbukanya iklim atau hubungan semacam ini, dikarenakan wacana kiai yang luas. Latar belakang kiai yang menjadi wiraswastawan dan menjadi pemuka masyarakat memberikan style kepemimpinan yang tidak primordial. Menurutnya, jika ini dikontruksi secara terus menerus akan terjadi kebuntuan dalam berkomunikasi, sehingga kiai tidak akan mampu melihat keinginan atau kekurangan sacara kapabilitas ataupun personal.
Meski hubungan tersebut cair, para santri tetap memegang jarak dan batas-batas ruang hubungan mereka dengan sendirinya. Bagi mereka, figur kiai adalah seseorang yang memiliki kharisma, dan realitasnya tetap saja terlibat hubungan yang kaku dan chauvinistik yang dikontruk sendiri oleh santri. Hubungan "senior-yunior" begitu kental, bahkan terkesan santri yunior begitu menghormati para santri senior. Dalam membangun jalinan komunikasi dan hubungan sosial para santri kebanyakan adalah di dalam masjid. Masjid mempunyai peran tidak saja sebagai tempat beribadah, tetapi menjadi ajang berkumpulnya para santri dengan kiai. Banyak persoalan sosial dan keagamaan dibahas dalam forum pertemuan Masjid di luar jam pelajaran, sehingga dengan model-model ini para santri dapat saling mengenal lebih jauh kedalaman wawasan ataupun personalitas satu sama lain. Sebaliknya dalam hubungan-hubungan semacam ini menjadi media atau saluran hubungan lintas kelas.
Dengan model yang demikian itu, para santri dapat menanyakan kepada kiai atau ustadz terhadap berbagai persoalan baik yang menyangkut masalah duniawi maupun ukhrowi, dan disini kiai akan menjelaskan persoalan tersebut khususnya dilihat dari perspektif agama. Di dalam forum itu kiai justru sering memberikan berbagai pengetahuan menyangkut persoalan sosial dan kemasyarakatan, berdasarkan kajian kitab secara tekstual dan kontekstual. Dengan cara ini, diharapkan santri dapat saling berinteraksi secara positif dan dapat memahami tentang ajaran Islam yang termuat dalam al-Qura’an dan Sunnah Rasul.
Interaksi ini dapat dijadikan sebagai saluran nilai-nilai Islam, dimana santri menimba ilmu. Tak jarang hubungan semacam ini lebih memberikan makna kepada santri untuk memahami terhadap apa yang dikehendaki kiai persantren secara institusional. Muatan pemberian akhlak mulia dan watak kekiaian, seperti kharisma, perilaku kepemimpinan, ketangkasan dan lain sebagainya ditularkan kepada santri. Dengan demikian santri lebih mengenal kiai yang memiliki sumber kekuatan dan emosi dalam memperdalam keyakinannya. Hal ini yang menjadikan tujuan santri tinggal di pondok pesantren yang tidak sekedar menimba ilmu, tetapi untuk mendapat barokah dari kiai baik sebagai pimpinan pesantren ataupun sebagai ilmuan Muslim agar selamat di dunia dan akhirat. Hubungan sosial yang intens ini, tak jarang mempertebal santri semakin yakin bahwa kiai atau ulama adalah menjadi pewaris Nabi. Dalam konteks semacam ini, terlihat sifat pengayoman kiai kepada para santrinya.
Daftar Pustaka
A'la, Abd., Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.
Abdullah, Irwan, dkk., Agama, Pendidikan Islam dan Tanggungjawab Sosial, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar, 2008.
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Ali, H.A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Azra, Azyumardi, Pesantren, Pluralisme dan Syariat Islam dalam Budaya Damai Komunitas Pesantren dalam Badrus Sholeh (ed), Jakarta: LP3ES, 2007.
Burs, Tom R., dkk., Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika Antara Aktor dan Sistem Untuk Ilmu Sosial, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.
Chumaidi, Syarief Romas, Sufisme dan Kekuasaan Jawa dalam Komunitas Pesantren, Jurnal Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol 2, No.2, Juli-Desember 2008.
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam , 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Jaman Ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Imam. Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia: Belajar Dari Ketegangan Politik Varian di Madukoro, Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
--------------, Adaptasi Sosial dan Peran Pendidikan Pesantren, dalam Achmad Syahid dan Abas Al-Jauhari (ed)., Bahasa, Pendidikan, dan Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Mochtar, Affandi, Kitab Kuning & Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi: Pustaka Isfahan, 2009.
Nata, Abuddin, Perubahan Sistem Pendidikan Pesantren Seiring Dengan Perubahan Sosial Ekonomi, Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan (Dialog), Edisi II, Tahun Ke-3, 2005.
Zubaeidi, Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ziemek, M., Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986
Desakralitas Perkawinan:
Kawin Cerai Artis dalam Perspektif Keluarga Islam
dan Teori Pertukaran Sosial
Lalu Darmawan
Dosen Islam dan Struktur Sosial
Prodi. Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
laludarmawan@ymail.com
Abstraksi
Menjadi semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai. Kawin cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis (aktor-aktris) apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi. Pada era booming media hiburan dan infotainment di televisi, kawin cerai kalangan artis, selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki rating tinggi. Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba mendapatkan informasi eksklusif soal kawin cerai ini.
Karena itu, tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform), namun lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Karenanya apapun yang dialaminya, layak untuk diketahui publik. Atau fenomena ini terjadi persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan sejenis. Sehingga kawin atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli sesuatu barang, dimana pada satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan karena telah mencapai titik jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan yang baru.
Kata Kunci: Islam, Media, Perkawinan
Pendahuluan
Keluarga pada saat ini dikatakan sebagai sebuah bentuk gaya hidup yang memiliki ragam interpretasi dan reeksistensi. Dalam beberapa ragam itu, memang didapatkan dua kecenderungan pola bagi keluarga itu sendiri. Pertama, keluarga diasumsikan sebagai sebuah konsekuensi hidup yang harus dijalani. Kedua, entitas keluarga merupakan salah satu pilihan hidup.
Keluarga Islam secara umum dimaknai sebagai sebentuk keluarga yang keyakinan dan kesadaran beragamanya menganut doktrin keagamaan Islam, dengan menjadikan struktur fundamental ajaran sebagai manifestasi dari kehidupan berkeluarga. Keluarga dalam Islam merupakan basis unit sosial kemasyarakatan. Jika Islam dalam kiasan spasial (spatial metafor) diasumsikan menjadi sebentuk jiwa, maka keluarga dapat dilihat secara metaforis sebagai raganya. Selama beberapa abad yang lalu, John. L. Esposito mengatakan keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik, bukan saja dalam catatan perjalanan peradaban Islam akan tetapi melingkupi seluruh kehidupan komunitas di dunia (Esposito, 2001: 154) .
Dalam beberapa dekade bahkan sampai sekarang, keberadaan keluarga-keluarga yang memeluk agama Islam lebih mampu diidentifikasi menjadi pola keluarga yang muslim bukan keluarga Islam beserta kekuatan implementatif yang menjadi keharusan fundamental untuk dilaksanakan. Argumentasi ini diperkuat dengan tidak ditemukannya konsepsi ideal keluarga Islam keluarga sakinah yang secara massif membumi dan aplikatif pada masyarakat muslim. Harus diakui konsep keluarga sakinah dirasakan sangat melangit karena lebih berpretensi pada keinginan-keinginan ideal yang secara implementatif tidak memiliki formulasi yang jelas dan tepat. Untuk mempertegas cita keluarga Islam selanjutnya, diperlukan terlebih dahulu bagaimana ajaran Islam memaknai pernikahan.
Di antara urgensi pernikahan dalam Islam adalah untuk membangun lembaga keluarga dengan menanggung bersama tugas dan tanggung jawab yang muncul sebagai konsekuensi dari terbentuknya sebuah lembaga keluarga. Antara lain tugas dan tanggung jawab itu adalah menciptakan ketenangan dan kenyamanan serta menjadikan keluarga sebagai tameng dan benteng penjaga bagi psiko-individual dan jiwa-jiwa di dalam keluarga itu sendiri (Faiz, 2001: 156). Tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah pernikahan dan keluarga menjadi wadah penciptaan generasi baru bagi kesinambungan masyarakat manusia.
Beberapa instrumen utama keluarga sakinah adalah kreasi efektif dan gerak progresif antara mahabbah (cinta romatis) yang merupakan tingkat permulaan dari proses hubungan laki-laki dan perempuan yang dalam psikoanalisis freudian berkaitan dengan libido yang sangat fisikal dan biologis, mawaddah (cinta sejati) yang berposisi setingkat lebih tinggi dari cinta romantis karena tidak semata-mata menilik unsur jasmaniah, akan tetapi lebih dalam yang berkaitan dengan nilai-nilai abstrak seperti kepribadian dan lainnya, cinta mawaddah berpotensi untuk bertahan lebih lama karena ditunjang oleh unsur kesejatian yang lebih kuat, (Madjid, 2004: 72-73).
Berangkat dari interpretasi ideal tersebut, nampaknya berbeda dengan persepsi kalangan publik figur yang seolah melihat perkawinan sebagai media sensasional. Karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membaca fenomena kawin cerai yang akhir-akhirnya justeru marak terjadi dikalangan para selibritis atau public figure. Komentar sekaligus pertanyaan yang sering muncul dari fenomena seperti ini adalah apakah kawin cerai artis hanya sebuah sensasional mereka untuk mengejar popularitas? Lalu dimana fungsi perkawinan yang oleh banyak kalangan dinilai sakral dan memiliki legitimasi teks suci? Dan tulisan ini akan mengurai persoalaan itu dengan menitik beratkan permasalahan; Petama, apa saja tipe dari putusnya (disolusi) sebuah ikatan perkawinan? Kedua, seberapa jauh akibat yang dirasakan pasangan suami-isteri yang mengalami perceraian?
Problem Teoritis Tentang Perceraian
Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang di dalamnya menyangkut banyak aspek seperti : emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku. dari beberapa kajian tentang percerairan di negara-negara berkembang menyebutkan bahwa disetiap masyarakat terdapat institusi yang menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan atau dalam istilah umum disebut perceraian memiliki kesamaaan ketika mempersiapkan suatu perkawinan.
William J. Goode menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki definisi yang berbeda mengenai konflik antara pasangan suami-isteri serta model resolusinya. Sosiolog ini beranggapan bahwa pandangan yang menilai perceraian merupakan suatu kegagalan adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan sebagai lambang cinta dengan sejuta romantis. Padahal semua sistem perkawinan setidaknya terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-masing individu itu memiliki kebutuhan, hasrat, serta latar belakang sosial yang bisa saja berbeda satu sama lain, akibatmnya sistem ini dapat memunculkan ketegangan dan ketidak bahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga.
Teori pertukaran dalam sosiologi melihat perkawinan sebagai proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta antara hak dan kehilangan yang terjadi antara pasangan suami-isteri. karena perkawinan merupakan proses integrasi dua orang yang hidup bersama, sementara latar belakang sosial budaya, keinginan serta kebutuhan mereka berbeda maka keinginan dan kebutuhan itu harus senantiasa dirundingkan serta disepakati bersama (Dawson Scanzoni, 1981:
Perceraian kerapkali diawali dengan berhentinya proses negosiasi antara pasangan suami-isteri yang pada gilirannya menyulitkan kedua belah pihak memproduksi kesepakatan yang dapat memuaskan kedua pihak. Pasangan suami-isteri seolah-olah tidak dapat mencari jalan keluar, situasi seperti ini boleh jadi dapat menimbulkan perasaan untuk memaksakan kehendak sendiri bahkan berupaya menciptakan konflik daripada menemukan resolusi.
Jika dalam suatu hubungan suami-isteri sudah mulai melakukan sikap-sikap apriori atau mencari-cari kesalahan, maka sesungguhnya hubungan itu seolah telah menghilangkan tradisi memuji dan menghargai pasangan. Padahal, pujian dan penghargaan yang diberikan kepada pasangan suami-isteri merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Dengan demikian, perceraian acapkali terjadi karena lenturnya kebiasaan komunikasi dalam upaya menghargai prinsip pasangan.
Berbicara mengenai situasional perceraian atau lebih tepatnya proses perceraian, tampaknya banyak faktor yang menyebabkan perceraian sebagai pilihan. dari hasil penelitian mengenai stabilitas keluarga di negera-negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Eropa, seperti yang dikemukakan Murdock bahwa tingginya tingkat perceraian dilatari karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang masih rendah (Erna Karim: 1999)
Lebih jauh Murdock menggambarkan tinggi-rendahnya tingkat perceraian bergantung dari dari kesadaran masyarakat terhadap tuntutan pemenuhan pendidikan. Di Jepang sampai dengan tahun 1920, tingkat perceraian lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Tingginya tingkat perceraian di Jepang berkaitan dengan berlakunya sistem keluarga luas yang menganut garis keturunan patrilinial dan kekuasaan patriarkhal. Sama seperti yang terjadi di masyarakat tradisional Cina. Perceraian pada masyarakat Jepang waktu itu lebih sebagai bentuk refleksi dari ketidak-puasan para isteri terhadap dominasi mertua. Tetapi seiring dengan proses berlangsungnya urbanisasi serta beralihnya sistem keluarga dari model kelurga luas menjadi keluarga konjugal, Conjugal family dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah keluarga yang terdiri dari (ayah, ibu dan anak). Lihat (Hendi Suhendi , 2001: 148). maka tingkat perceraian pun semakin menurun.
Sementara di negara-negara Islam, tingginya tingkat perceraian dikaitkan dengan norma agama yang memperbolehkan para suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Goode mengungkapkan, tingginya tingkat perceraian di Algeria 1900 adalah empat kali lebih tinggi daripada tingkat perceraian yang terjadi di Amerika Serikat, tetapi seiring dengan modernisasi di Algeria pada tahun 1940 tingkat penceraian pun turun menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perceraian yang terjadi di Amerika Serikat. Dengan demikian modernisasi dapat memberikan implikasi terhadap turunnya angka perceraian, lebih jauh Goode memberikan kesimpulan bahwa negara-negara Islam yang belum mengalami modernisasi sesungguhnya secara tidak langsung telah memberikan peluang bagi keberlangsungan praktik perceraian (William J Goode, 1985).
Jika pada tahun 1940 tingkat perceraian di Amerika Serikat justeru lebih tinggi dengan perceraian yang terjadi di Algeria, oleh Jacobson dikomentari sebagai akibat dari tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama menjelang Perang Dunia I. Selain itu Jacobson melihat karena adanya kaitan antara perang dengan tingkat perceraian. Sebab bagaimana tidak, ternyata perang telah memisahkan banyak pasangan suami-isteri untuk jangka waktu yang cukup lama. Situasi seperti ini cukup berpotensi bagi pasangan yang berpisah lama untuk melakukan hubungan intim diluar perkawinan yang sah oleh karena faktor kesepian.
Dengan demikian, tingginya tingkat perceraian dalam suatu masyarakat sebelum jauh mengelaborasi dalam konteks perceraian masyarakat kota lebih jelasnya kalangan artis, untuk sementara dapat disimpulkan karena pertama, hilangnya tradisi komunikasi yang saling berusaha memuji dan menghargai. Kedua, karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap signifikansi ilmu pengetahuan. Ketiga, belum bersentuhnya ekspansi modernisasi terhadap suatu kawasan kultur. Keempat, masih leluasanya praktik kekuasaan model pariarkhal. Kelima, adanya legitimasi agama terhadap para suami untuk menjatuhkan talak dan keenam adalah karena situasi keberpisahan yang cukup lama antara pasangan suami isteri yang berpotensi menciptakan perselingkuhan.
Berangkat dari kerangka teori diatas, setidaknya cukup representatif jika digunakan untuk mengkaitkan dengan perceraian yang terjadi dikalangan artis (public figure) yang akhir-akhirnya ini selalu menghiasi tayangan media nasional bahkan kerapkali menjadi berita utama. Apakah itu proyeksi pasar untuk meningkatkan incam atau tidak, yang jelas implikasinya terhadap pencitraan makna keluraga mulai dipertanyakan.
Media dan Kawin Cerai Artis
Semacam stereotype bahwa artis identik dengan kawin cerai. Kawin cerai dalam konteks ini dianggap sebagai kenyataan biasa bagi artis (aktor-aktris) apakah itu pedangdut, pesinetron bahkan artis hasil audisi. Karena itu, misalnya ketika seorang artis tiba-tiba menggandeng pasangan baru atau seorang artis ditinggalkan pasangannya, hal itu dianggap sebagai peristiwa biasa saja. Pada era booming media hiburan dan infotainment di televisi, kawin cerai kalangan artis, selebritis atau public figure menjadi topik utama yang memiliki rating tinggi. Jangan kaget jika media hiburan dan infotainment, berlomba-lomba mendapatkan informasi eksklusif soal kawin cerai ini.
Mulai dari proses pengajuan gugatan di pengadilan, proses persidangan hingga keputusan majelis hakim, merupakan peristiwa yang tidak pernah luput dari perhatian para jurnalis infotaimen. Karena itu tidak mengherankan, jika setiap hari masyarakat dijejali dengan berbagai berita mengenai kawin cerai di kalangan artis. Masyarakat seolah 'dipaksa menelan' isu yang sumbernya antah-berantah. Pasangan artis dikabarkan tengah mengalami badai rumah tangga dan berencana pisah ranjang. Namun faktanya, mereka akur-akur saja. Dari sisi format liputan kawin cerai lebih mengedapankan hard news ketimbang soft news atau feature. Sebagaimana lazimnya wartawan mengkonfirmasi narasumber, para peliput 'kawin cerai' juga melakukan hal yang sama.
Berikut beberapa model pemberitaan media infotaiment;
Cut Memey Takut Nikah
ARTIS sinetron Cut Memey mengaku masih takut untuk menikah. Salah satu alasan dia belum berani menikah sekarang, karena melihat kenyataan sesama rekannya di kalangan artis banyak yang kawin cerai. Katanya, “salah satu alasannya memang itu. Saya harus pikir matang-matang kalau mau menikah.” Menurut Cut Memey, bagaimana pun kenyataan yang dialami artis yang kawin cerai memberi dampak kepada artis lain yang belum pernah menikah. Namun, lanjutnya, hal semacam itu jangan menjadi sesuatu yang menghantui, itu menjadi pelajaran saja. “Kita harus pandai-pandai mengambil hikmahnya. Kalau saya penginnya menikah sekali untuk selamanya.” http://www.poskota.co.id/rubrik.asp?page=16&ik=52
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Isu Cut Keke Nikah Siri ARTIS cantik Cut Keke dikabarkan telah menikah secara siri dengan Malik Bawazier, SH pengacara sejumlah artis. Ketika dihubungi di di sela acara 1 Tahun Tsunami di Museum Gajah, Jakarta, Cut Keke menolak diwawancara, “Kalau soal pribadi, aku mohon maaf. Acara ini menyangkut musibah saudara-saudara kita di Aceh. Jadi, nggak ada hubungan dengan soal pribadi,” kata Cut Keke. http://www.poskota.co.id/rubrik.asp?page=16&ik=52
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengamati liputan mengenai kawin cerai para artis, nuansa entertaintmentnya lebih kental, jika dibandingkan dengan aspek informasi dan edukasinya. Dalam konteks perceraian, ternyata keberadaan figur menjadi sorotan utama, daripada pokok persoalan yang mendorong mereka bercerai, atau implikasi yang akan muncul akibat perceraian itu. Bagaimana amar putusan hakim menjadi tidak penting, karena komentar pihak-pihak yang bercerai jauh lebih penting.
Tidak jauh berbeda dengan liputan mengenai perceraian, liputan mengenai perkawinan tidak kalah hebohnya. Bagaimana tidak pasangan artis yang akan menikah, diburu ramai-ramai. Kalangan media secara bersama-sama mendatangi tempat perkawinan. Pada saat perhelatan itu dinyatakan tertutup, muncul reaksi keras dari para wartawan infotaimen. Ujung dari situasi ini biasanya para artis menggelar jumpa pers. Ada kesan, bahwa artis sebagai public figure telah menjadi milik publik. Dan karena menjadi milik publik, tidak ada lagi privilige, semuanya harus serba terbuka, termasuk prosesi perkawinan atau akad nikah.
Kawin-cerai dikalangan artis, sebenarnya hal yang biasa, karena hal yang sama juga menimpa kalangan masyarakat lain. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa ada coverage besar-besaran mengenai perkara kawin-cerai ini. Dengan orientasi tidak lagi untuk sebuah informasi (to inform), namun lebih mengedepankan aspek ’selingan semata’ (leisure). Apakah fenomena ini terjadi karena faktor ’ketenaran’ (magnitude) yang dimiliki para artis sebagai public figure. Karenanya apapun yang dialaminya, layak untuk diketahui publik. Atau fenomena ini terjadi persaingan yang semakin ketat diantara media hiburan sejenis--termasuk didalamnya infotainment--lantaran isu soal kawin-cerai memiliki rating tinggi, berita soal kawin cerai dikupas habis-habisan. Atau telah terjadi pergeseran pandangan atau penilaian publik mengenai makna perkawinan. Sehingga kawin atau cerai, tidak lebih dari fenomena orang membeli sesuatu barang, dimana pada satu kurun waktu bakal terjadi titik jenuh dan karena telah mencapai titik jenuh sehingga barang lama harus digantikan dengan yang baru inilah yang oleh Lyotar disebut economic libidinal, yaitu wilayah pribadi tidak lagi bersifat privat tetapi berubah menjadi wilayah publik.
Sekali lagi tanpaknya sosiologi dengan teori pertukaran sosial, (Ritzer: 2003), (Poloma, 2003) sebuah teori yang dilandasi oleh prinsip transaksi ekonomi yang bersifat elementer yaitu adanya penyedia barang atau jasa dan berharap memperoleh imbalan atau ganjaran sesuai dengan diharapkan. Demikian juga dengan kenyataan kawin-cerai artis dinilai memiliki muatan kemitraan antara artis yang bersangkutan dengan kalangan media infotaiment (ada penyedia--ada pengguna). Artis dalam situasi ini boleh jadi memposisikan diri sebegai penyedia berupa hal-hal yang oleh sebagian kalangan dianggap tabu, sementara media bertindak sebagai pengguna yang pada gilirannya ditransfer sebagai komoditas pasar, demikian juga sebaliknya.
Dengan bahasa lain, kawin-cerai sengaja dieksploitasi para artis guna mengangkat popularitas mereka yang mulai memudar atau semakin mengokohkan popularitas yang telah diraihnya. Dari berbagai kemungkinan yang ada, keterkaitan antara kawin-cerai dengan popularitas tampaknya ada benang merahnya. Artis sengaja memanfaatkan momentum kawin atau cerai untuk mendongkrak atau memperkokoh popularitasnya. Karena dengan kasus itu, ia mendapatkan publikasi 'gratis' dalam kurun waktu yang lama. Apalagi jika dibalik kasus kawin-cerai tadi muncul polemik berkepanjangan. Ia akan menjadi pusat perhatian publik. Bila pada saat yang sama ia meluncurkan album baru atau membintangi sinetron baru, kasus yang tengah melilitnya bisa menjadi 'jembatan' antara dirinya dengan publik. Secara finansial, ini jelas menguntungkan.
Berangkat dari situasi ini, sepertinya argumentasi yang dikemukakan Goode, Murdock dan Jacobson tentang perceraian sebagai pilihan lebih dilatari oleh karena faktor mis komunikasi antar pasangan suami-isteri, rendahnya tingkat pendidikan, tradisionalis, belenggu patriarkhal dan dogma agama, untuk kasus kawin-cerai kalangan artis teori ini tidak cukup signifikan, bagaimana tidak kalangan artis yang nota benenya adalah orang-orang yang boleh dikategori sebagai kelompok kelas elit secara emosional maupun finansial.
Beberapa pakar sosiologi berpendapat bahwa tingginya angka percerian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi (Randall Collin, 1988). Kasus kawin-cerai para artis ini tampaknya lebih dipicu sebagai implikasi dari arus modernisasi yang secara tidak langsung dapat menuntut masyarakat terutama para isteri untuk memperoleh otonomi, keadilan dan imbalan. Kondisi pasangan dalam hal ini suami atau isteri ketika dalam sebuah keluarga mereka tidak memperoleh imbalan berdasarkan target sebelum melakukan perkawinan, juga bisa berujung pada perceraian.
Sembari penjelasan Goode, Murdock dan Jacobson dipergunakan pada kasus perceraian para artis tidak cukup memadai, tetapi ketika dipakai untuk mengkaji kasus perceraian yang terjadi dikalangan masyarakat secara umum, hemat penulis cukup signifikan. Menyebut satu kasus saja; misalnya tingginya tingkat perceraian di Lombok karena legitimasi adat tradisional yang membenarkan kawin lari, sehingga banyak dari para pelakunya yang justeru masih remaja yang pada gilirannya harus putus sekolah karena kawin di usia dini (Ryan Bartholomew, 2001). Selain legitimasi adat, faktor kemiskinan juga mengakibatkan keretakan rumah tangga karena terlalu bergantung pada pendapatan satu pasangan saja.
Selain karena arus modernisasi, kawin cerai di kalangan artis juga dimungkinkan sebagai aksioma negatif dari pemahaman atas dogma agama yang tidak melarang perceraian yang dilakukan berulang-ulang kali, tipologi pemahaman seperti ini sesungguhnya dapat menimbulkan geliat keberanian seseorang untuk melakukan tindakan kawin-cerai. Sehingga berimplikasi pada mundurnya peradaban kemanusiaan, karena anak sudah kehilangan media belajar paling utama yaitu keluara (Stephen K. Sanderson, 2003).
Dengan demikian, kawin cerai yang dilakukan kalangan artis timbul sebagai implikasi dari model pilihan hidup yang serba glamor, dimana sikap ini betul sama-sekali tidak menguntungkan secara finansial kalaupun untung hanya cukup sebatas pelakunya saja tetapi tidak bagi generasi berikutnya (next generation). Betul yang dikatakan Goode kelayakan pendidikan anak dengan keluarga yang tidak harmonis jauh lebih baik dibanding pendidikan anak dengan orang tua yang hidup terpisah atau bercerai.
Popularitas Keluarga Sakinah dalam Konteks Keluarga Kontemporer
Dalam kajian sosiologi dikenal sebuah pendekatan Comte yang dikenal dengan teori evolusi atau hukum tiga tingkatan yaitu evolusi teologis, metafisik dan positivistis (Ritzer: 2004: 17). Demikian halnya dengan keluarga secara sosiologis juga mengalami proses evolutif yang berkorelasi positif dengan gerak laju perkembangan zaman. Gerak evolusi dimulai dari tipologi keluarga tradisional, pra modern, modern dan kontemporer seperti saat ini. Asumsi dan opini publik tentang eksistensi dan signifikansi keluarga pun mengalami proses reinterpretasi dan rekonstruksi sesuai dengan perubahan-perubahan sosiologis yang terjadi.
Sistem sosial Islam menjamin terpenuhinya cita-cita mulia tentang keluarga dan anggota lain yang ada didalamnya. Islam dengan doktrin keagamaannya membangun institusi ini di atas asas yang kuat, cermat, dan berorientasi serta berlandaskan realitas kehidupan. Regulasi yang ditawarkan menjamin terciptanya keluarga bahagia, lantaran nilai kebenaran yang dikandungnya selaras dengan fitrah hanif manusia. Pada akhirnya semua aturan Ilahi bertujuan membentuk kehidupan manusia yang ideal.
Al-Quran memberikan harapan besar dalam membangun ikatan keluarga yang kuat untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sanggup memelihara aturan-aturan Allah dalam berkehidupan. Untuk itu, dituntut setiap individu muslim untuk mempersiapkan pengabdiannya di tengah masyarakat dalam lingkungan keluarga. Penataan dan pengaturan fondasi keluarga dalam Islam sangat berpengaruh pada kontinuitas kehidupan ummat manusia. Sehingga penataan yang berlaku baik dari masa kelahiran manusia, tumbuh berkembang dan dipenuhi dengan sublimasi pendidikan nurani akan berhasil dalam bentuk kemampuan menjalani kehidupan di atas koredor fitrah dengan nyaman dan terjaga dari residu-residu budaya dan hal-hal yang di luar fitrah manusia utuh.
Hal fundamental yang menjadi orientasi struktural bagi idealitas keluarga dalam konteks post industri saat ini adalah universalitas Al-Quran yang mengaitkan regulasi keluarga dengan masalah dasar keimanan yang ada dalam doktrin keagamaan Islam, artinya aturan dan hukum Islam tentang keluarga berasal dari Allah SWT (Faiz, 2001: 73). Pada implementasi dari upaya merajut dan menjalankan bahtera rumah tangga bernafaskan religiusitas, maka ajaran dan regulasi keluarga sepatutnya digariskan dengan mengacu pada sumber Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman utama.
Sejak hadirnya Islam pada abad ke-7 M telah membawa perubahan struktur keluarga waktu itu. Meskipun bagan dasar patrilinialitas sedikit dipertahankan, akan tetapi sangat terlihat dengan jelas adanya beberapa modifikasi pada bebrapa bagian dari konstruksi keluarga secara umum terutama pada posisi perempuan. Nabi Muhammad pun diakui memberikan perhatian yang besar dan khusus bagi perempuan yang sejak masa lalu diposisikan subordinatif dan dianggap sebagai manusia yang dinomorduakan. (Esposito, 2001: 155).
Pada masa lalu dan juga pada masa sekarang, keluarga telah melalui proses evolusi dan revolusi dalam mempola secara apik konsepsi praktis bagi kelangsungan kehidupan keluarga di manapun berada yang dikondisikan sesuai dengan sistem sosial tiap komunitas. Keluarga secara fungsional telah memberikan dukungan ekonomi dan emosional kepada seluruh anggotanya. Menurut Halim Barakat, tiap individu dalam keluarga mewarisi identitas keagamaan, kelas dan kultural yang diperkuat oleh laku adat dan kebiasaan kelompok atau komunitas (Halim Barakat, 1985: 48).
Lembaga keluarga secara obyektif bertahan lama sebagai bagian dari sistem sosial kemasyarakatan karena memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Perubahan radikal yang terjadi di Barat baik yang berkaitan dengan struktur keluarga baru dengan penguatan keluarga inti, institusi baru pemeliharaan anak (child bearing) seperti tempat penitipan anak dan lainnya serta pengembanan tanggung jawab sosial dan ekonomi dari hierarki keagamaan ke arah sekularisasi yang menjadi ciri khas Barat ternyata tidak berlaku serupa dalam keluarga masyarakat Islam. Dengan begitu, untuk sebagian besar potongan sejarah dalam bingkai kesinambungan dan perubahan, ideal keluarga Islam merupakan lembaga yang tidak saja mereproduksi entitas diri secara fisik, tetapi juga mereproduksi nilai keagamaan dan sosial anggota secara komprehensif.
Esposito menjelaskan dalam catatan sejarah dunia Islam pada masa awal abad-abad ke-19, di atas rata-rata seluruh negara termasuk negara Islam yang sebagian penduduknya menganut Islam dan menjadi unit keluarga Islam mendapatkan tekanan baru akibat kekuasaan kolonial Barat dari Mesir sampai India, Maroko tidak terkecuali Indonesia yang secara langsung berakibat pada penguasaan kendali politik, ekonomi, budaya, struktur sosial dan lokal yang terdevaluasi dengan berupaya menggantikannya dengan model-model Barat (Esposito, 2001: 156).
Unit Keluarga tidak kebal dengan hegemoni imprealisasi Barat. Namun tanpa diduga institusi inilah yang memulai perlawanan dan berusaha menolak keberadaan imprealisme. Unit keluarga berfungsi menjadi tempat perlindungan keagamaan, sosio-kultural, dan pengingkaran terhadap dominasi Barat. Pada kelanjutannya di permulaan abad ke-20, perlawanan antikolonial terorganisasi dan tertata menjadi lebih serius dan militan, seperti yang terjadi di wilayah-wilayah Indonesia, India dan bagian lain dunia Islam. Eksistensi keluarga menjadi fokus perlawanan seperti itu (Esposito, 2001). Penopang kuat realitas ini adalah pemahaman cerdas terhadap aktivitas yang memperoleh legalitas dalam retorika yang berbicara perihal kewajiban menjaga agama dan budaya Islam khususnya dalam keluarga di hadapan musuh bersama (public enemy) yaitu kekuatan politik dan ekonomi Barat yang berorientasi skularistik dan anti-Islam.
Pada saat semua negara di belahan dunia Islam terlepas dari kungkungan imprealisme, unit keluarga Islam mengalami perubahan orientasi yang diakibatkan oleh dialektika panjang dengan perubahan zaman dan perkembangan dunia yang progresif. Masih banyak persoalan disisakan bagi eksistensi keluarga Islam sendiri, termasuk menjadi sasaran beraneka ragam tekanan ekonomi dan politik.
Keberadaan keluarga diusik kembali oleh persoalan-persoalan baru yang lebih cenderung berusaha menegasikan pilar-pilar pranata yang telah berlaku lama dan membudaya. Tipologi keluarga dalam konteks saat ini tengah mengalami perubahan signifikan berbentuk kemampuan para perempuan membagi dan atau meninggalkan ruang domestik untuk bekerja di luar rumah, tuntutan elastisitas distribusi peran bagi perempuan, serta fenomena disorganisasi keluarga yang menuntut koreksi dengan reformulasi dalam keluarga muslim.
Perkembangan pemikiran tentang keluarga dewasa ini juga semakin memperkuat pandangan bahwa keluarga menjadi instrumen utama sebagai batu penyanggah tempat berdirinya budaya dan sosialisasi keagamaan. Idealitas keluarga Islam yang mendukung terciptanya keluarga luas (extended family) yang menuntun pada kepaduan keluarga yang lebih besar telah menjadi harapan yang seharusnya terpenuhi dalam perjalanan evolusi keluarga muslim kontemporer.
Tanpa menafikan proses dialektis revolusioner antara perkembangan dunia post industri dengan entitas keluarga Islami beserta perubahan progresif dan atau regresif yang ada, idealitas keluarga muslim tetap saja mendapatkan tantangan berat dari upaya perubahan orientasi bagi keluarga. Seperti yang dicatat oleh Khurshid Ahmad bahwa institusi keluarga terpaksa terfragmentasi dan retak, keluarga sebagai fondasi masyarakat kontemporer dan lembaga budaya dasar yang sensitif ini sedang terancam baik dari dalam maupun dari luar akibat dari krisis budaya zaman dengan kekuatan destruktif modernisasi yang kebablasan (Khurshid Ahmad, 1968: 98).
Untuk sejumlah pendapat para pengamat dan pemikir, keluarga Islam tampaknya tidak terlalu terdisintegrasi dengan revolusi budaya massa yang cenderung materialistik dan sekular, tetapi lebih pada proses evolusioner pada upaya reformulasi dan reorganisasi keberadaan keluarga guna menanggapi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Dengan beradaptasi dan berevolusi, unit keluarga muslim telah menjadi lembaga sosial yang sangat fleksibel, interdependen dan merupakan pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kelangsungan hidup kelompok.
Kesimpulan
Barangkali krisis keluarga yang sesungguhnya bukanlah karena orang semakin banyak hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau lebih banyak yang bercerai. Tetapi krisis yang sesungguhnya adalah mulai meningkatnya ketidak mampuan keluarga sebagai surga tempat mengeluh dan berbagi rasa. Keluarga tampaknya sudah mulai lemah memberikan perlindungan bagi remaja terhadap persaingan yang ekstrim dalam peradaban kapitalis yang semakin maju, dan semakin menghadapkan wanita pada tekanan-tekanannya.
Apa yang terjadi dikalangan artis sebagai publik figure juga tidak luput implikasinya terhadap masyarakat, masyarakat seolah sudah keranjingan untuk selalu mengikuti siapa saja yang dianggapnya menyenangkan (reference group). Pilihan cerai sebagai cara mengakhiri perkawinan dikhawatirkan berdampak pada pengulangan tindakan serupa bagi masyarakat secara umum. Keinginan untuk mencari resolusi konflik keluarga selain percerian mulai ditinggalkan, bila situasi ini terus-terus dibiarkan tanpa ada tindakan praksis, kekhawatiran berlapis berupa mencapai kemajuan menjadi kesulitan nasional. Karena itu, produktivitas industri hendaknya disikapi secara seimbang antara tuntutan dan manfaatnya, tidak kemudian justeru menciptakan keretakan keluarga sebagai bias dari upaya melahirkan otonomi individu yang lebih egaliter.
Adanya formulasi tugas-tugas dan kewajiban pernikahan dan keluarga memerlukan perencanaan, kecermatan dan tekad yang kuat dengan mempertegas distribusi peran yang obyektif dan jelas. Banyaknya petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan kehidupan pernikahan dan keluarga beserta model regulasi yang melekat, menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap institusi strategis dalam kehidupan manusia ini. Dengan munculnya formula keluarga sakinah tentu akan menjadi ekspektasi ideal yang harus dikejar oleh ummat manusia.
Dalam beberapa kalam Allah SWT dan Sunnah sangat memperhatikan lembaga keluarga. Islam selalu memberikan aturan dan kiat-kiat untuk memperkuat jalinan itu, restrukturisasi dan pemantapan fondasi bangunan keluarga dan melindungi institusi ini dari segala unsur negatif yang dapat melemahkannya. Pandangan egalitarian antar suami istri dijunjung tinggi dalam ideal keluarga Islam dengan tidak membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan, dan satu kata penutup tidak akan pernah dibenarkan perempuan diperlakukan secara tidak adil, subordinatif dan dipandang rendah.
Daftar Pustaka
Aliraqi, Butsainan, 2002, Rahasia Pernikahan yang Bahagia. Kathur Suhardi, terj. Jakarta: Pustaka Azzam.
Atmowiloto, Arswendo, 2005, “Skenario sebagai gagasan dan jembatan” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
Bartholomew, John Ryan, 2001, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, (terj) Imron Rosidi. Yogyakarta: Tiara wacana.
Berger, Peter L. Dan Hansfried Kellner, 1985, Sosiologi Ditafsirkan Kembali Esei Tentang Metode dan Bidang Kerja. terj. Herry Joediono. Jakarta: LP3ES.
Collin, Randall, 1988, Sociology of Marriage and The Family: Gendr Love and Property. Chicago: Nelson Hall.
Esposito, John. L. (ed)., 2001Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern. terj. Eva Y.N. dkk. Bandung: Mizan.
Goode, William J., 1985, Sosiologi Keluarga (terj) Lailahanoum Hasyim.(Jakarta: Bina Aksara.
http://www.poskota.co.id/rubrik.asp?page=16&ik=52 (akses 2 Januari 2007)
Karim, Erna 1999, “Pendekatan perceraian dari perspektif sosiologi” dalam T.O. Ihromi (penyuting) Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: YOI.
Karno, Rano, 2005, “Serpihan pengalaman dan lintasan pemikiran” dalam Ashadi Siregar (editor), Sinetron Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y.
Madjid, Nurcholish, 2004 Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina,
Sanderson, Stephen K., 2003, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (terj) Farid Wajidi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Scanzoni. Letha Dawson, 1981, Men, Women an Change : A Socilogical of Marriage and Family. New York: Hill Book Company.
Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, 2001, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Putaka Setia.
AL-QUR’AN DAN FENOMENA ALAM SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
Retno Surnopati
Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga
Program Studi Agama dan Filsafat
rsurnapati@yahoo.com
Abstraksi
Fenomena alam seperti gempa, tsunami, banjir, kecelakaan pesawat dan lain-lain yang menimpa Indonesia beberapa tahun ini membuat masyarakat menjadi gelisah, tidak berhenti disitu akhir-akhir ini banyak masyarakat Indonesia terhentak dengan ramalan-ramalan yang mengatakan bahwa akhir hidup di dunia atau kiamat akan terjadi pada akhir tahun 2012, hal ini didukung selain dengan banyaknya fenomena alam yang terjadi di atas ditambah dengan banyak peristiwa yang tidak biasanya seperti terdapatnya UFO atau piring terbang dan beraneka bentuk awan yang menyerupai raksasa disekitar wilayah Indonesia Orang yang percaya terhadap ramalan, ini merupakan tanda-tanda yang sangat angker dan menambah kepercayaan akan terjadinya kiamat tersebut. Tentang fenomena alam, Islam banyak menjelaskan dalam al-Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam seluruh dunia yang seharusnya dengan rujukan tersebut umat Islam memahami kejadian tersebut.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Fenomena alam, Keasadaran sosial
Pendahuluan
“ Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)”. ( QS. Isra’(17):16 ) “ Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz)”. ( QS. Isra’ (17):58 )
“ (Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fir’aundan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sungguh, Allah Maha kuat lagi sangat kersa siksa-Nya”. ( QS. Al-Anfal (8):52 ) “ Dan berilah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari(ketika) azab datang kepada mereka, maka orang zalim berkata, “ Ya Tuhan kami, berilah kepada kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.” (kepada mereka dikatakan), :Bukankah dahulu (didunia) kamu telah bersumpah bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?”. ( QS. Ibrahim (14). 44 )
Kutipan beberapa ayat diatas merupakan reaksi beberapa umat Islam yang mengkaitkan gempa yang terjadi dibeberapa wilayah Indonesia dengan Al-Qur’an. Seperti QS. Isra’(17):16, ayat ini dikaitkan dengan gempa padang karena terjadi pada pukul 17.16, kemudian QS. Isra’ (17):58 dikaitkan dengan gempa susulan Padang yang terjadi pada pukul 17.58, kemudian QS. Al-Anfal (8):52 yang dikaitkan gempa Jambi yang terjadi pada pukul,8.52 dan QS. Ibrahim (14). 44 yang dikaitkan dengan gempa Tasik yang terjadi pada pukul 14.44.
Siapa yang harus disalahkan oleh waktu dan zaman ini? Manusia, Teknologi, ataukan zaman itu sendiri? Apapun pertanyaan atau siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap keadaan sekarang ini, yang jelas manusia sebagai subjek sekaligus objek alam semesta ini akan tertimpa oleh ulahnya sendiri. Perkembangan zaman menjadikan manusia rakus seperti halnya tragedi Raja Midas yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Kalau kita memperhatikan perkembangan zaman sekarang, diberbagai tempat dibangun rumah-rumah mewah, hotel berbintang puluhan dan tempat pariwisata diperindah dengan berbagai polesan serta diberbagai daerah dibangun bandara baik tingkat nasional maupun internasional. Membangun berbagai bangunan tersebut maka tidak bisa tidak bahan materialnya berasal dari alam itu sendiri, tidak sedikit bukit bahkan gunung telah habis dikeruk untuk dijadikan bahan pondasi dan bangunannya. Disinilah menarikanya pembahasan tentang al-Qur’an yang berbicara tentang alam semesta.
Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena terlalu banyaknya campur tangan manusia didalamnya, baik direncanakan ataupun tidak. Efek rumah kaca akibat makin banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, misalnya “deodoran” dan “aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya ( Mahdi Ghulsyani: 1986: 8).
Pemahaman Intelektual terhadap al-Qur’an
Perkembangan pemikiran umat manusia dari zaman ke zaman tidak pernah habisnya bahkan semakin cemerlang. Zaman klasik ketika ilmu al-Qur’an di dipopulerkan oleh ulama, para ulama berpandangan bahwa orang yang mampu menafsirkan al-Qur’an adalah mereka yang menguasai kaidah-kaidah bahasa arab seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balagah dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sembarangan orang bisa menafsirkan al-Qur’an. Tetapi dengan perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai metodologi dan pendekatan banyak kita temukan intelektual Islam yang menginterpretasikan al-Qur’an seperti tafsir maudu’i/ tematis, interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan Hermeunetik yang sampai saat ini terus masih diskusikan dan diperdebatkan diberbagai tempat.
Ada beberapa tipologi pemikiran inteleketual Islam tantang pandangan mereka ketika berbicara tentang al-Qur’an yang berhubungan dengan manusia dan alam semesta ini. Pertama tipologi formalistik, tipologi ini menyatakan bahwa dalam al-Qur’an telah ada tentang senua persoalan yang dihadapkan oleh manusia. Al-qur’an telah menjelaskan panjang lebar tentang persoalan-persoalan manusia dan makhluk dalam alam semesta ini. sesuatu yang terjadi pada manusia dan alam semesta selalu dicari legitimasinya dari al-Qur’an. Tipologi ini seperti yang dicontohkan pada beberapa ayat diatas, bahwa gempa yang terjadi pada waktu tertentu suadah ada tercantum dalam al-Qur’an. Tipologi kedua adalah Substansialistik, tipologi ini menyatakan bahwa al-Qur’an ketika berbicara tentang manusia dan alam semesta serta ilmu pengetahuan tidak berbicara secara terperinci tetapi secara universal.
Demikian pembacaan subyektif penulis melihat fenomena keberagamaan dewasa ini yang begitu plural sehingga sering terjadi kesalahpahaman dalam pemahaman al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Dari kesalahpahaman tersebut sering terjadi hujat-menghujat bahkan pertikaian antar pemeluk agama Islam sendiri.
Menurut Ziauddin sardar seperti yang dikutip Mahdi Ghulsyani mencatat bahwa dalam menghadapi sains modern yang kaitannya dengan al-Qur’an, ilmuwan Muslim terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok Muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karena itu, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari-cari ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Kelompok ini disebut oleh Sardar sebagai Bucaillism (diambil dari nama Maurice Bucaille yang buku-bukunya meninjau al-Qur’an dari sudut pandang temuan-temuan sains modern).
Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami. Kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam, dan berusaha membangunnya ( Mahdi Ghulsyani: 1986: 21).
Pemahaman terhadap agama dalam hal ini Islam yang memiliki rujukan normatif seperti al-Qur’an adan al-Hadits sesunguhnya memiliki berbagai pendekatan dalam mengkaji agama tersebut seperti pendekatan teologi normative seperti rujukan utama tersebut di atas, ada juga pendekatan antropologis, filosofis, historis dan pendekatan kebudayaan.
Pendekatan normatif dalam memahami agama dengan menggunakan ilmu yang bertolak dari suatu keyakinan. Dalam mengkaji fenomena alam dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dalam melihat fenomena tersebut muncul apa yang disebut dengan teologi masa kritis ( Abuddin Nata: 2003: 31). Teologi masa kritis merupakan suatu usaha untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini.
Dalam perkembangan ilmu yang maju dengan pesat di lingkungan umat, yang mengambil beberapa ajaran yang dihasilkan bangsa-bangsa yang mendahuluinya sebagai masukan, berkembang pula suatu masalah yang memerlukan pemecahan. Terutama pernyataan para filosof muslim bahwa alam mempunyai kehendak sendiri, yang diperlihatkannya. Imam al-Gadzali meluruskan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa segala reaksi yang diperlihatkan alam itu kehendak Allah SWT. Kedua pendapat ini akan bertemu bila saja ada orang yang menyambungnya dengan mengatakan bahwa reaksi alam itu selalu demikian karena mengikuti sunatullah, aturan-aturan Allah SWT yang ditetapkan-Nya pada saat penciptaan dan diikuti alam semesta dengan taat. Alam kelihatnnya mempunyai kehendak sendiri karena ia selalu mengikuti sunatullah yang dikehendaki sang Maha Pencipta (Achmad Baiquni: Yogyakarta: 1997: 78 )
.
Alam Semesta dalam al-Qur’an
Alam berarti dunia fisik, yaitu kita berhubungan dengannya lewat indera kita. Dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang merujuk kepada fenomena alam. Hampir seluruh ayat ini memerintahkan manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan dengan) penciptaannya dan merenungkan isinya. Sebagaimana dikukuhkan oleh banyak ulama Islam terkemuka, al-Qur’an bukanlah sebuah buku ilmu kealaman, akan tetapi kitab petunjuk dan pencerahan. Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam merupakan tanda-tanda Yang Mahakuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda yang bisa membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan ( Mahdi Ghulsyani: 1986: 79 ).
Jagat raya atau alam semesta yang dalam bahasa Inggris di istilahkan dengan universe. Sedangkan dalam Istilah arab atau bahasa Arab dibahasakan dengan ‘Alam (عالم ). Istilah ‘alam dalam al-Qur’an hanya datang dalam bentuk jamak ‘almain ( علمين ), yang disebut sebanyak 73 kali yang tergelar dalam 30 surat. Kata ‘alamin (jamak) dalam al-Qur’an tidak sama dengan istilah ‘alam yang dimaksud kaum teolog dan Filosof Islam. Kaum teolog mendefinisikan ‘alam ialah segala sesuatu selain Allah (Kullu maujud siwa Allah Ta’ala). Sementara filosof Islam mendefinisikan ialah kumpulan jauhar yang tersusun dari madat (materi) dan shurat (bentuk) yang ada di bumi dan di langit. Sedangkan ‘alamain yang dimaksud dalam al-Qur’an sebagai kumpulan yang sejenis dari makhluk yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati makhluk yang berakal ( Sirajudin zar: 1995: 20 ).
Ada delapan bentuk kata pengungkapan penciptaan dalam al-Qur’an, Tiga bentuk diantaranya adalah Khalaq ( خلق ), Bada’ ( بدا ) dan Fathr ( فاطر ). Penciptaan alam semesta yang terdiri dari tiga bentuk yang erat kaitannya dengan hal ini, yaitu Khalaq, Bada’ dan Fathr, tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan? Ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan bahwa Allah Pencipta alam semesta tanpa menyebutkan dari ada tiadanya.
Sebagaimana al-Qur’an, para saintis mengidentifikasikan evolusi alam semesta sebanyak enam tahapan atau periode. Evolusi alam ini diawali setelah terjadinya ledakan yang maha dahsyat. Tahapan-tahapan tersebut ialah:
1. Dalam tahap ini seluruh kosmos yang terdiri dari ruang, materi dan radiasi telah ditentukan interaksinya, sifat serta kelakuannya. Sedangkan kandungan energi dan materi dalam alam semesta ditentukan jumlahnya, dan suhu kosmos, karena ekspansi, turun menjadi seratus juta-juta-juta derajat.
2. Tahap ini dimulai ketika suhu kosmos turun hingga mencapai seratus ribu juta derajat. Kerapan materi dalam alam semesta adalah empat juta ton tiap liter. Sedangkan bahan penyusun nuklir, yaitu penyusun inti-inti atom telah tertentu jumlahnya.
3. Tahap ini dimuali ketika suhu kosmos tinggal seribu juta derajat dan kerapan materinya tinggal 20 kg tiap liter, sedangkan muatan kalistrikannya telah ditetapkan.
4. Tahap ini diawali ketika suhu kosmos berada dibawah seratus juta derajat. Kerapatan materinya tinggal sepersepuluh kg tiap liter.
5. Tahap ini dimuali ketika atom-atom mulai terbentuk sehingga elektron bebas sangat berkurang jumlahnya dalam kosmos. Dalam tahap ini cahaya mengisi ruang alam.
6. Tahap ini ketika kabut materi yang terdiri dari atom-atom mulai mengumpul dan membentukbintang-bintang dan galaksi-galaksi, diantaranya terdapat matahari yang dikitari oleh bumi dan planet-planet ( A. Baiquni, 1983: 35-39).
Sedangkan para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas alam, mayoritas filsuf dari dulu sampai sekarang berpendapat bahwa alam adalah kekal. Menurut Plato, alam diciptakan dan memiliki awal temporal. Kemudian, para filsuf memberikan interpretasi berbeda terhadap pandangan tersebut dan tidak mengakui bahwa keberawalan alam merupakan keyakinan Plato.
Imam Al-Gazali berpendapat (Al Gazali: 2003: 12) penjelasan bahwa para filsuf tidak mampu mementahkan keyakinan lawan-lawan polemik mereka tentang relasi kehendak kekal dengan yang berawal temporal, kecuali sebatas mendasarkan pada klaim “kemestian rasional”. Bahkan mereka juga tidak bisa berkutik ketika lawan-lawannya menyampaikan kritik balik yang berseberangan dengan keyakinan mereka dengan klaim yang sama.
Berbeda dengan konsep yang dikemukakan kaum filosof Islam yang berkesimpulan bahwa alam semesta diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada. Menurut mereka sebagai yang dipaparkan Ibn Rusyd bahwa tidak mungkin bisa berubah menjadi ada, yang terjadi adalah ada berubah menjadi ada dalam bentuk (shurat) yang lain. Dalam filsafat memang diyakini bahwa penciptaan dari tiada adalah suatu hal yang mustahil dan tidak bisa terjadi (Harun Nasution: 1983: 91).
Allah dalam filsafat al-Farabi menciptakan alam semesta melalui emanasi, dalam arti wujud Allah melimpahkan wujud alam. Emanasi ini terjadi melalui pemikiran atau tafakur Allah tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Menurut Sayid Zayid sebagaimana dikutip Harun Nasution, tafakaur tentang zat-Nya adalah ilmu Allah tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang meciptakan segalanya. Agar sesuatu tercipta cukup sesuatu itu diketahui Allah (Harun Nasution: 1986: 5).
Maksud al-Farabi mengemukakan paham emanasi adalah untuk menghindarkan arti banyak dalam diri Allah. Karenanya Allah tidak bisa secara langsung menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam semesta yang plural ini, tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid. Nurcholis Madjid dalam hal ini dapat diterima karena Filosof Islam terdorong mempelajari dan menerima doktrin Plotinus itu karena pahamnya memberikan kesan tauhid (Nurcholis Madjid: 1984: 24 ).
Adapun pendapat kaum teolog rasionalis tentang penciptaan alam semesta telah terwakili oleh kaum filosof Islam yang telah dibahas diatas. Karena pendapat mereka tentang hal ini sama dengan pandangan kaum filosof Islam. Namun bedanya mereka tidak membawakan filsafat emanasi sebagaimana kaum filosof Islam.
Al- Qur’an tentang alam Semesta dan Fenomena Alam
Salah satu ‘ijaz al-Qur’an adalah ketika al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab yang merupakan bahasa yang tinggi balagahnya pada peradaban Arab. Al-Qur’an menantang pujangga-pujangga Arab pada waktu itu untuk membuat kitab seperti al-Qur’an (Abdul Jalal: 1998: 268), sesungguhnya tidak hanya zaman al-Qur’an diturunkan pujangga tersebut ditantang tetapi bahasa al-Qur’an yang universal menantang siapapun sampai saat ini untuk membuat karya seperti al-Qur’an. Tetapi, dari dahulu sampai dengan zaman kontemporer tantangan tersebut belum ada yang mampu menandingi al-Qur’an.
Bahasa al-Qur’an dengan bahasa Arab diinformasikan al-Qur’an secara eksplisit dalam dua bentuk. Bentuk pertama dengan ungkapan Quran ‘arabiyy (al-Qur’an yang berbahasa Arab) sebanyak enam kali . Sementara bentuk kedua dengan ungkapan Lisan ‘arabiyy (dengan bahasa Arab) sebanyak tiga kali . Keistimewaan bahasa Arab yang dipilih Allah SWT menjadi bahasa al-Qur’an ialah redaksinya ringkas, teliti lagi padat serta kaya dengan isi dan makna yang dalam ( Sirajuddin Zar: 1995: 48).
Ada tiga hal yang berhubungan dengan al-Qur’an yang membahas tentang alam dan fenomenanya; 1) al-Qur’an memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarnya kepada kesadaran akan keesaan dan kemahakuasaan Allah SWT. 2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan dibawah kekuasan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti. 3) Redaksi ayat-ayat kauwwniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat variasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penfasir (Quraish Syihab: 1992: 132).
Seperti diuraikan pada awal penulisan ini bahwa secara garis besar al-Qur’an telah banyak berbicara tentang alam semesta dan fenomenal alam itu sendiri. Tentang alam semesta bisa kita cermati surat an-Naba’, surat al-Ghaasyiyah, surat ar-Ra’d, surat an-Naml dan banyak lagi lainnya.
Adapun tentang fenomena alam seperti hujan, gempa, mendung dan lain sebagainya secara langsung maupun tidak langsung ada beberapa ayat telah berbicara tentang fenomena tersebut. Tentang gempa misalnya, Secara ilmiah bisa dijelaskan dan tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut.
Ada dua jenis bencana utama yang dapat kita sebutkan yaitu pertama yang berasal dari iklim dan yang kedua asalnya dari gerak lempeng kulit bumi. Iklim di suatu daerah dapat menimbulkan kekeringan apabila mekanisme terganggu, sehingga daerah yang tadinya biasa mendapatkan air hujan selama bulan-bulan tertentu menderita kekeringan yang merusak tanaman, karena menggesernya daerah tiupan angin yang membawa hujan itu. Iklim juga dapat menimbulkan bencana angin rebut, badai, atau taufan yang biasanya berawal dari putaran kecil di daerah sub tropic dan kemudian bergerak ke daerah yang lebih dingin. Hal ini dapat kita temukan dalam surat al_qomar yat 19 dan 20 yang artinya:”Kami hembuskan kepeda mereka angin dingin yang kencang secara terus meneruspada hari-hari nahas yang membuat manusia bergelimpangan bagai batang-batang pohon korma yang tumbang”.
Dari pandangan al-Qur’an kita telah melihat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memahami alam. Berikut beberapa tingkatan manusia dalam memahami alam; Pertama, para perenung (QS. 45:13), kedua orang yang Arif (QS. 2:164), ketiga orang-orang yang memahami (Ulul al-Bab) (QS.3:180), keempat orang-orang beriman (QS.45:3), kelima orang-orang yang bertaqwa (QS. 2:63), keenam orang-orang yang berilmu (QS. 10:5), ketujuh orang yang ingat/sadar (QS.16:13), kedelapan orang yang mendengarkan kebenaran Firman Allah (QS. 30:23), kesembilan orang-orang yang yakin (QS.45:40), dan kesepuluh orang-orang yang menguji kebenaran, memiliki wawasan, dan memahami (QS.6:98) ( Mahdi Gulsyani: 1986: 102).
Fenomena Alam dan Implikasi Sosial
Uraian tentang fenomena alam yang dikaji dari perspektif al-Qur’an diatas menunjukkan bahwa al-Qur’an yang diturunkan belasan abad yang lalu telah berbicara banyak tentang fenomena alam seperti banjir, gempa bumi, bencana alam dan lainnya. Mengakaji al-Qur’an yang dikaitkan dengan kondisi sosial maka umat Islam menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama yang tidak hanya “melangit” tapi juga harus membumi. Dalam arti bahwa al-Qur’an tidak dijadikan jargon semata tetapi diaktualisasikan dalam kehidupan.
Kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia merupakan tanda kebesaran dan kemaha-kuasaan Ilahi. Sedangkan teks-teks di dalamnya merupakan himpunan tanda yang memiliki daya tarik untuk ditafsirkan (Haqqul Yakin: 2009: 27). Kenyataan ini telah lama berlangsung dalam kajian-kajian keagamaan dimana kajian terhadap teks lain, kajian terhadap teks kitab suci bisa membawa pengaruh mendalam secara individual maupun sosial.
Kajian terhadap teks kitab suci untuk menjawab fenomena kekinian seperti terjadinya fenomena alam diatas harus disesuaikan dengan konteks. Untuk itu, ilmu kekinian bisa dijadikn salah satu pendekatan seperti hermeneutik tanpa mengenyampingkan tafsir, Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Pada tahap kritik sejarah, hermeneutika pembebasan (Hanafi: 1983: 179-180) dalam pengertian kegiatan interpretasi belum dilakukan kecuali sebagai sarana membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks.
Ayat dalam al-Qur’an seperti diatas ketika berbicara tentang fenomena alam seperti gempa seyogyanya bisa diinterpretasikan dengan sewajarnya karena ketika terjadinya bencana alam, banjir, gempa dan kejadian lainnya, umat Islam bukannya sibuk dengan membantu para korban bencana tetapi sibuk dengan mencari ayat-ayat yang kira-kira sesuai dengan kejadian tersebut yang kebetulan bersamaan dengan jam kejadian dengan ayat tersebut.
Melihat gejala sosial dalam masyarakat yang cendrung sibuk dengan mencari-cari ayat yang sesuai dengan gejala alam tersebut dengan mengenyampingkan bantuan kepada korban, yang muncul kemudian adalah su’sudzan (berburuk sangka) terhadap non-muslim yang dengan tangkap membatu para korban. Mereka dianggap sebagai misionaris yang menyebarkan agama dengan mengambil kesempatan dengan terjadinya gempa, tsunami dan lainnya.
Disatu sisi para da’i, khatib dalam menjelaskan peristiwa bencana alam ketika harus dikaitkan dengan al-Qur’an selalu menjadikan firman Allah SWT yang artinya ” Telah nyata kerusakan di laut dan bumi akibat ulah manusia”, potongan ayat ini selalu melangit yang tidak pernah diaktualisasikan dalam kehidupan social dengan cara menjaga kebersihan, menanam pohon dan kegiatan lainnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah umat Islam sendiri hidup semaunya tanpa perduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, dalam mengahadapi fenomena alam seperti banjir, tsunami, gempa dan lainnya hendaknya dijadikan sebagai intropeksi diri untuk berbuat yang lebih baik untuk diri, lingkungan agar hidup lebih sehat dan nyaman, bukan percaya terhadap sesuatu yang belum jelas asalnya seperti terjadinya kiamat dalam waktu dengan yang hanya berdasar pada asas praduga. Persoalan kiamat, sebagai umat yang beriman senantiasa kita harus kembali kepada refrensi utama kita yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Kesimpulan
Ulasan al-Qur’an yang membahas tentang alam semesta, tentu tidak hanya bagaimana al-Qur’an berbicara tentang alam semesta an sich tetapi juga bagimana fenomena alam bisa terjadi yang tidak hanya merupakan takdir tapi itu semua punya proses sehingga terjadi fenomena seperti yang kita amati sekarang atau yang biasa kita sebut dengan istilah Sunatullah atau hukum alam.
Terjadinya fenomena kejadian alam disekeliling kita saat ini bukan hanya sebuah takdir bahwa alam itu akan hancur tetapi itu semua tidak akan lepas oleh ulah tangan penduduk bumi yang semakin rakus seperti apa yang duraikan pada uraian terdahulu.
Oleh karena itu seyogyanya kita perhatikan apa yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an. Kita tidak bisa hanya menyalahkan takdir bahwa bumi ini akan hancur tetapi upaya pelestarian alam dan perlindungan kita lepas begitu saja sehingga alam sekitar kita tidak terawatt dengan baik. Karena alam diciptakan bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi untuk kepentingan manusia sebagai makhluk. Kalau upaya pelestarian sudah menghilang dalam diri kita maka tunggulah saatnya kehancuran alam semsta ini. Wallahu a’lamu bi Showab
Refrensi
Al-Qur’an al-Karim. Yogyakarta: Gema Insani. 2005
Al-Gazali, Abu Hamid, Kerancuan Filsafat, Yogyakarta: Isalamika, 2003
Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prisma Yasa, 1997
………… Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983
Djalal, Abdul, Uluml Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu: 1998
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Qur’an, Jakarta; Mizan, 1986
Hanafi, Hassan, Qadâyâ Mu`âshirah: Fî Fikrinâ al-Mu`âsir, vol. 2. Beirut: Dâr at-Tanwîr, 1983.
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1983
……………… “Sekitar Pendapat Filosof Islam tentang Emanasi dan Kekalnya Alam,” Studi Islamika, no. 23 IAIN Jakarta, 1986
Natta, Abduddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2003
Shihab, Quraish, “Membumikan” al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Yaqin, Haqqul, Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Suksus Offset: 2009
Zar, Sirajudin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo, 1995
ASPEK SOSIAL DI BALIK ZAKAT
Sebuah Kritik Atas Penyaluran Zakat
Masjid Jogokaryan
Muhamad Ali Sahbana
Alumni Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Dengan adanya kejadian-kejadian yang tidak pernah di inginkan manusia khususnya umat Islam mengenai pembagian zakat yang terjadi di Pasuruan. Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 orang merupakan sebuah potret kemiskinan. Ini adalah gambaran memilukan bagi bangsa yang besar dengan potensi kekayaan alam melimpah. Kaum miskin rela menderita dan mati hanya mendapat zakat. Inilah wujud kemiskinan paling nyata dalam hidup manusia.
Zakat adalah sebuah amal soleh yang diwajibkan bagi orang yang mempunyai harta yang melimpah atau lebih untuk dikasihkan kepada orang-orang yang membutuhkan.. Tapi sebaliknya zakat yang selalu diidam-idamkan kaum muslim untuk mengentaskan kemiskinan masih belum berjalan dikalangan orang-orang yang mempunyai harta yang melimpah. Zakat adalah sebuah ajaran agama yang diagung-agungkan oleh umat Islam untuk mensejahterahkan umat dan mengurangi angka kemiskinan yang ada di lingkungan sekitar.
Jika dikaji lebih lanjut mengenai harta kekayaan itu sendiri ada harta orang fakir, miskin, duafa’, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil. Zakat adalah sebuah aturan Islam yang saling berhubungan dengan ibadah. Ibadah sendiri tidak hanya dengan berurusan dengan tuhan saja melainkan banyak bentuk ibadah yang berhubungan dengan masyarakat yaitu salah satunya adalah mengeluarkan zakat.
Pendahuluan
Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 orang merupakan sebuah potret kemiskinan. Ini adalah gambaran memilukan bagi bangsa yang besar dengan potensi kekayaan alam melimpah. Kaum miskin rela menderita dan mati hanya mendapat zakat. Inilah wujud kemiskinan paling nyata dalam hidup manusia. Zakat adalah sebuah amal soleh yang di wajibkan bagi orang yang mempunyai harta yang melimpah atau lebih untuk di kasihkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ’pertumbuhan dan perkembangan’, at-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalahu ‘keberesan’. Majma Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith,(Mesir: Daar el-Ma’arif, 1972): Juz I.
Tapi sebaliknya zakat yang selalu di idam-idamkan kaum muslim untuk mengentaskan kemiskinan masih belum berjalan dikalangan orang-orang yang mempunyai harta yang melimpah. Sebagaimana yang di firmankan oleh Allah swt yang artinya : “pungutlah zakat dari harta benda mereka, yang akan membersihkan dan mensucikan mereka!”. Sangat menarik jika melihat kritik Ibn Khaldun mengenai kejadian atau fenomena sosial. Keberadaan masyarakat merupakan fakta. Menurut Ibn Khaldun, sosiologi membahas asal-usul masyarakat, mengamati hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan perbedaan diantara berbagai kelompok sosial dan pola kehidupan mereka.
Tulisan ini membahas pengaruh lingkungan terhadap lingkungan sosial, mengkaji asal-usul fenomenafenomena ekonomi sekaligus mencoba untuk menjelaskan sebagian dari fenomena-fenomena ini beserta hukum-hukum yang mengantarnya. Dalam hal ini, refleksi bersama yang harus di tuntaskan adalah bagaimana mengelola zakat sebagai bagian upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Zakat tidak boleh lagi menjadi petaka, tetapi menjadi anugerah bagi orang miskin atau orang yang membutuhkan. Zakat merupakan potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan sosial, terutama untuk membantu fakir miskin.
Islam sebagai agama universal memiliki mekanisme yang jelas tentang distribusi kekayaan untuk keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat, terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat, yang tidak saja di nikmati orang kaya tapi juga di nikmati orang miskin. Islam memiliki bentuk hubungan antara Khalik dengan makhluk-Nya; hubungan antara sesama mahluk, dengan semesta alam dan kehidupan; hubungan antara individu dan masyarakat, antara individu dan negara, antar seluruh umat manusia, dan antar generasi satu dengan generasi yang lain. Semuanya itu dikembalikan kepada konsep menyeluruh terpadu itu, terpadu dalam seluruh garis-garis dalam cabang-cabang dan perinciannya. Dan itulah yang disebut sebagai filsafat Islam, atau lebih sering disebut “Konsep Islam”. Keadilan Sosial Dalam Islam,Sayyid Quthb.
Dalam hal ini, refleksi bersama yang harus di tuntaskan adalah bagaimana mengelola zakat sebagai bagian upaya pengentasan masyrakat dari kemiskinan. Zakat tidak boleh lagi menjadi petaka, tetapi menjadi anugerah bagi orang miskin. Meskipun demikian, fakta menunjukkan kondisi amat ironis. Hingga sampai kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat sampai 2,5 persen dari total penduduk domestik bruto (PDB)-nya. atau yang tidak saja di nikmati orang kaya, tetapi juga dinikmati orang miskin. Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Jika zakat dapat dikelola efektif dan efisien,
Terjadi keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik guna memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, zakat akan berfungsi sebagai salah satu instrumen mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan miskin. Zakat dapat membentuk integrasi sosial serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai cita-cita keadilan sosial, zakat harus dikelola dengan baik dan menggunakan sistem yang akuntabel. Sayang, pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti. Zakat hanya diberikan langsung oleh tiap pembayar kepada penerima sehingga zakat tidak menjadi sistem sosial yang mampu melakukan transformasi sosial. Bahkan, pembagian zakat justru menimbulkan malapetaka kemanusiaan.
Pokok Masalah
a) Bagaimana konstruksi filsafat sosial zakat dalam teks suci konteks umat Islam modern?
b) Bagaimana transformasi distribusi zakat di masjid Jogokaryan Yogyakarta?
Kerangka Teoritik
Prinsip dasar Islam dalam pengaturan kehidupan publik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (syiasah) adalah mewujudkan kemaslahatan umat atau kesejahteraan rakyat secara umum (al-maslahal ‘ammah). Tujuan subtantif universal di syari’atkan hukum-hukum negara (syari’at) adalah mewujudkan kemaslahatan manusia. Baik kemaslahatan di dunia maupun akhirat. Kemaslahatan itu utamanya di tujukan untuk menjamin hak-hak dasar yang meliputi : a) keselamatan agama (hifzu ad-din), b) kamaslahatan fisik atau jiwa (hifzu an-nas), c) keselamatan keluarga dan keturunan (hifzu an-nasl), d) keselamatan harta benda (hifdzu al-mal), e) keselamatan akal atau fikiran (hifzu al-‘aql). Pengelolaan zakat secara maksimal dan profesional merupakan salah satu wujud dari upaya malaksanakan kemaslahatan ummah. Melalui penghimpunan dan distribusi zakat secara tepat maka dengan sendirinya menjaga keselamatan fisik atau jiwa (hifzu an-nas) dari umat muslim yang berada dalam ekonomi yang tidak mampu dapat di bantu.
Zakat juga merupakan ibadah mu’amalah ijtima’iyyah yang kewajiban di laksanakan sepanjang masa, maka hukumnya harus selalu dinamis, universal, dan kondisional sesuai dengan kebutuhan manusia. Untuk itu dalam penghimpunan dan distribusi dana zakat perlu dilakukan rekonseptualisasi, redefinisasi dan reinterpretasi terutama pada aspek-aspek subtansi yang akan mengandung muatan dilalah zanniyah dan umum. (Abdurrachman Qadir, 2001: 182‐183). Zakat adalah sebuah aturan Islam yang saling berhubungan dengan ibadah. Ibadah sendiri tidak hanya dengan berurusan dengan tuhan saja melainkan banyak bentuk ibadah yang berhubungan dengan masyarakat yaitu salah satunya adalah mengeluarkan zakat. Zakat tidak hanya untuk memebersihkan diri dari dosa, melainkan ada keadilan sosial didalamnya.
Titik pijak teori Ibn Khaldun adalah bahwa masyarakat merupakan fenomena alamiah. Ia bahkan menunjukkan faktor-faktor utama yang menyebabkan manusia bersatu untuk hidup dalam masyarakat. Pertama adalah alasan untuk saling menolong secara ekonomis dimana hasil-hasil dibentengi oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh pembagian kerja. Di puncak wacana persiapan utamanya, yang dilukiskan di awal Muqaddimah, Ibn Khaldun mengatakan : “Kekuatan individu yang terisolir tidak akan cukup untuk mencapai kuantitas bahan makanan yang ia butuhkan untuk mempertahankan hidupnya”. Kondisi saling menolong ini menjamin kebutuhan hidup individu yang begitu banyak jumlahnya. Alasan-alasan ekonomi ini dapat ditambah dengan alasan-alasan keamanan yang menyebabkan-menyebabkan individu berkumpul dalam suku-suku atau bersatu di kota-kota untuk mempertahankan diri dari serangan. Fenomena diatas tidak jauh dari kondisi yang terjadi realitas sekarang yang notabene negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam , gemah ripah loh jinawi.
Filsafat sosial Locke didasarkan pada prinsip-prinsip liberal untuk mendukung pemerintahan yang konstitusional dan demokratis. Locke merasa bahwa hak alami adalah serangkaian hak-hak spesifik yang terkait dengan kewajiban terhadap orang lain. Demokrasi macam apa yang dibayangkan Locke? Menurut prinsip-prinsip dasar filsafatnya yang cenderung luwes, setiap orang memiliki hak alami untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Sekali lagi, Locke berpendapat bahwa dalam lingkungan alami, tak seorang pun punya hak untuk menguasai lahan lebih dari yang bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri dan keluarganya: lahan yang berlebihan itu akan sia-sia. Locke juga berpendapat bahwa dalam lingkungan alami tidak seorang pun yang punya hak untuk mengambil apapun sampai sedemikian banyak sehingga tidak ada yang tersisa bagi orang-orang lain.
Dari kesatuan besar ini muncullah ketentuan dan ketetapannya, arah dan batas-batasnya, pandangan-pandangannya dalam politik dan pengaturan harta kekayaan, pembagian harta rampasan dan utang-piutang, dan dalam hak dan kewajiban. Dalam prinsip raksasa inilah terkandung seluruh bagian-bagian dan rincian-rinciannya. Disaat kita telah dapat memahami teori integral yang ada dalam pandangan Islam tentang alam, kehidupan dan manuasia, maka di saat yang sama kita bisa pula menghayati garis-garis dasar bagi keadilan sosial dalam Islam. Sepanjang belum tercipta keadialan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada disekitarnya, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani.
Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Secara fitrah, cita dan sabda keadilan itu tersirat melalui ilham ketuhanan pada nurani setiap manusia. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa keislaman manusia pada dimensi ini, tidak lain adalah keislaman (ketundukan)-nya pada “suara nuraninya” sendiri untuk menegakkan keadilan pada satu pihak, dan menghindarkan kezaliman pada pihak lain. Seperti halnya ”suara nurani” untuk mengenal dan luluh dalam Tuhan itu bersifat universal,maka suara nurani untuk cinta keadilan pun demikian. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman jati diri manusia pada dimensi kesadaran etis dan moralitasnya yang berdimensi sosial. Yang pertama, merupakan sisi keislaman yang terkait dengan tuhan sebagai objek pencarian personal yang subjektif dan transenden, sedangkan yang kedua, merupakan sisi keislaman yang terkait dengan Tuhan sebagai cita pencarian sosial yang objektif dan immanent (keadilan).
Kebijaksanaan Islam dalam Pendistribusian Dana Zakat
Al-Qur’an dan Sunnah selalu menggandengkan shalat dengan zakat. Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keduanya. Keislaman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua hal tersebut. Shalat merupakan tiang agama; siapa yang menegakkannya berarti menegakkan agama dan siapa yang meruntuhkannya berarti meruntuhkan agama. Sementara itu, zakat merupakan jembatan menuju Islam. Siapa yang melewatinya akan selamat sampai tujuan dan siapa yang memilih jalan lain akan tersesat. “Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan, “Anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidakakan diterima.”41 Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang kusyu’ dalam shalat dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun: 1-4). “untuk menjadji petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat...” (an-Naml: 2-3).
Semua teks diatas menegaskan tingkat kepastian wajibnya zakat. Zakat bukan hanya kewajiban biasa melainkan salah satu dari lima pilar banguna Islam. Keabsahannya sebagai salah satu tiang Islam tidak diragukan lagi. Ia tidak perlu ditopang oleh berbagai dalil karena hak itu telah ditegaskan oleh berbagai ayat Al-Qur’an secara gamblang. Di samping itu, ia di dukung beberapa Sunnah Nabawiyah yang mutawatir serta konsensus umat sejak zaman Salaf sampai kini. Dalam hal pembagian zakat, Islam memiliki kebijaksanaan arif yang sejalan dengan sistem politik dan sistem keuangan modern. Sementara itu, kebanyakan orang mengira bahwa segala sesuatu yang dilahirkan oleh berbagai sistem dan legislasi modern ciptaan baru.
Pada zaman jahiliyah dan zaman kegelapan di Eropa, manusia telah memungut pajak dan bea dari petani, pengusaha, pengrajin, pedagang, dan kalangan profesional lainnya. Namun, pada akhirnya, uang hasil usaha siang dan malam itu mengalir ke kantong para penguasa dan raja. Mereka menggunakannya untuk pesta pora, menyenangkan para pendukungnya, dan memperindah istana. Jika uang pajak atau bea itu berlebih, mereka menggunakannya untuk memperluas dan memperindah kota demi menarik simpati rakyat banyak. Kalau masih berlebih juga, uang itu digunakan untuk membangun kota baru. Mereka sama sekali lupa akan desa-desa tertinggal, tempat pajak dan bea ditarik. Ketika Islam datang, ia memerintahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat dan menyuruh penguasa untuk memungutnya. Ia merupakan pembersih harta kaum berpunya dan penyelamat kaum melarat yang membutuhkannya. Dengan demikian, keadilan dan saling membantu menyebar di kalangan masyarakat Islam.
Di samping itu, Rasulullah saw mengirim utusannya ke berbagai daerah untuk memungut zakat. Beliau memerintahkan mereka agar memungut zakat dari kaum berada di daerah tersebut dan membagikannya kepada kaum fakir yang ada disana. Hal ini dapat kita lihat dalam hadits Mu’adz bin Jabal ketika di utus Rasulullah saw ke Yaman untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Sesuai dengan perintah Nabi saw, Mua`dz bin Jabal memungut zakat dari kaum kaya di Yaman dan membagikannya kepada kaum fakir di negeri itu pula. Diriwayatkan dari Abu Jahifah bahwa ia berkata, “Pernah datang kepada
kami utusan Rasulullah saw, lalu ia memungut zakat dari orang-orang kaya dari kalangan kami pula. Ketika itu, saya seorang anak yatim yang masih kecil. Untuk memberi saya sebagian dari zakat berupa seekor unta betina”.
Dan dalam hadits sahih disebutkan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu memungut zakat dari orang-orang kaya dari kalangan kami lalu membagikannya kepada orang-orang miskin di kalangan kami pula?”Beliau menjawab,”Ya”. Dirawikan dari Amran bin Hasrin r.a. bahwa beliau pernah diutus Ziyad bin Abih atau oleh salah seorang penguasa Bani Umayyah untuk memungut zakat. Ketika kembali, ia ditanya, “Mana harta yang kamu kumpulkan?” Ia menjawab “Apakah anda mengutus saya mengumpulkan harta? Saya telah memungut dan membagikannya zakat seperti yang dilakukan Rasulullah saw.” (Dirawikan oleh Abu Daud dan Ibn Majjah, lihat Nailur-Authar, Jilid IV,). Disepakati bahwa zakat di distribusikan di daerah zakat itu di pungut. Namun, disepakati pula bahwa bila penduduk suatu daerah—atau sebagian dari mereka—tidak lagi membutuhkannya karena berkecukupan, atau karena yang berhak hanya sedikit sedangkan zakat terkumpul dalam jumlah banyak, maka boleh membagikannya di kampung lain. Jika tidak demikian, pendistribusian zakat diserahkan kepada imam yang berwenang sesuai dengan tingkat kebutuhan atau jarak wilayah.
Zakat Merupakan Jaminan Sosial
Dapat dikatakan, zakat merupakan undang-undang jaminan sosial pertama yang tidak mengandalkan sedekah atau sumbangan suka rela masyarakat. Undang-undang ini ditegakkan atas bantuan pemerintah untuk untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, baik sandang, pangan, papan, dan kebutuhan primer lainnya. Ini berlaku bagi seseorang secara pribadi berikut semua tanggungannya tanpa adanya pemborosan dan penghematan. Hal ini berlaku bukan hanya bagi kaum muslimin, namun mereka yang hidup di bawah naungan negara Islam, baik Yahudi maupun Nasrani. Inilah jaminan sosial dalam Islam yang belum terpikir oleh negara-negara Barat hingga saat belakangan ini. Kalaupun kalangan Barat mulai memperhatikannya, ia belum sampai kepada tingkat yang di ajarkan Islam, yaitu jaminan terhadap semua kebutuhan seseorang beserta keluarganya. Di samping itu, bangsa Barat menempatkan jaminan sosial bukan karena rasa sayang kepada kalangan lemah semata. Ia didorong oleh berbagai revolusi dan gelombang paham komunisme-sosialisme. Perang dunia II juga mendorong mereka untuk mengulurkan tangan kepada masyarakat untuk membujuk mereka agar bersedia zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).
Zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lebaran hingga imam Shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar. Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya berkemampuan. Menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengategorisasikannya pada dua bagian.
Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnyamengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan. Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.
a. Visi Sosial Zakat
Di dalam Alquran ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini dalam banyak ayat Alquran telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan keislaman itu sendiri. Dalam hadis kedua perintah diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi keesaan Tuhan (syahadat) dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman yang bersifat sosial. Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggirkan.
Secara vokal Alquran menyerukan agar kekayaan tidak boleh
hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya (QS: 59 :7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS: 104: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan. Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami.
Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebagian membubung dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300).
Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS: 4: 75).
b. Strategi pengelolaan zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara. Dalam tataran ini, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan zakat bukan suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.
Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Dengan demikian, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzaki) hingga ke pelosok pedesaan. Lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat. Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah, dan sebagainya.
Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekadar membagi-bagi tanpa memerhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999). Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU Zakat. Lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan)
pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya. Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, tidak ada halangan menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni 2,5-10 persen.
Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan menaikkan tarif zakat menjadi 20 persen atas berbagai jenis pendapatan yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter dan konsultan.Kita perlu meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Pada ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. (Mashudi Umar, 2008). Di Barat, jaminan sosial pertama muncul secara resmi pada tahun 1941 dengan dicapainya kesepakatan antara Amerika dan Inggris. Kedua negara sepakat untuk menciptakan jaminan sosial bagi masyarakat,yang di kenal dengan nama Piagam Atlantik.
Jadi, Islam jauh mendahului bangsa Barat. Dalam Islam, jaminan sosial diundangkan oleh agama dan diatur oleh negara. Memungut zakat dan membagikannya kepada mereka yang membutuhkan berarti membebaskan kaum miskin dari cengkeraman kaum kaya. Namun demikian, masih ada sementara penulis—yang tidak mengacuhkan sejarah dan warisan Islam—menganggap bahwa Eropalah yanng telah berjasa merintis pemberian jaminan sosial. Pada tahun 1952, Liga Arab mengadakan seminar di Damaskus tentang berbagai permasalahan sosial. Fokus pembahasannya adalah masalah jaminan sosial. Dalam seminar ini, Mr. Daniel S. Girand memberikan ceramah tentang perkembangan jaminan sosial. Ia mengatakan, pada abad-abad yang lalu orang-orang miskin atau mereka bantuan dan mengharapkan sedekah untuk mengatasi rasa laparnya.
Kebijakan pemerintah untuk ikut memberikan pertolongan kepada kaum miskin baru dimulai pada abad ke-17, yang langkah-langkah rintisannya dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial lokal. (Serial Kajian Sosial, 217). Inilah contoh ketidaktahuan tentang sejarah Islam dan sistem zakat. Dari segi kepastian dan ketetapannya, zakat berbeda dengan pajak. Bila petugas pemerintah lalai dalam memungut dan membagikan zakat, tidak sah keislamannya dan tidak sempurna keimanannya. Ia harus menunaikan zakat untuk menyucikan diri, membersihkan harta, dan mencari retu Rabbnya. Seseorang diharuskan mengeluarkan zakat dengan senang hati tanpa mengharapkan pujian. Sementara itu, mereka yang membutuhkan dapat mengambil haknya dengan wajar karena zakat tersebut adalah hak mereka sebagaimana ketetapan Allah SWT. Umat Islam pun dituntut berjuang membela kelestarian zakat tersebut.
Mengenai karakter khusus jaminan sosial modern, Mr. Daniel S. Girand menjelaskan, jaminan sosial ini -- berbeda dengan berbagai sistem manajemen bantuan untuk kaum miskin dari masa sebelumnya—tidak hanya diberikan kepada kaum miskin. Mereka yang berpenghasilan cukup, misalnya, boleh juga menikmatinya jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Jaminan ini mempunyai sumber dan tempat penyaluran tertentu yang bersifat tetap. Dengan demikian, tidak akan muncul perasaan malu atau terhina di kalangan mereka sebagai penerima bantua -- juga terpelihara. Menurut Daniel S. Girand, ciri-ciri khusus jaminan sosial modern tersebut belum dikenal oleh masyarakat pada masa lalu. Pendapatnya bisa diterima jika dibatasi pada kalangan bangsa Eropa.
Namun, kalau masyarakat itu mencakup umat Islam, pendapatnya tidak benar. Semua ciri tersebut, bahkan yang lebih baik dari pada itu, tertera jelas dalam sistem zakat yang di syari`atkan oleh Islam 14 abad yang lalu. Dalam Islam, zakat merupakan hak tertentu yang sudah pasti. Negara diminta memungut dan membagikannya kepada mereka yang tidak berpenghasilan, atau yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Lebih dari itu, zakat bertujuan mengangkat kehidupan kaum papa kepada kehidupan yang layak dan menjadikan mereka orang yang berpunya. Zakat bertujuan mempersempit jarak antara kaum kaya dan kaum miskin. Para pelopor dan pendukung jaminan sosial modern tidak akan pernah sampai kepada tingkat ini. Didalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama.
Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi. Nilainilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Ada beberapa tahapan dalam melakukan transformasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Islam sehingga tidak terjadi hilangnya/terkikisnya nilai-nilai Islam pada masyarakat Islam. Pertama-tama kita harus memperhatikan apa yang paling mendasar dari nilai-nilai Islam? Di dalam Al-Qur’an, kita seringkali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, “percaya kepada yang gaib”, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Didalam ayat tersebut kita bisa melihat formulasi trilogi iman-shalatzakat; sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi imanilmu- amal.
Kita menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, keyakinan berujung pada aksi. Artinya tauhid harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari: pusat keimanan Islam memang Tuhan tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin, termasuk untuk kemanusiaan. Islam adalah sebuah humanisme teosentrik, yaitu agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya. Islam misalnya tidak mengenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologis yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Memang wahyu bertindak sebagai furqan (sebagai pembeda kebenaran dari kepalsuan) dan sebagai huda (petunjuk). Namun demikian, Al-Qur’an jelas sekali senantiasa menekankan digunakannya akal, observasi empiris atau pengalaman dan bahkan intuisi, untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu itu. Itulah sebabnya Islam sejalan dengan peradaban manusia. (lihat http://Ihsansetiadilatief.blogdetik.com/2009/04/15).
Produk Baitul Maal Takmir Masjid Jogokaryan
1. Dana Bantuan
a. Bantuan Amanah ZIS (zakat, infaq, sodaqoh) adalah dana yang diperoleh dari para jamaah masjid Jogokaryan. Dan artinya dana ini akan di tampung di yayasan baitul maal masjid Jogokaryan yang mana dana dari jamaah masjid dan jamaah sekitarnya.
b. Bantuan dan Sumbangan. Bantuan dan sumbangan ini diperoleh dari jamaah yang sukses didalam mengembangkan usahanya, dan dana sumbangan ini waktu dan jangkanya tidak tentu. Bantuan ini apabila sewaktu-waktu saja oleh jamaah untuk menginginkannya.
c. Bantuan Modal Usaha Bantuan modal usaha ini adalah bantuan yang dilakukan pihak yayasan baitul maal apabila dari jamaah yang ingin mengembangkan usahanya.
d. Bantuan Qurban adalah bantuan yang telah diberikan oleh baitul maal apabila ada yang mengajukannya untuk dana berqurban maupun dari para jamaah yang mempunyai desa binaannya.
e. Bantuan kepada para korban bencana alam adalah dana yang telah dikumpulkan dari pihak yayasan ini apabila dari desa maupun wilayah yang ada yang terkena bencana alam.
2. Jenis Santunan
a. Santunan fakir miskin adalah; santunan ini diberikan kepada fakir miskin yang dilakukan oleh pengelola baitul maal.
b. Santunan Fisabilillah santunan ini di peruntukkan orang yang memakmurkan masjid dalam rangka mensiarkan agama Islam.
c. Santunan Mualaf dan Ibn sabil Santunan diberikan oleh orang yang dalam kesusahan ekonomi dan kehabisan dana dalam perjalanan.
Bantuan ini di motori oleh takmir masjid, dan masyarakat sekitar Jogokaryan, guna mengadakan penggalian dana untuk Aceh. Uang ini dikumpulkan oleh baitul maal dan kemudian dibelikan sapi, dan di gantikan atau di wujudkan dengan makanan siap saji yaitu abon dan makanan lainnya. Jenis-jenis bantuan yang di sediakan oleh pihak baitul maal yang diperoleh dari jamaah, kemudian di wujudkan usaha dalam penghimpunan dana masyarakat khususnya umat Islam. Dan kemudian dana-dana tersebut untuk dapat di salurkan kembali kepada saudara kita yang membutuhkannya, serta dapat diperoleh kemanfaatannya bagi umat Islam nantinya, di pegang oleh bagian kemasyarakatan.
3. Jenis Pembiayaan
a. Pembiayaan inventaris masjid Pembinaan yang diberikan kepada anggota atau pengurus masjid yang digunakan untuk membeli segala keperluan yang rusak dalam memenuhi kebutuhan-kebutu han masjid.
b. Pembiayaan Poliklinik.Pembiayaan ini diberikan pada pengelola klinik yang digunakan utuk pembelian obat-obatan di UKM masjid.
c. Pembiayaan Penjaga Masjid.Pembiayan ini diberikan kepada orang yang diberi amanah dalam menjaga masjid.
Menurut data yang diperoleh, pembiayaan ini cukup banyak dalam pengeluaran operasionalnya, karena pada waktu itu sedang di adakan pembelian alat-alat rumah tangga, di pegang bagian rumah tangga masjid. Dalam pembiayaan ini pihak baitul maal maupun takmir melakukan pengecekan dan pendataaan tentang bantuan pembiayaan, santunan, beasiswa, dan bantuan modal. Sehingga bagaimana proses penyaluran dan pelayanannya. Pengertian zakat secara produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan dari muzakki tidak habis di bagikan sesaat untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi harta zakat itu sebagian ada yang di arahkan pendayagunaannya kepada yang bersifat produktif. Dalam arti harta zakat itu di dayagunakan (dikelola), di kembangkan sedemikian rupa sehingga bisa mendatangkan manfaat (hasil) yang akan di gunakan dalam memenuhi kebutuhan orang yang tidak mampu (fakir miskin) tersebut dalam jangka panjang. Dengan harapan secara bertahap, pada suatu saat tidak lagi masuk kepada kelompok mustahiq zakat. (Muhyidin Ibn Syaraf an: 1994).
Dari paparan tersebut tersebut di atas dapat di kelompokkan menjadi dua golongan kategori fakir miskin, kategori pertama yaitu mereka di beri harta zakat yang cukup untuk biaya selama hidupnya menurut ukuran umum atau wajar atau dengan harta zakat itu fakir miskin dapat membeli tanah atau lahan untuk untuk kemudian di garapnya. Adapun kategori yang kedua fakir miskin yang mempunyai keterampilan dan kemampuan berusaha, maka mereka diberi harta zakat yang dapat di pergunakan untuk membeli alat-alatnya. Dalam arti apabila mereka mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka mereka diberi zakat yang dapat di pergunakan untuk modal dagang, sehingga keuntungannya dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang wajar.
Seirama dengan pendapat tersebut diatas, M. A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat di dayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktifitas-aktifitas kesejahteraan sosial karena zakat bukanlah pemberian berupa belas kasihan, akan tetapi merupakan hak dari pihak-pihak tertentu yang bersangkutan langsung dengan harta tersebut. (Ali Yafie, 1994: 236). Tujuan dari tiu semua adalah agar tidak terjadi perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak tumbuh menjadi semakin kaya (dengan mengeksploitasi anggota masyrakat yang miskin) dan yang miskin semakin miskin. (Afzalurrahman, 1996: 245-250).
4. Pendayagunaan Zakat dalam Islam
Pendayagunaan harta zakat secara umum dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu pendayagunaan harta zakat kedalam bentuk konsumtif dan produktif. Maksud konsumtif di sini adalah harata zakat yang di arahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar. Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama di rasakan oleh kelompok fakir, miskin, garim, para anak yatim piatu, orang jompo atau orang cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya, serta bantuanbantuan yang lain yang bersifat temporal (temporary relief) atau insidental seperti; zakat fitrah, bingkisan lebaran, dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya Idul Adha.
Secara nyata kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa di atasi dengan menggunakan harta zakat tersebut secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada jangka waktu tertentu, pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak yang lain, yang di pergunakan semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin di harapkan meningkat sebagai hasil dari produktifitas mereka yang lebih tinggi. (M. A. Mannan, 1985).
5. Islam dan Masyarakat
Didalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat allembracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Ada beberapa tahapan dalam melakukan transformasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Islam sehingga tidak terjadi hilangnya/terkikisnya nilai-nilai Islam pada masyarakat Islam.
Pertama-tama kita harus memperhatikan apa yang paling mendasar dari nilai-nilai Islam? Di dalam Al-Qur’an, kita seringkali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, “percaya kepada yang gaib”, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Didalam ayat tersebut kita bisa melihat formulasi trilogi iman-shalat-zakat; sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Kita menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, keyakinan berujung pada aksi. Artinya tauhid harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari: pusat keimanan Islam memang Tuhan tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin, termasuk untuk kemanusiaan. Islam adalah sebuah humanisme teosentrik, yaitu agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.Islam misalnya tidak mengenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologis yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Memang wahyu bertindak sebagai furqan (sebagai pembeda kebenaran dari kepalsuan) dan sebagai huda (petunjuk). Namun demikian, Al-Qur’an jelas sekali senantiasa menekankan digunakannya akal, observasi empiris atau pengalaman dan bahkan intuisi, untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu itu. Itulah sebabnya Islam sejalan dengan peradaban manusia.
6. Solusi-Problematika
Sesungguhnya kita tak punya alasan untuk khawatir atas munculnya sekularisme jika kita yakin bahwa Islam dapat mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama. Sekularisme hanya akan muncul jika agama gagal melakukan tugas ini. Kita telah melihat dalam sejarah Islam bahwa ilmu pengetahuan justru sangat berkembang karena dimotivasi oleh semangat religius untuk mencapai kebenaran. Inilah bukti terbesar bahwa Islam mampu mengadopsi ilmu pengetahuan tanpa harus mengalami kontradiksi, suatu prestasi yang gagal dilakukan oleh agama-agama lain. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dapat melakukan transformasi nilai-nilai Islam pada zaman sekarang? Masyarakatnya sering disebut masyarakat industrial atau masyarakat informasi. Strategi apakah yang harus kita lakukan untuk melakukan transformasi dalam masyarakat seperti itu. Untuk menjawab hal itu, perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut. Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama-tama nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral praktis Al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, kedalam perilaku. Pendekatan semacam ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal perilaku harus sesuai dengan sistem normatif. Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industrial–suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekedar pendekatan legal. Metode untuk transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi–filsafat sosial–teori sosial–perubahan sosial. Sampai sekarang kita belum melakukan usaha maksimal kearah sana. Bagaimana mungkin kita akan dapat mengatur perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial?
Ada beberapa tawaran alternatif yang dikemukakan Kontuwijoyo dalam me-restorasi masyarakat agar terkait dengan ajaran Islam.
1. Perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur’an. Misalnya ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang melarang untuk hidup berlebih-lebihan, kalau melihat fenomena ini secara individual kita mengutuk orang-orang yang hidup berfoya-foya dan lain sebagainya. Tapi yang harus dicari sebenarnya adalah mencari sebab-sebab struktural kenapa gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi ? Secara mendasar kita melihat ada konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumbersumber penghasilan atas dasar etika keserakahan. Inilah sistem yang harus kita “bongkar” karena tidak sesuai dan sangat dikecam oleh ajaran Islam.
2. Mengubah cara berfikir subjektif kearah berfikir objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berfikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Misalnya tentang ketentuan zakat, secara normatif memang diarahkan untuk “pembersihan” harta kita, tapi sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada dasarnya adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Dari reorientasi semacam ini kita ingin mengembangkan tesis yang lebih luas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang didalamnya zakat merupakan salah satu instrumennya.
3. Mengubah Islam normatif menjadi teoritis. Selama ini kita cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an pada level normatif, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Seperti konsep fuqara dan masakin, paling banter kita melihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani sehingga kita wajib memberikan sedekah, infaq atau zakat kepada mereka. Dengan menggunakan pendekatan teoritis akan lebih dapat memahami konsep tentang kaum fakir dan kaum miskin pada konteks yang lebih nyata, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan cara itu kita dapat mengembangkan konsep yang lebih tepat tentang siapa sesungguhnya yang dimaksud sebagai fuqara dan masakin itu, pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka dalam suatu masyarakat dan sebagainya. Dengan demikian maka banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al- Qur’an.
4. Mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis, kisah tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir’aun sering hanya dipahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berfikir sesungguhnya kaum yang tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada di setiap level sosial.
5. Last but not least barangkali merupakan simpul dari keempat program diatas adalah bagaimana merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah mengecam orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan mereka (orang kaya).Pernyataan ini jelas bersifat umum dan normatif. Kalau ditarik secara spesifik dan empiris itu berarti kita harus menerjemahkan pernyataan itu ke dalam realitas sekarang, bahwa Allah mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan politik, adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elit yang berkuasa. Dengan menerjemahkan seperti ini maka pemahaman akan Islam menjadi kontekstual, sehingga penafsiran semacam ini menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial, dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosial sekarang. Dengan menyadari akan kelemahan ini, maka kita didesak untuk segera mengimplementasikan tawaran-tawaran diatas, pilihan-pilihan mana yang akan kita pilih semua terpulang pada kita umat Islam. Kita harus optimis menghadapi tantangan kedepan dan tidak perlu takut dengan tesis bahwa sekularisme akan melindas fungsi agama karena datangnya kebudayaan yang rasional.
6. Konsepsi Zakat Produktif Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menguraikan konsep zakat produktif pada pembahasan mengenai pembagian zakat (mustahik).
Pemikiran tersebut dalam kitab Sabil al-Muhtadin dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Kepada fakir atau miskin yang tidak dapat berusaha (tidak ada keterampilan) dan tidak bisa berdagang, diberikan zakat untuk biaya hidup mereka selama sisa umur galib (umur galib 60 tahun). Kalau umur fakir atau miskin 40 tahun, maka sisa umur galib 20 tahun. Pemberian zakat bukan lagi berupa uang tetapi berupa barang yang menghasilkan (dengan izin imam), seperti kebun yang harga sewa atau hasilnya cukup untuk memenuhi
2. kebutuhan belanja selama sisa hidupnya. Harta zakat ini dimilikinya dan di wariskan kepada keluarga penerima zakat.
3. Kepada fakir atau miskin yang pandai berusaha karena telah berpengalaman maka diberi zakat untuk membeli alat-alat yang di perlukan dalam pekerjaannya meskipun jumlahnya banyak dan harganya mahal. Pembelian alat ini pun atas izin imam.
4. Kepada fakir atau miskin yang mempunyai keterampilan lebih dari satu macam, tetapi tidak mempunyai peralatan untuk setiap macam keterampilannya, maka di berikan zakat untuk membeli peralatan. Apabila tidak cukup untuk mebeli peralatan dua atau lebih keterampilan, maka dibelikan peralatan untuk satu macam keterampilan yang paling memadai baginya. Terhadap mustahik seperti ini (poin 2 dan 3), apabila hasil usahanya belum menutupi kebutuhan hidupnya maka dapat diberikan pula barang yang menghasilkan seperti kebun.
5. Kepada fakir atau miskin yang pandai berdagang, diberikan zakat untuk modal berdagang dengan di perkirakan agar keuntungan yang akan di peroleh cukup untuk kebutuhan hidupnya selam sisa umur galib. Jika mereka telah memiliki kebun dan meniagakan hasilnya namun keuntungannya masih belum mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, maka kepada mereka diberi zakat untuk menambah kebunnya agar hasilnya mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Kepada fakir atau miskin yang bisa berdagang namun kekurangan modal. Misalkan seseorang hanya mempunyai modal 90 dirham dan dengan modal tersebut keuntungannya tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya akan tercukupi, maka kepadanya diberikan zakat untuk menambah modal.
Keuntungan Pengelolaan Zakat Melalui Baitul Maal Dibandingkan dengan pajak modern, zakat memiliki keuntungan tertentu atas zakat, sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, penghindaran pajak merupakan masalah serius bagi pemungutan pajak modern. Setiap orang tahu bahwa banyak orang berusaha menghindari pembayaran pajak penghasilan dengan memberikan keterangan palsu. Masalah paktek curang dalam hal zakat sangat kecil kemungkinannya karena sifat religio-ekonomiknya. Tidak perlu dikatakan bahwa zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Dalam bidang ekonomi, zakat merupakan penyerahan diiri dengan sukarela kepada kehendak Allah. Kedua, sumber utama zakat yang merupakan kekayaan tertimbun dan tidak digunakan, dipakai untuk tujuan yang mulia. Hanya melalui zakatlah ada kemungkinan untuk menggali kekayaan tertimbun untuk di manfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat yang lebih besar.
Karena zakat merupakan perintah Ilahi, maka kerja sama yang ikhlas dari pribadi yang bersangkutan untuk mengeluarkan kekayaannya yang tertimbun dapat terjadi. Akhirnya, tujuan zakat dan pokok pengeluarannya telah jelas diterangkan dalam kitab suci Al-Qur’an. Jadi pemerintah tidak diperkenankan membelanjakan uang yang di pungut dari pajak zakat sengan sesuka hatinya. Jaminan Sosial. Dewasa ini, hampir semua negeri yang maju menyerukan adanya program jaminan sosial. Mengenai makna dan cakupan jaminan Profesor F. Benham dalam bukunya, Economics, menyatakan: “ Negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang minimum bagi senua warga negaranya. Ungkapan yang biasa digunakan untuk jaminan minimum ekonomi ini adalah jaminan sosial. Tidak ada perbedaan jelas dan tegas yang disepakati secara umum, antara jaminan sosial dan aturan lainnya untuk mengurangi ketidaksamaan, seperti perawatan rumah sakit, nasiat kedokteran, pengobatan dan pendidikan cuma84 cuma, dan subsidi untuk bahan pangan serta perumahan untuk kelas pekerja. Biasanya yang dimasukkan ke dalam aturan jaminan sosial hanyalah rencana uuntuk memberikan kedejahteraan keuangan pada orang yang menderita kesukaran ekonomi. Program semacam itu juga meliputi asuransi terhadap pengangguran dan si penderita sakit, kompensasi bagi para pekerja yang mengalami kecelakaan ketika melakukan pekerjaannya, bantuan melahirkan, tunjangan keluarga untuk anak-anak,pensiun untuk orang tua, mereka yang cidera dalam perang, dan dalam usaha terakhir bantuan nasional.”
Kesimpulan
Dari uraian di atas inti dari zakat sebagai pokok ajaran agama Islam bahwa zakat mengandung hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dari zakat adalah sifat-sifat rohaniah dan filosofis yang terkandung dalam zakat. Sedangkan yang di maksud dengan tujuan zakat disini adalah sasaran praktisnya salah satu tujuan zakat terpenting adalah mempersempit ketimpangan ekonomi dalam masyarakat hingga batas yang seminimal mungkin. Dengan demikian secara umum, dapat di simpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta zakat konsumtif adalah mereka yang di kategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain : pangan, sandang, papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal bisa untuk berlindung dan beristirahat. Segolongan orang berpendapat bahwa peran agama adalah membangun nurani, menghidupkan hati, dan menyuguhkan tamsil-tamsil ideal kepada umat manusia. Selanjutnya ia berusaha mengarahkan manusia melakukan sesuatu dengan mengharapkan ganjaran Allah SWT, atau mengarahkan dengan ancaman atau siksaan-Nya.
Di luar hal itu merupakan hak penguasa untuk menentukan, mengatur, menuntut, dan memberikan sangsi dalam urusan politik. Barangkali pandangan itu sesuai dengan ajaran sejumlah agama. Namun, Islam menolak mentah-mentah pandangan tersebut. Islam, dengan kitab suci al-Qur’an, adalah agama aqidah, sistem, moral, dan undang-undang kekuasaan. Islam tidak menempatkan masalah zakat sebagai urusan pribadi, tetapi sebagai salah satu tugas pemerintahan. Dalam hubungan ini, Islam menyerahkan wewenang kepada negara untuk memungut dan membagikannya kepada mereka yang berhak. Masalah ini tidak hanya di dasarkan pada kemurahan hati individu. Sebab, terdapat sejumlah faktor yang tidak dapat di abaikan oleh syari’at.
Daftar Pustaka
Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta PT. Dana Bhakti Wakaf. 1993.
Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta PT. Dana Bhakti Wakaf. 1993.
Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988.
Asnaini S.Ag., M.Ag. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, Cet.IYogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Bouthoul, Gaston. Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun. Edisi I, Cet.I-Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Fink Hans, Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas, Cet.I-Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Hafidhudin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta : Gema Insani Press. 2002.
Mas’udi, F. Masdar. Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak Dan BelanjaNegara Untuk Rakyat. Bandung : PT. Mizan Pustaka.2005.
Nasution, S. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2004.
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
Quthb Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam. PUSTAKA. Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jilid 3. Bandung: Alma’arif. 1986.
Soehada, Moh. Pengantar Penelitian Sosial Kualitatif, Buku Daras, Program Studi
Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.
Supranto, J. M.A. Teknik Sampling Untuk Survey dan Eksperimen, Cet.IIIYogyakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Memahami Pluralisme Agama
(Sebuah Telaah Wacana)
Gatot Suhirman
Mahasiswa Magister Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Email:gatotsuhirman@yahoo.com.
Abstrak
Wacana pluralisme agama dalam diskursus keberagamaan kontemporer seolah menghipnotis banyak kalangan. Di satu sisi, konsep wacana ini dianggap begitu menjanjikan sebagai pola ideal dalam memaknai keberagamaan dalam hubungan lintas agama di era pluralisme dan multikulturalisme sekarang ini. Konsep ini muncul berawal dari kegagalan konsep-konsep sebelumnya (inklusivisme dan eksklusivisme) yang dianggap tak lagi mampu untuk menyelesaikan permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi. Jika agama dimaksudkan sebagai petunjuk dan penuntun manusia dalam merealisasikan ajaran-ajaran yang pada akhirnya demi kemanusiaan itu sendiri, maka konsep pluralisme agama dilahirkan untuk mengatur pola hubungan antar agama-agama yang ada. Karena pada kenyataannya di dunia ini, agama yang ada tidak hanya satu. Hal itu membuktikan bahwa diperlukan suatu konsep yang dapat menjamin semua agama untuk saling bersinergi, bukan untuk saling menjatuhkan.
Namun demikian, di sisi yang lain, tawaran konsep pluralisme agama dianggap akan mencederai bangunan keyakinan keagamaan, ”akidah”, tertentu. Akidah Islam misalnya. Karena itu, konsep tersebut harus ditolak dan dianggap sebagai ”racun” keyakinan.
Oleh karena itu, untuk dapat memposisikan diri dalam arus perdebatan yang terjadi, diperlukan sebuah telaah atas wacana yang berkembang seputar isu pluralisme agama.
Keywords: Pro-kontra Pluralisme, Pluralisme Agama, Pluralis tanpa Pluralisme dan hubungan antar-agama.
Pendahuluan
Wacana pengembangan pemikiran Islam yang terus bergulir, khususnya di Indonesia, sejatinya telah melahirkan berbagai pandangan yang dikatakan "maju" dengan mengatasnamakan pembaharuan itu sendiri dan tuntutan modernitas. (Sidik Tono, 2003: 198). Berbagai pandangan sebelumnya yang dianggap bertentangan atau bahkan tak sesuai lagi dengan realitas kontemporer dewasa ini dibongkar dan dirombak kembali untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan masa kini.
Munculnya para tokoh pemikir Islam dengan segala tawaran pembaharuannya mengindikasikan bahwa reinterpretasi, rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap pemahaman al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai akar spiritualitas Islam dalam menetapkan hukum mutlak harus dilakukan.( Ilyas Supena 2002: 117). Demikian pula halnya, reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam menjadi sebuah keniscayaan. Berbagai fenomena sosial yang secara eksplisit belum, bahkan tak tersurat sama sekali, amat menuntut untuk segera dicari solusi dan penyelesaiannya demi mewujudkan cita-cita Islam yang universal, progresif dan elastis (Ibnu Hajar, 2003: 149), sa>lih li kulli zama>n wa maka>nin, rahmatan li al-'a>lami>n, serta Islam yang dinamis dan tanggap atas setiap perubahan yang terjadi, karena memang karakter awal ajaran Islam selalu sejalan dengan pergantian ruang dan perjalanan waktu, ia senantiasa survive memenuhi kebutuhan umat Islam dan menjawab tantangan sepanjang masa. (Ibnu Hajar, 2003: 170)
Dalam upaya pengkontekstualisasian seperti inilah kontroversi dan perdebatan seringkali tak bisa dihindarkan, truth claim pun menjadi sesuatu yang "wajib" muncul dalam setiap bentuk pemikiran dan ide yang dimunculkan demi mendukung gagasan masing-masing, bahkan terkadang berujung konflik. (Hasan Bisyri, 2000) Gambaran ini akan menunjukkan wujudnya dengan lebih jelas apabila kita mengamati dinamika pemikir-pemikir Islam dan muatan intelektual yang mereka lontarkan, baik yang disampaikan secara individu-personal maupun kolektif-institusional. Berbagai perbincangan seputar masalah keagamaan pun kembali menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat, khususnya yang berpijak pada paradigma syari'ah (Islam). Saefurrahmat, 2002). Salah satu isu aktual saat ini yang muncul ke permukaan adalah pergeseran paradigma pemahaman yang berkaitan dengan hubungan lintas agama yang sering disebut sebagai Paham Pluralisme Agama. Berbagai asumsi terhadap agama yang ditengarai sebagai akar perubahan pandangan tersebut turut pula ditampilkan. (Mudji Sutrisno, 1993: 40-41).
Terdapat kelompok Islam yang menerima dan meyakini bahwa paham pluralisme merupakan suatu keniscayaan bagi terwujudnya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat yang berbeda keyakinan, agama, sosial, budaya, ras dan keturunan, kelompok ini disebut kelompok Pro-Pluralisme. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik untuk meredam ketegangan dan konflik intra dan antar umat beragama yang terjadi, terutama setelah era reformasi dikumandangkan, dan di masa mendatang. (Masdar F. Mas’udi: 1993: 29). Lebih jauh, kelompok pro pluralisme mengembangkan tafsir Islam-Pluralis. (Djohan Effendi, 2001). Mereka menunjuk beberapa ayat dalam al-Qur'an yang mengindikasikan adanya kebenaran dan jalan keselamatan dalam agama-agama yang dijadikan dasar pijakan teologis praktek toleransi dan kerjasama antar umat beragama. (Muh. Tasrif, 2006).
Namun, disamping kelompok pro pluralisme terdapat pula kelompok Islam lain yang menolak dan membantah keyakinan kelompok pertama, yaitu kelompok Kontra-Pluralisme. (Masdar F. Mas’udi: 1993) Tanggapan dan bantahan pun mereka lontarkan untuk meng-counter keyakinan kelompok pertama. Pada perkembangannya kelompok inipun mengembangkan tafsir Islam Kontra-Pluralis, (Muh. Tasrif, 2006). sebagai pijakan dasar teologis dalam mendukung praktek keagamaan mereka, bahwa tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan kecuali dalam Islam.
Lebih lanjut, kelompok kedua melihat paham (plralisme agama) ini sebagai bentuk penyeragaman segala perbedaan dan mengusung keyakinan inklusif-pluralis yang mensamaratakan semua agama. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006) Karenanya, ia secara ontologis bertentangan dengan sunnatullah, (Anis Malik Thoha: 2005), yang pada gilirannya mengancam eksistensi manusia dan hanya akan merusak kemurnian paham dan aqidah yang telah disepakati oleh para ulama sejak masa permulaan Islam.
Pro-Kontra Wacana Pluralisme
Persoalan pluralisme agama dalam Islam sejatinya telah menjadi perdebatan serius di kalangan para pemikir Islam, karenanya, berbagai respons dan tanggapan pun dilontarkan. Diantara sekian respons itu, terdapat beberapa pandangan yang mendukung pluralisme agama dan tidak sedikit pula yang meng-counter serta menolak gagasan pluralisme agama. Di antara pendapat yang mendukung pluralisme, Nurcholish Madjid misalnya, dalam ceramah budayanya di Taman Ismail Marzuki (TIM), sebagaimana dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur'an misalnya, ia menjelaskan bahwa antara Islam dan agama-agama samawi lainnya (Ahl al-Kita>b), yaitu Yahudi dan Nasrani terdapat beberapa persamaan yang menjadi titik-temu yang amat menonjol, antara lain; sama-sama berasal dari Tuhan yang sama. Kemudian ia menjelaskan tentang konsep kesatuan pesan dan kontinuitas ajaran para nabi sebagai common flatform-nya. Pada sisi yang sama ia juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respon khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok dan inti syari’at para nabi dan rasul adalah sama, (Nurcholish Madjid, 1993). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa titik temu semua agama yang memiliki kitab suci adalah pada ajaran “kebaikan” bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Kebaikan atau hikmah inilah yang patut dipelajari dari sekian agama-agama yang ada.
Para pendukung pluralisme yang lain, bahkan memandang bahwa demokrasi, masyarakat madani dan pluralisme (termasuk pluralisme agama) adalah tiga serangkai yang harus menjadi agenda utama umat Islam dalam menyongsong masa depan. (Djohan Effendi, 2001). Menurut mereka, pada masa sekarang ini agama-agama (khususnya di Indonesia) harus bekerja lebih keras lagi, karena “agama” ikut bertanggung jawab atas menggejalanya kekerasan, langsung maupun tidak langsung, menolak pluralisme hanya akan menambah daftar panjang kebencian dan kekerasan atas nama agama, dan itu sama artinya dengan menolak masyarakat madani itu sendiri. Tegasnya, masing-masing agama lebih mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif.
Masdar Farid Mas’udi pun, salah satu pendukung pluralisme agama, memilah pengertian Islam pada tiga tatarannya: Islam sebagai Aqi>dah, syari>’ah dan akhla>q. (Masdar F. Mas’udi: 1993). Islam sebagai aqi>dah yaitu komitmen nurani dan batin untuk selalu pasrah/berserah kepada Tuhan, dan inilah hakikat, karena inti dan esensi dari seluruh keislaman memang terletak di situ adanya. Ia adalah agama yang azali, yang ada dalam nurani sejak manusia sendiri belum lahir di bumi. Pada tataran inilah semua agama samawi sama. Keislaman pada tataran syari>’ah, yaitu ajaran tentang bagaimana kepasrahan itu dipahami. Pada tataran kedua ini agama-agama berbeda. Islam pada tataran ini hanyalah piwulang formal yang sudah mulai menampakkan batas-batas partikularnya. Jika Islam syari>’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dikemukakan dalam bahasa Arab, dihimpun dalam sebuah kitab suci yang bernama al-Qur’an, maka Isla>m Syari>’ah yang dibawa Nabi Isa dikemukakan dalam bahasa Ibrani dan terhimpun dalam sebuah kitab dengan nama Injil. Demikian pula Isla>m syari>’ah Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan lain-lainnya. Disebabkan ciri-ciri partikularnya itu, maka “Islam” (Islam Aqidah) yang pada hakikatnya merupakan satu-satunya agama Tuhan pun lalu mengenal pengkotak-kotakan. Tegasnya, ketika manusia beragama menyebut agama, maka pada umumnya yang dimaksud adalah agama pada tataran Islam Syari’ah, atau tataran normatifnya.
Ketiga, Islam sebagai akhla>q, yaitu sebagai laku-laku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi diri-personalnya, maupun dalam dimensi sosial-kolektifnya.
Akan tetapi, pendapat para pemikir yang pro terhadap pluralisme tidak serta merta ”diamini” oleh semua kalangan. Bahkan, penerimaan atas konsep pluralisme mendapat penentangan luar biasa dari kalangan yang tak sepaham dengan mereka. Dalam konteks ini, wacana tandingan pun turut pula dilontarkan dalam rangka menolak dan mengkritik paham yang dianggap ”sesat” itu. Adian Husaini misalnya, mengkritik teologi inklusif/pluralis yang dilontarkan oleh para pendukung pluralisme sebagai tidak memiliki dasar dalam al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, atau pendapat para ulama salaf (terdahulu). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa teologi inklusif/pluralis tersebut bersifat dekonstruktif terhadap konsep-konsep dasar Islam dan menghancurkan fondasi keimanan Islam. (Adian Husaini, 2005). Para pengkritik yang lain pun menyebut teologi Islam kaum pluralis masih bersifat inklusifisme monistik yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang paling superior di antara agama yang lain (Munawwiruzzaman, 2006).
Penolakan yang sedikit ekstrim muncul dengan menyatakan bahwa pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri, sehingga jelas bahwa ia bukanlah bagian dari Islam, apalagi Islam itu sendiri. Penolakan lain muncul dengan pernyataan bahwa paham inklusif-pluralis meskipun mengaku Islam namun juga secara terang-terangan mengakui akidah mereka berbeda. Selanjutnya "Akidah yang berbeda" itu memerlukan "Fiqih yang berbeda", "Akidah eksklusif" maka memerlukan "Fiqih eksklusif", demikian pula halnya "Akidah Inklusif" dengan sendirinya memerlukan "Fiqih Inklusif" pula. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006)
Lebih jauh, pluralisme agama dianggap tak lain dan tak bukan adalah kerangka berpikir "talbi>sul Ibli>s", yaitu memoles dan membungkus kebatilan dengan berbajukan agama, dan berhujjah dengan dalil-dalil al-haqq untuk tujuan kesesatan, seperti perilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Sayangnya, respon yang ada selama ini, dengan menyimak alur perdebatan pro-kontra sebagaimana yang ditampilkan di atas, terkesan masih bersifat sangat polemis sehingga dukungan dan kritikan yang diarahkan kepadanya belum bahkan tidak langsung tertuju kepada titik utama permasalahan yang menjadi polemik. Tulisan-tulisan dan karya ilmiah dalam merespon pro-kontra tersebut masih dirasa sangat subyektif, dengan kata lain tanggapan yang diberikan terkesan cenderung “ikut-ikutan” meligitimasi (setuju) atau rejektif menolak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mempertemukan dua kutub yang berseberangan tersebut dalam satu bingkai wacana dengan berhadapan secara langsung dan memaparkan pandangan masing-masing secara dialogis untuk kemudian bersama-sama mempertimbangkan kembali atau berusaha membandingkan pendapat masing-masing. Dengan demikian, dalam hemat penulis, diperlukan adanya suatu pemikiran alternatif berupa pemikiran ”poros tengah” dalam rangka meredam ketegangan antara pandangan yang satu sama lain saling membelakangi itu.
Tinjauan Umum Tentang Pluralisme Agama
Pluralisme agama lahir sebagai tuntutan modernitas dan globalisasi dunia terhadap agama. Era keterbukaan budaya dan pemikiran secara bersama-sama akan berpengaruh pada perubahan cara seseorang atau kelompok memandang "obyek" di luar dirinya. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006). Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif untuk membimbing manusia sangat dinantikan, bahkan di abad 21 ini diprediksikan sebagai abad (kebangkitan) agama. Namun demikian, harapan yang begitu besar terhadap agama ini dihadapkan pada problem truth claim (klaim kebenaran). Apalagi jika klaim kebenaran itu memasuki wilayah sosial politik dalam ranah praktis-empiris. Jika demikian halnya, maka harapan-harapan besar terhadap peran agama untuk mengatasi problem dunia mungkin akan semakin pupus. Orang lebih mementingkan agama sebagai kelembagaan eksoteris dan identitas lahiriah, bukan melihat dan mementingkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya terkandung dalam agama itu sendiri. Oleh karena itu, dalam era pluralisme agama ini, meletakkan klaim kebenaran terhadap keyakinan diri dan orang lain secara tepat dan proporsional merupakan suatu tuntutan yang tak dapat ditunda-tunda lagi.
Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Pluralisme berasal dari istilah Inggris. Dalam kamus Bahasa Inggris pluralism berarti jamak atau lebih dari satu. Kata tersebut mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles (1952). Ketiga pengertian tersebut menurut Anis Malik Thoha dapat disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. (Anis Malik Thoha, 2005).
Pluralisme adalah suatu sistem berpikir yang beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak), dengan demikian pluralisme tidak hanya mengenal satu macam kebenaran final. Sebagai sebuah pemikiran, pluralisme biasanya dilawankan dengan monisme. Monisme adalah sebuah cara pandang yang menganggap bahwa hakikat sesuatu itu adalah tunggal. Aliran pemikiran yang menengahi kedua pemikiran itu dikenal dengan dualisme, yang menganggap bahwa hakikat sesuatu adalah terdiri dari dua hal. (Ali Mudhofir, 1996), (Muhyar Fanani, 2003)
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme adalah suatu pandangan yang meyakini akan banyak dan beragamnya hakikat realitas. Sebagai akibat dari pola pikir ini adalah seseorang tidak boleh mengklaim bahwa realitas yang ia pahami saja yang paling benar dan yang lain salah. Pandangan semacam ini menurut Muhammad Hasan Bisyri dapat dipakai untuk melihat segala realitas kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan keberagamaan (fiqih lintas agama). (Mohammad Hasan Bisyri, 2006).Lebih lanjut, menurut Haryatmoko, dalam perspektif pluralisme, keberagamaan hendaknya tidak dilihat pada sisi benar atau salah, akan tetapi dilihat pada nilai-nilai dan kekhasannya masing-masing. (Haryatmoko, 2000)
Menurut hemat penulis, tentu pendapat tersebut tidaklah berlebihan, karena disadari atau tidak pluralisme agama sebenarnya mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana masing-masing agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya agama mereka saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi pihak dan komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka dan saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi harapan semata, apabila masing-masing masih tetap mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif, memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain kafir. Implikasi dari sikap seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan kecurigaan antaragama, sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak berujung.
Menyadari akan hal itu, di mana pada masa-masa sebelumnya pemikiran dan komunitas keagamaan senantiasa menempatkan "orang lain" (al-akha>r) sebagai kelompok manusia yang salah jalan, durhaka atau ingkar yang dalam term agama diistilahkan dengan “kafir”. Maka, sejak awal abad ke-20, atau setidaknya pertengahan abad itu, sikap-sikap tersebut mulai berubah. Masyarakat dan terlebih lagi pemikiran keagamaan menjadi lebih terbuka dalam melihat realitas bahwa di bumi ini masyarakat memang telah terkonstruk demikian plural. Oleh karena itu, dalam suasana yang plural dibutuhkan kesepahaman yang menyeluruh sehingga keragaman (agama) tersebut tidak menjadi sumber konflik, bahkan dapat dijadikan ajang bahu-membahu dalam membangun masyarakat demi kepentingan bersama. Dari sini mulai muncul terminologi pluralisme (fiqih pluralis, teologi pluralis) dalam diskursus religious studies di dunia, termasuk di Indonesia. Paham pluralisme dimaksudkan untuk menghilangkan paham kemutlakan, superior, eksklusif, truth claim dan lain-lain yang sejenis untuk kemudian memunculkan sikap-sikap rasionalisme, inklusif, saling menghormati keyakinan keagamaan dan saling belajar serta berbagi pengalaman untuk kebaikan. (Masnun Tahir, 2007)
Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun lebih dari itu, ia menuntut adanya keterlibatan secara aktif terhadap kenyataan kemajemukan dan sikap apresiatif yang mendalam terhadap sistem yang berbeda. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak kelompok (agama) lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. (Alwi Shihab, 2004). Akan tetapi, perlu dipahami pula bahwa tercapainya kerukunan tersebut bukanlah merupakan hasil maksimal dan tujuan final dalam menciptakan tatanan yang lebih kondusif di tengah masyarakat. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk meretas suasana rukun tersebut selangkah lebih maju lagi menjadi "kerjasama" antar umat beragama. Karena, suatu usaha yang hanya sampai pada level "damai" dan "dialog" semata tentu hasil yang dirasakan cuma sebatas itu pula. Lebih dari itu, suasana damai dan dapat menerima keberadaan satu sama lain harus serta merta pula dibarengi dengan tindakan produktif untuk membangun suatu kerjasama yang positif, sehingga dalam menghadapi problematika kehidupan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini dan masa depan, agama diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu yang menenteramkan dan mampu memberikan solusi bagi nestapa yang senantiasa meliputi perjalanan hidup manusia.
Menurut Alwi Shihab pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme, relativisme dan sinkretisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, suku, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Alwi memberikan contoh, di New York, sebagai kota kosmopolitan dihuni oleh orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang yang tanpa agama. Dalam kota kosmopolitan ini interaksi antar penduduk, khususnya di bidang agama, meskipun ada tetapi terjadi sangat minim.
Relativisme mempunyai asumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau "nilai" ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir subyektif seseorang atau masyarakatnya. Menurut konsep ini baik atau buruk, benar atau salah adalah relatif, tergantung pada pendapat individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan agama. Oleh karena itu, konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi (Alwi Shihab, 2004). Relativisme tidak memiliki patokan obyektif dalam kehidupan. Norma-norma moral tidak pernah berlaku secara mutlak dan tidak dapat mengikat secara mutlak. Sebagai konsekwensi dari paham ini doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Dengan kata lain semua agama adalah sama. Paham relativisme ini menolak anggapan kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Konsep ini bertahan sampai masa kini khususnya dalam pendekatan ilmiah yang dipakai oleh para ahli antropologi dan sosiologi.
Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam paham pluralisme memang terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006). Seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Memang tak dapat dielakkan bahwa jika pluralisme dipahami secara salah dapat melahirkan suatu sikap acuh tak acuh terhadap agama, dan bisa menyebabkan seseorang melalaikan berbagai kewajiban agama. Padahal penunaian kewajiban-kewajiban itu justru merupakan syarat utama untuk mencapai keselamatan. (Frithjof Schuan, 1987).
Oleh karena itu, untuk membedakannya dengan relativisme, dalam menerapkan konsep pluralisme ini membutuhkan komitmen dan loyalitas yang kokoh terhadap agama masing-masing. Dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, seorang pluralis bukan saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus commited terhadap agama yang dianutnya, hanya dengan sikap demikian dapat terhindar dari jebakan relativisme agama. (Alwi Shihab, 1999) . Sementara itu, sinkretisme adalah menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Contoh dari agama sinkretisme ini adalah Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Husai Ali Nuri yang dikenal sebagai agama Baha Ullah. Elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi, Kristen dan Islam. Dengan demikian, pluralisme agama bukan sinkretisme agama, karena pluralisme agama tetap mengakui perbedaan-perbedaan agama-agama. (Masykuri Hamdie, 2006).
Penegasan lebih lanjut, Schuon menegaskan bahwa aspek eksoteris agama amat penting untuk diperhatikan, karena ia merupakan hal yang sudah menjadi kehendak ilahi. Oleh karena itu ia menganggap palsu ajaran-ajaran yang hanya mengedepankan aspek esoterisme semata dan menolak ajaran-ajaran eksoterisme, dan hal itu bisa dianggap sebagai kafir. Sikap menerima kritik dan akomodatif terhadap eksistensi dan kebenaran agama yang lain muncul sebagai reaksi atas kenyataan empiris bahwa agama yang ada di bumi ini bukan hanya Islam, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. melainkan juga agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani, serta agama non-samawi, seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Islam pluralis ini meyakini dengan sungguh-sungguh terhadap ajaran agamanya, namun di sisi lain ia juga menyadari bahwa kebenaran yang terdapat dalam agamanya mungkin saja dijumpai dalam agama lainnya. Oleh karena keyakinan semacam inilah yang mendorong mereka untuk bersikap menghargai dan hormat terhadap keyakinan yang dimiliki agama lain.
Pluralitas agama (religious plurality) tidak harus diartikan secara langsung sebagai pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang paling kongkret sehari-hari. Akan tetapi ia berarti bahwa semua agama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing. Pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama dan tidak pula bermaksud menyatukan agama. Karena gagasan pluralisme agama, sebagaimana dicatat oleh Budhy Munawar Rahman, merupakan bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan komunikasi untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya dunia yang berbeda-beda dan membiarkan mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Karenanya, pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah keragaman yang tidak saling menyapa yang merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Sementara pluralisme berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik itu. (Budhy Munawar Rahman, 2000)
Adapun kondisi yang dikehendaki oleh konsep pluralisme agama, sebagaimana dicatat Muhammad Hasan Bisyri, adalah: (1) apabila setiap agama, termasuk juga komunitas umatnya, dapat memberi tempat kepada penganut agama lain, tidak hanya dalam perasaan toleransi sebagai warga negara kelas dua; (2) apabila setiap agama dapat membedakan antara keyakinan dan konsekwensi moral mereka; (3) apabila ada konsensus yang pasti dapat dicapai oleh masyarakat yang berbeda-beda keyakinan untuk saling menghormati tatanan moral yang penting bagi pribadi dan sikap sosial mereka.
Membongkar Identitas Semu Kaum Pluralis; Sebuah Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme
Ada sebuah kejanggalan yang mungkin dapat terbaca ketika kita merenungi kembali konsep Hak Asasi Manusia (HAM), dalam konteks ini adalah konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, yang masih perlu dipertanyakan kembali. Konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, dalam tataran praktisnya ternyata berbeda dari apa yang diharapkan secara normatif. Hal yang sama juga berlaku pada pembacaan lebih mendalam ketika agama menjadi tumpuan harapan bagi kedamaian hidup manusia, justru fakta di lapangan berbicara lain ketika agama terkesan hanya dijadikan "alat" legitimasi oleh penganutnya untuk memerangi kelompok agama yang dianggap berbeda di luar dirinya. Ini berarti bahwa keselarasan antara normativitas dan historisitas HAM dan agama itu sendiri menjadi "barang langka" yang demikian sulit diwujudkan.
Berdasarkan penilaian semacam itu, seringkali yang muncul kemudian adalah adanya anggapan bahwa konsep agama merupakan akar permasalahan bagi tragedi kemanusiaan dan konflik antar golongan yang selama ini terjadi. Anggapan ini mungkin tidak dapat disalahkan, tapi tentu saja tak dapat sepenuhnya dibenarkan. Karena pada dasarnya tidak ada yang salah dengan HAM ataupun agama. Sebagai ajaran yang diyakini datang dari Tuhan yang Maha Sempurna, maka agama tidak pernah salah, yang salah adalah pemahaman seseorang terhadap agama dan kecenderungannya untuk menganggap pemahaman dan istitusi sosial agama itu sebagai "agama, (Andi Dermawan, 2009). Begitu juga HAM dalam tataran konsep adalah sesuatu yang patut mendapat apresiasi, meskipun seringkali pada prakteknya tak terlihat seperti yang dikonsepkan.
Pemahaman yang tepat atas situasi yang demikian dalam menyikapi normativitas dan historisitas yang tidak selalu sejalan-seirama akan menghantarkan pada hakikat beragamnya penafsiran atas konsep normativitas yang diakui. Tentu saja pada tataran inilah seseorang tidak mesti "seiya-sekata" dalam memandang dan menafsirkan realitas. Yang terpenting adalah sikap menerima perbedaan yang ada secara lapang dada, dan dengan catatan, nilai yang ditampilkan tidak boleh mendiskreditkan pihak lain yang berbeda. Inilah cita-cita mulia yang mendasari semangat pluralisme.
Pada hakikatnya, visi dan misi pluralisme (maupun multikulturalisme) bukanlah untuk mempertegas batas identitas, baik individu, kelompok, maupun keyakinan. (Andi Dermawan, 2009). Pemahaman dan penerapan multikultural sesungguhnya adalah untuk memenuhi hak-hak minoritas untuk dapat sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengelola identitasnya. Penghargaan terhadap pengelolaan identitas diri ini akan membawa dampak peneguhan jati diri yang memiliki prinsip hidup sehingga tiap-tiap individu yang berbeda etnik, ras, suku, dan agama mampu berdiri tegak dan sejajar dengan identitas diri lainnya dalam suatu masyarakat.
Jika demikian halnya, di sinilah urgensi pemahaman pluralitas dalam keberagamaan. Untuk dapat saling menghargai, menghormati dan membangun saling pengertian yang kreatif antarsesama pemeluk, pluralitas harus dikembalikan ke makna asalnya sebagai realitas kodrati hidup manusia, kehendak Tuhan, yang memang sangat diperlukan untuk memahami agama dari berbagai sudut pandangnya.
Pluralitas dan kemajemukan tidak lantas dipahami dan disikapi sebagai "semua agama adalah benar", atau juga menganggap bahwa "semua agama pasti sama dan sebangun”. Penjelasan ini justru menunjukkan penolakannya sekaligus mengkhianati pluralitas itu sendiri. Sebab, ketika semua kebenaran keyakinan dianggap satu dan sama benar, maka sebenarnya penyeragamanlah yang terjadi. Itu tidak berbeda artinya dengan menafikan dinamika persepsi dan perspektif individu dalam masyarakat yang diakui hak-hak perbedaan pemahamannya. Oleh karena itu, seorang pluralis, atau paling tidak seorang yang memahami dan menyikapi pluralitas seperti itu, dapat dikatakan sebagai seorang yang bukan pluralis tulen. Paham pluralis semacam itu dengan istilah yang lebih ekstrim mungkin dapat disebut ”Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme”. Karena, bukan jalan keluar yang baik jika ingin menghargai keyakinan orang lain dengan menyamakan kebenaran keyakinan diri sendiri yang memang berbeda dengan kebenaran keyakinan yang dianut orang lain itu. Yang demikian adalah tindakan penyeragaman yang cenderung gegabah dan bahkan anti-pluralitas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pluralisme (ataupun multikulturalisme) tidak bermaksud mempertegas identitas individu, kelompok atau keyakinan tertentu. Begitu juga halnya, bukan penyeragaman semua identitas yang berbeda yang menjadi tujuan. Karena yang sebenarnya dikehendaki adalah berseminya bibit-bibit penghargaan atas perbedaan yang terjadi serta menghilangkan ”ketidaktulusan” dan ”kepura-puraan” dalam menghargai keyakinan orang lain dengan mengatakan bahwa ”semua agama adalah benar”. Inilah yang disebut sebagai kesadaran semu Mazhab Pluralis Tanpa Pluralisme, sehingga cenderung menghasilkan pluralitas dan multikuturalisme yang semu pula.
Pluralisme sebagai Pola Hubungan Antaragama Masa Kini
Sebenarnya tidak ada persoalan jika permasalahannya hanya pada ada atau tidaknya pluralitas agama, karena pluralitas adalah kenyataan atau realitas alam. (Abdussami dan Masnun Tahir, (tth). Akan tetapi permasalahan yang lebih penting adalah bagaimana mensikapi pluralitas itu sendiri. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara dan mengembangkan pluralitas itu atau tidak? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang atau kelompok lain yang berbeda agama? Apakah masing-masing kita harus membenci dan memusuhi orang lain atau kelompok lain hanya karena berbeda agama?
Harus diakui memang, hubungan antaragama atau antar kelompok-kelompok yang berbeda agama selama ini tidak selalu berjalan harmonis dan bersahabat. Hubungan antaragama masih sering diwarnai oleh konflik, kebencian dan permusuhan. Meskipun keruhnya hubungan antaragama tersebut sering ditimbulkan oleh faktor sosial-politik, akan tetapi tidak pernah terlepas dari faktor keagamaan. Oleh karena itu, dalam membina dan memelihara hubungan harmonis antara komunitas-komunitas yang berbeda agama, faktor keagamaan tidak bisa diabaikan.
Berbagai macam konflik dan ketegangan bernuansa agama, kekerasan dan radikalitas atas nama agama, merupakan dampak langsung dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama lain. Tentu saja, sikap-sikap seperti itu merupakan dampak dari adanya klaim-klaim eksklusif pemilik tunggal kebenaran, bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh suatu agama tertentu. Akibatnya agama sendiri dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain.
Oleh karena didorong keprihatinan atas nasib hubungan antaragama yang semakin hebat dan ruwet itu, terlebih lagi di era multikulturalisme sekarang ini, di mana setiap penganut agama diharapkan untuk bertindak proaktif serta mampu memberikan kontribusi positif demi kemajuan bersama, maka para pemikir keagamaan berusaha untuk membangun teologi agama-agama yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Dalam konteks teologi agama-agama, yang ditekankan adalah bagaimana sebuah agama seharusnya memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Sudah saatnya agama-agama tidak hanya mengurusi masalah yang bersifat ”kelangitan”, tetapi juga berbicara dan memberikan sumbangsih konkret bagi kemanusiaan.
Dari kacamata para pendukung teologi agama-agama itu, teologi eksklusivis dianggap tidak mampu menjawab tantangan-tantangan plural keagamaan karena teologi eksklusivis mempunyai potensi untuk melahirkan konflik antaragama. Menurut mereka, sebagai pengganti teologi eksklusif, perlu dicari format teologi yang bisa menjawab tantangan-tantangan keagamaan itu. Teologi baru yang dibangun oleh para penganjur dialog antaragama itu adalah teologi iklusivis dan pluralis. (Tim Penulis Paramadina, 2004). Teologi inklusivis tentang agama-agama, sering disebut inklusivisme, memandang bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran, tetapi puncak kebenaran ada dalam agama pendukung teologi ini. Sementara, teologi pluralis tentang agama-agama, disebut pluralisme, mengakui bahwa semua agama meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan, Yang Absolut, Yang Terakhir dan Yang Riil. Karenanya, kalangan pluralis meyakini bahwa setiap agama merupakan jalan keselamatan itu sendiri.
Jika sikap eksklusivisme memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan sempurna, sedang agama lain dianggap salah, menyeleweng atau apapun istilahnya yang mengundang permusuhan; maka sikap inklusivisme adalah sebaliknya, lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai ajaran agamanya. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui bahwa agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk permusuhan dan hal-hal yang bersifat destruktif.
Kedua sikap teologi pertama di atas (eksklusivisme dan inklusivisme) sebenarnya memiliki semangat yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap ”pihak lain” melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude, menjadi eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif). Akan tetapi, dibandingkan dengan eksklusivisme, inklusivisme bisa lebih dekat dengan pluralisme, karena sikap inklusif lebih memungkinkan dan dapat menjadi jalan untuk mengembangkan sikap pluralisme. (Djohan Efendi, 1994) Dengan demikian, inklusivisme dan pluralisme dapat disandingkan dan keduanya memiliki jiwa atau semangat yang berbeda jauh dengan semangat eksklusivisme.
Teologi pluralis inilah yang sangat menjanjikan dan diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam membangun dan menjaga hubungan harmonis antar agama. Karenanya, dapat dikatakan bahwa teologi pluralis atau pluralisme agama adalah pola hubungan paling ideal untuk kondisi plural dan multikultural sekarang ini.
Penutup
Terakhir dari penulis, era pluralisme (agama) mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana masing-masing agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya agama mereka saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi pihak dan komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka dan saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi harapan semata, apabila masing-masing (penganut) agama masih tetap mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif, memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain kafir. Implikasi dari sikap seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan kecurigaan antaragama, sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak berujung.
Jika kedua sikap teologi yang ada (eksklusivisme dan inklusivisme) masih memiliki semangat yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap ”pihak lain” melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude, menjadi eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif), maka pluralisme dianggap sebagai hubungan ”dua arah”, saling memberi manfaat berupa kebaikan dalam pola hubungan yang seimbang. Karenanya, tak kalah pentingnya suatu dialog harus pula ditekankan, sehingga masing-masing dapat saling memahami dan saling menerima satu sama lain. Akhirnya, dialog dan kerukunan yang terbangun harus serta merta berlanjut kepada suatu kerjasama yang positif dalam rangka membangun negara tercinta Indonesia dari sekian permasalahan yang tiada henti terus menggerogotinya. Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang yang sambung menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. Tidak ada kerjasama tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama sama saja dengan dialog setengah hati, bahkan sekedar verbalisme semata (dalam arti, mengatakan sesuatu tetapi merasa telah melakukannya).
Pada tataran lebih jauh, jika kesepakatan telah dicapai untuk mampu meyakini bahwa perbedaan merupakan suatu hal yang niscaya, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menjalani kehidupan di tengah-tengah perbedaan itu. Keindahan tidaklah terletak pada keseragaman, melainkan pada keanekaragaman. Hal yang sudah semestinya ditanamkan kuat dalam sikap seorang yang bertuhan (beragama) adalah bahwa berbeda dengan orang lain bukanlah sebuah kejahatan, apalagi dosa, namun sebaliknya sangat dibutuhkan. Akan tetapi berbeda dalam hal ini bukan berarti hanya sekedar beda atau asal tidak sama. Karena itu, bersaudara dalam perbedaan adalah menghargai dan mengembangkan energi perbedaan yang ada untuk sama-sama menggali nilai-nilai positif untuk kemudian diolah dan didayagunakan sebagai kekuatan untuk memajukan kehidupan manusia, bukan untuk menjadi pembenar bagi tindakan "meminggirkan" kelompok lain.
Daftar Pustaka
Adian Husaini, Nurcholish Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005.
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: UGM Press, 1996.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
Andi Dermawan, Dialektika Agama, Identitas Etnik dan Pluralitas dalam Masyarakat Multikultural, Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-30 Tahun 2009 tanggal 13 Maret 2009.
Anis Malik Thoha, “Pluralisme Agama: Sebuah Agama Baru”, dalam Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005.
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001.
Djohan Efendi, Pluralitas Keagamaan di Indonesia: Realitas dan Problematikanya, Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994.
Djohan Effendi, "Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Frithjof Schuan, Mencari Titik Temu Agama-agama, alih bahasa Safroedin Bahar dari judul asli, The Transcendental Unity of Religion, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Haryatmoko, "Paradigma Hubungan Antar Agama: Pluralisme De Jure dan Kritik Ideologi", dalam M. Amin Abdullah dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
Humaidy Abdussami dan Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wawasan Untuk Para Da'i), Yogyakarta: LKiS, ttt.
Ibnu Hajar, “Membongkar dan Menata Ulang Kejumudan Hukum Islam”, UNISIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, No. 48/XXVI/II, 2003.
Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gema Media, 2002.
M. Ilham Masykuri Hamdie, Pluralisme Agama; Menuju Dialog Antar Agama (Telaah Dimensi Sufistik Pemikiran Nurcholish Madjid), Cet. I, Banjarmasin: Antasari Press, 2006.
Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren,” UlumulQur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan , No. 1, Vol. IV, 1993.
Masnun Tahir, Perspektif Baru Fiqih Pluralis: Telaah Dekonstruktif terhadap Doktrin Hukum Islam Klasik, dalam, Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2007.
Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Mudji Sutrisno, “Dialog Antar Agama dalam Pigura Humanisasi”, dalam Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV, 1993.
Muh. Tasrif, “Tafsir Islam-Pluralis: Telaah terhadap Tafsir Nurcholish Madjid tentang Pluralisme,” disertasi Doktor pada Program S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Muhammad Thalib, Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina, Yogyakarta: Wihdah Press, 2004.
Muhyar Fanani, "Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme dan Nasionalisme di Barat", dalam Ijtihad, No. 1 Tahun III/ Januari-Juni 2003.
Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan,” tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang kehidupan keagamaan untuk generasi mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, 1993.
Saefurrahmat, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga”, Millah, Jurnal Studi Agama, ,Vol. II. No. 1, Agustus 2002.
Sidik Tono, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusional dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif di Indonesia”, UNISIA, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, No. 48/XXVI/II 2003.
The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and Edited by C.T. Onions, Cet. III, Oxford: The Clarendon Press, 1952.
Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet. VII, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foudation, 2004.
Ekspresi Keberagamaan Komunitas Warung Kopi
(Kasus warung Kopi Blandongan Yogyakarta)
Fidagta Khoironi
Alumni SA Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ABSTRAK
Fenomena warung kopi muncul menjadi wahana sejarah baru yang selalu direkonstruksi tidak saja pada tingkat orientasi transaksionistis-nya, pola-pola estetis dan gaya yang khas, tetapi juga makna yang kini fungsinya semakin mendapatkan legitimasi di hati publik masyarakat. Dalam pandangan yang lebih makro, warung kopi juga bagian dari subkultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas baru. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang dan tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun dalam perkembangannya ngopi menjadi sebuah gaya hidup.
Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru: komunitas warung kopi (KWK) atau lebih spesifik komunitas Blandongan. Tulisan ini akan diungkap bagaimana komunitas warung kopi Blandongan itu terbentuk dan bagaimana kultur Blandongan berpengaruh terhadap aktualisasi religius komunitas di dalamnya. Pola-pola komunikasi yang dirancang dalam struktur warung kopi Blandongan sangat longgar dan strategis, sehingga batas-batas kebudayaan antar personal tampak mencair. Berbagai bentuk negosiasi, diskusi ilmiah bahkan penyelesaian konflik sekalipun dapat diselesaikan di dalam ruang kebudayaan warung kopi.
Kultur Blandongan memberikan pengaruh ganda terhadap aktualisasi keberagamaan seseorang, Pertama, Blandongan sebagai wahana solidaritas komunal. Warung kopi Blandongan selalu terbuka untuk siapa pun, tanpa mengenal stratifikasi sosial, diferensiasi gender bahkan agama sekalipun. Interaksi yang terjalin dengan kultur dan gaya yang khas merupakan cerminan dari ukhuwah antar individu di dalamnya. Kedua, Blandongan sebagai ruang publik yang tidak tergenderisasi. Ketiga, Blandongan mengentalkan tradisi yang mudharat.
Pendahuluan
Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas untuk mengisi waktu luang, tempat istirahat untuk melepas kepenatan, baik secara individu ataupun komunal. Biasanya keberadaan warung kopi diasosiasikan dengan tempat yang jauh dari prestise, bahkan terkesan kumuh. Konsep marketing mix yang meliputi product, price, place, dan promotion dari warung kopi sangat marginalis, tidak memenuhi ukuran manajemen bisnis. Walaupun demikian, mereka tetap eksis ditengah serbuan kultur baru lewat cafe-cafe yang mulai menjamur atau produk-produk kapitalisme lainnya. Citra warung kopi tidak bisa digusur oleh citra Mc Donald, KFC, Dunkin, Wendyss.
Terlepas dari berbagai macam konsep ataupun style tempat ngopi, ternyata di dalamnya memunculkan sebuah komunitas baru sebagai implikasi logis terciptanya warung kopi tersebut. Selain ukhuwah di dalam komunitas ini terasa kental, ekspresi dan perilaku keberagamaan pun menjadi plural, secara radikal ataupun konservatif sebagai proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual individu. Komunitas tersebut memiliki pemahaman yang unik, keyakinan yang berbeda dan perilaku yang terkesan bebas nilai. Kontradiktif dengan realitas sosial yang biasa terjadi di dalam masyarakat umum dengan balutan dengan nilai-nilai yang normatif, baik nilai sosial, nilai budaya ataupun nilai religius.
Dalam nilai sosial manusia selalu mengikuti berbagai aturan hukum sosial yang sudah ada, dalam artian manusia tidak dapat terlepas dari fakta sosial yang terkait dengan struktur sosial (social institution) dan pranata sosial (social institution). Secara lebih terperinci fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societies), sistem sosial, posisi, peranan, nilainilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. (Ritzer, 2003: 19)
Sedangkan nilai agama berkenaan dengan segala sesuatu yang bersumber dari wahyu Tuhan. Agama sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud yang bersifat spiritual, mempunyai kekuatan besar dalam mengendalikan segala bentuk dan perilaku kehidupan manusia baik secara fungsional, valuatif ataupun substantif. Di dalam masyarakat baik yang bercirikan tradisional ataupun modern, agama mempunyai kapasitas yang sangat luar biasa dalam realitas kehidupan sosial, meskipun pemahaman dan aktualisasinya memiliki karakter yang berbeda.
Berangkat dari perbedaan pemahaman, keyakinan dan perilaku tersebut, seseorang dapat bebas berekspresi, berargumentasi, bersikap dan bertindak. Dalam sudut pandang lain, komunitas warung kopi merupakan formasi keprihatinan sosial ketika zaman terus berubah tanpa kendali. Ia bisa menjadi sangat instrumental dalam memancing kesadaran sosial, unsur-unsur kelemahan dan kekuatan hadir bersama-sama dalamnya. Karenanya komunitas warung kopi menjadi semacam penjelmaan dari kenyataan eksistensial, bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berada dalam kebersamaan dengan manusia lain ataupun dengan dirinya sendiri.
Dapat dikatakan komunitas ini merupakan sub-kultur dari kultur yang telah ada di dalam masyarakat. Kultur dalam sub-kultur menunjuk pada "keseluruhan cara hidup" atau "sebuah peta makna" yang memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata "sub" mengkonotasikan kekhususan dan perbedaan dari kebudayaan yang dominan atau mainstream. Sub-kultur bisa juga dilihat sebagai sebuah ruang di mana "kebudayaan yang menyimpang" mengasosiasikan kembali posisinya atau justru merebut dan memenangkan ruang tersebut. (Remaja, Gaya, Selera dalam situs internet http://www.kunci.or.id.)
Sub-kultur masyarakat warung kopi terbentuk dari sekelompok orang yang mempunyai kebiasaan nongkrong di sebuah warung tertentu. Di arena ini biasanya bergulir dialog dengan gaya akrab dan cara seenaknya, terutama untuk menyatakan soal-soal keseharian dengan berbagai tema. Tidak ada keseriusan yang ekstrim. Komunitas warung kopi merupakan sebuah refleksi sosial mengenai keleluasaan di tengah keadaan yang penuh dengan berbagai ketimpangan dan krisis: sosial, agama dan budaya. Ritual-ritual di dalamnya merupakan upaya untuk memenangkan ruang kultural dalam melawan kebudayaan dominan.
Adapun kultur sendiri merupakan kebudayaan, tradisi serta kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara konsensus dengan turun temurun. Kultur tersebut pada akhirnya menjadi perilaku yang diyakini kebenarannya karena berlangsung secara periodik. Latar belakang terciptanya kultur Blandongan bermula dari hadirnya warung kopi Blandongan itu sendiri. Terinspirasi dari dan spirit warung kopi Blandongan di Jawa Timur, Cak Badrun sebagai pemilik mencoba untuk menghadirkannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jogjakarta dengan nuansa dan gaya yang khas dan berbeda. Dapat dikatakan bahwa konsepsi dari kultur Blandongan disini merupakan representasi budaya dari kaum marjinal ditengah hiruk pikuk kompleksitas kehidupan masyarakat Jogjakarta yang semakin menjadi kota metropolitan.
Terkait dalam paradigma keagamaan, interpretasi dari keberagamaan (religiusitas) dapat diartikan sebagai penjabaran dari Iman, Islam dan Ihsan. Dalam Islam, seseorang dikatakan sebagai muslim sejati jika sanggup menunaikan semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangannya, baik dalam aturan yang tersurat maupun yang tersirat. Artinya melaksanakan semua aturan yang berlaku di dalam agama secara kaffah.
Terkait dengan fenomena komunitas warung kopi sebagai sub-kultur, agama bersifat abstrak ke-Illahiyah-an sedangkan kebudayaan bersumber dari manusia. Jadi, agama tidak dapat dimasukkan dalam lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dimasukkan ke dalam hasil cipta karsa manusia.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat di tarik beberapa pertanyaan mendasarkan tentang esensi dari tulisan ini: Apa yang melatar belakangi terciptanya komunitas warung kopi Blandongan? Kedua, bagaimana kultur Blandongan berpengaruh terhadap aktualisasi religius komunitas di dalamnya?
Kerangka Teoritik
Kalau di Solo terkenal dengan wedangan-nya, atau tenar dengan istilah HIK (Hidangan Istimewa Kampung), Jogja punya Angkringan. Angkringan ialah sejenis warung yang menjual berbagai jenis makanan serta minuman dan yang biasa terdapat di setiap persimpangan jalan di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Istilah ini berasal daripada bahasa Jawa, 'Angkring', yang membawa pengertian "duduk santai". Warung angkringan yang biasanya ditutup dengan kain terpal plastik biasanya menampung sekitar delapan orang pelanggan. Mulai buka pada waktu petang setiap hari, diterangi lampu minyak tanah, dibantu juga dengan lampu isyarat. Meskipun harganya murah, namun pelanggan warung ini sangat beragam. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, mahasiswa, seniman, pengangguran bahkan hingga pegawai dan eksekutif. Antara pembeli dan penjual sering terlihat perbualan yang santai dalam suasana yang penuh kekeluargaan.( Angkringan Jawa, http://www.ms.wikipedia.org/wiki/angkringan)
Situasi ini jauh dari kesan serius, interaksi yang terjadi antar individu lebih berkisar pada hal-hal yang bersifat guyonan waton kelakon. Fenomena warung kopi telah lama mewarnai pola kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya Jogjakarta. Mayoritas pelanggan warung kopi kebanyakan adalah para mahasiswa. Mereka menikmati makanan sambil berbagai-bagai topik, termasuk juga kadang topik-topik yang serius. Umumnya warung kopi menyediakan minuman kopi manis dan panas untuk pengunjung, dilengkapi kue-kue, gorengan serta rokok. Dan biasanya, pengunjung akan berlama-lama berada di warung kopi untuk menikmati secangkir kopi, kue-kue, serta mengisap rokok sambil jejagongan atau makanan. (Fenomena Warung Kopi http://www.warungmassahar.blogspot.com.)
Lain halnya dengan ngafe. Ngafe adalah kegiatan yang dilakukan di kafe atau pendeknya kongkouw di kafe. Berbeda dengan ngopi di warung tradisional, kafe menawarkan tidak hanya makanan atau minuman tetapi juga atmosfer. Bangunan dan desain kafe tak sesedarhana warung kopi. Ruangan kafe ditata rapi dan dihias pernak pernik di sana-sini. Di samping itu warnawarna yang terang dan penuh keriaan mengisi ruangan kafe. Semuanya ini dibuat agar para pelanggan atau tamu merasa betah dan nyaman.
Dari segi pelanggan, kafe memiliki pelanggan dari kelas menengah keatas. Tak sulit untuk mengerti adanya perbedaan pelanggan ini. Harga makanan dan minuman di kafe jauh lebih mahal dari warung kopi. Begitu juga pilihan menunya, kafe memiliki menu lebih beragam ketimbang warung kopi. Sesungguhnya bukan ngopinya yang digemari melainkan image. Ngopi di kafe atau nongkrong di kafe tidak berarti apa-apa. Kalau dilihat harganya tergolong mahal, apalagi dengan harga yang di atas rata-rata belum menjamin bahwannya enak. Kopi Blandongan http://spew-it all.blogspot.com.)
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami, terjadi perbedaan mendasar antara ngopi di angkringan dengan ngopi di kafe. Bukan terletak pada objeknya (ngopinya) melainkan pada tempatnya dengan pertimbangan image dan atmosfer yang tercipta di dalamnya. Terciptanya komunitas warung kopi tidak terlepas dari eksistensi mahasiswa yang notebenenya sebagai warga pendatang yang tinggal di wilayah Jogjakarta, baik dengan status sementara maupun menetap. Kaum pendatang atau lebih tepatnya disebut sebagai “kaum urban” memiliki karakteristik yang unik. Bukan hanya sebagai kaum yang menempati wilayah tertentu, akan tetapi juga aktivitas yang dilakukan. Sebuah komunitas tercipta ketika terjadi kesamaan minat, hobi atau kegemaran tertentu sehingga menjadi bagian dari ekspresi menuju aksi.
Urbanisasi mengandung makna proses perubahan. Kaum urban merupakan representasi dari budaya modern yang menjadikannya sebagai kultur berbeda dengan kultur tradisonal. Layaknya virus, kemodernan tidak hanya menjangkiti pada aspek sosial, budaya dan ekonomi, tetapi juga pada aspek agama. Inilah wajah dari keberagamaan kaum urban (urban religion). Agama tidak lagi dianggap sebagai sesuatu hal yang sakral namun telah menjadi profan / sekuler. Sekularisasi, dalam kenyataannya, memiliki makna yang sangat luas dan terjadi dalam be rbagai level.
L. Shiner dalam Journal for the Scientific Study of Religion (1966) menuliskan enam bentuk sekularisasi: Pertama, hilangnya peran, prestise dan signifikansi agama, baik pada ranah simbolik maupun makna; Kedua, menguatnya konformitas manusia terhadap masalah duniawi; Ketiga, semakin renggangnya masyarakat dari agama; Keempat, menguatnya institusi non-agama yang menggantikan peran institusi agama; Kelima, desakralisasi dunia; dan Keenam sekularisasi dapat juga berarti pergeseran dari nilai atau praktik yang dianggap sakral kepada bentuknya yang sekular, (Hilman Latief, Kompas: Sabtu 26 Februari 2005).
Adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim (1858-1917) yang telah menjelaskan mengapa sekularisasi agama terjadi. Dalam ’mazhab’ studi agama, Durkheim sering dikategorikan sebagai seorang functionalist, yang beranggapan bahwa agama merupakan representasi kolektif (collective representation) sebuah masyarakat. Baginya, agama merupakan elemen integratif yang berperan menguatkan kohesivitas sosial. Agama dan aturan aturan moral lainnya, menurut Durkheim, selalu muncul dari masyarakat kolektif, dan tidak dari individu, (Peter Glasner, 1992: 42-43).
Oleh karena itu, ketika terjadi fragmentasi sosial, menguatnya individualitas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat modern, maka peran agama dalam ruang publik pun menjadi pudar. Untuk itulah Durkheim juga berkesimpulan bahwa karena fungsi agama adalah pengikat sosial, maka agama tidak akan hilang di muka bumi ini, paling banter akan lahir ’agama-agama’ baru berupa institusi-institusi sekuler yang berperan sebagai elemen ikatan sosial masyarakat.
Dengan cara pandang yang berbeda, Max Weber (1864-1920), seorang sosiolog kelahiran Jerman berpendapat bahwa sekularisasi terjadi disebabkan adanya proses rasionalisasi dan birokratisasi dalam struktur sosial masyarakat. Weber, misalnya, berpandangan bahwa untuk mencapai tujuan hidupnya, manusia berpijak kepada rasionalitas, baik itu rasionalitas formal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan nilai ataupun rasionalitas substantif yang bertali temali dengan nilai.
Terbentuknya Komunitas Warung Kopi Blandongan
Hadirnya sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa person sehingggamenjadikannya komunal berangkat dari term yang mendahuluinya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang, tempat untuk rehat segala dari kepenatan. Namun kemudian ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Bahkan grup komedi legendaris Indenesia, Dono Kasino Indro (DKI) menggunakan idiom Warung Kopi (Warkop) sebagai identitas diri. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru: Komunitas Warung Kopi (KWK) atau lebih spesifik komunitas warung kopi Blandongan.
Adalah Cak Badroen dan Anjang, juragan dari warung kopi Blandongan. Dengan didasari oleh kerterbatasan faktor ekonomi dan tuntutan untuk tetap bisa bertahan hidup (survive) di kota Jogjakarta. Mereka adalah orang yang paling bertanggungjawab atas terciptanya komunitas warung kopi Blandongan Jogjakarta. Subkultur KWK, seperti telah penulis sebutkan di atas, hidup dalam hubungannya yang bersifat kritis dengan budaya kapitalisme. Subkultur KWK yang lebih suka menghabiskan waktu luang, dapat dilihat sebagai sebuah subversi atas konsepsi waktu kapitalisme industrial yang linear, kaku dan disiplin.
Sebelum penulis menganalisis lebih jauh tentang dinamika sebuah warung kopi, ada baiknya penulis mengajak kembali ke zaman dimana kopi pertama kali ditemukan, menelusuri jejak-jejak waktu di mana biji-biji kecil yang dinamakan “kopi” dapat menjadi icon yang cukup fenomenal dalam sejarah peradaban umat manusia.
1. Sejarah Kopi
Adalah penggembala kambing asal ethiopia yang pertama kali menemukan tanaman kopi. Menurut cerita, biji kopi yang berbentuk bulat kecil berwarna merah itu dimakan oleh kambing sang pengeembala. Biji kopi tersebut membuat kambing-kambing menjadi hiperaktif. Sang penggembala pun penasaran, akhirnya mencoba memakan biji tersebut. Alhasil dia menjadi tidak merasakan kantuk ketika sedang menggembala. Tempat sang penggembala dikenal dengan nama kaffa, dari nama itulah muncul istilah coffee atau kopi. (Josh Chen, Kopi, Minuman Ajaib, http://community.kompas.com/read/artikel/282.)
Sejarah mencatat perkembangan kopi, dari hanya berbentuk biji yang dimakan kambing hingga cairan panas yang membawa aroma khas. Dahulu, kopi hanya dikonsumsi dalam keadaan yang masih berbentuk biji. Pada masa itu, orang-orang Ethiopia belum memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengolah biji kopi menjadi serbuk yang siap konsumsi. Perkembangan terjadi seiring dengan berjalannya waktu, biji kopi mulai diolah hingga kemudian dapat dikonsumsi dalam bentuk serbuk dengan seduhan air panas plus gula. Kemudian orang-orang mengolah biji-biji kopi dengan cara dikeringkan atau dijemur, kemudian disangrai, digiling dicampur dengan air panas dan gula. Admin, Arabica Coffee, http://winbathin.multiply.com/?.)
Kopi merupakan sejenis biji-bijian dalam kategorisasi rempah-rempah atau pala. Pola konsumsi kopi bermula dengan dimakan secara langsung (masih berbentuk biji) kemudian berubah menjadi bahan minuman yang lebih nikmat setelah melalui proses olahan yang cukup panjang. Terlebih setelah di-mix dengan tambahan gula yang diproduksi sebagai salah satu produk industrialisasi kaum penjajah. Penikmat kopi awalnya adalah para manula yang tinggal di desa-desa kemudian menyebar ke kota-kota dan kini penikmat kopi berasal dari berbagai kalangan, baik di desa atau di kota, orang tua maupun anak muda. Orang desa lebih dulu menikmati kopi ketimbang orang-orang di kota karena mereka adalah petani kopi. Para petani kopi di desa-desa mendapatkan sisa kopi yang dijual oleh juragan mereka. Para petani memang sengaja diberi kopi agar dapat bekerja lebih giat tanpa meminta upah tambahan.
Indonesia memang bukan bagian dari sejarah kemunculan biji pahit ini, namun kehadirannya cukup fenomenal hingga dapat menciptakan sebuah icon baru dalam tata budaya masyarakat modern yang teraktualisasi dalam komunitas tertentu. Perjalanan kopi dalam penjelajahan dunia di mulai dari sebuah benua yaitu benua Afrika tepatnya di Ethiopia. Para saudagar membawa kopi menuju Yaman yang pada akhirnya dibudidayakan di Arab. Hasil panen kemudian didistribusikan ke negara Turki melalui jalur perdagangan bebas. Penyebaran kopi akhirnya masuk ke ranah Eropa hingga pada tahun 1770 kopi ditemukan di benua Amerika. Jenis kopi yang diperdagangkan pada saat itu adalah kopi Arabica dan kopi Robusta. Sampai saat ini kopi menjadi barang konsumtif
yang dipakai oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia.
Sebagai komoditas yang diperdagangkan di pasar dunia, kopi menempati level ketiga setelah minyak bumi dan air mineral. Air mineral dan kopi adalah dua hal yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan. Oleh karenanya, wajar jika keduanya menempati posisi teratas dalam distribusi pasar global. Berdasarkan hasil penelitian dari National Geographic, data kuantitatif menunjukkan bahwa lebih dari 25 juta orang di dunia mengalami ketergantungan kopi. Ethel A. Starbird, Kopi Sumber Keuntungan http://www.nationalgeogrphical.com.
Terlepas dari efek negatif ataupun positif, faktanya kopi merupakan salah satu minuman favorit bagi masyarakat dunia. Perkembangan kopi akhirnya bermuara pada sebuah tempat komersil yang disebut warung kopi. Sebuah dinamika baru lahir di sini, karena warung kopi merupakan tempat sosialisasi intensif bagi individu dan kelompok layaknya sebuah pasar. Baik dengan kemasan modern atau tradisional, di dalam warung kopi tercipta interaksi dalam setiap anggota di dalamnya; antara penjual dengan penjual, penjual dengan pembeli ataupun di antara sesama pembeli.
Dalam masyarakat tradisional di mana budaya patriarkhi masih sangat kental mewarnai, warung kopi lebih dominan di-tongkrongi oleh kaum Adam. Adalah hal yang tabu jika kaum Hawa nongkrong di warung kopi. Jika pun ada maka sudah dapat dipastikan persepsi negatif yang melekat pada perempuan tersebut. Memang tidak ada aturan baku tentang siapa saja yang boleh menyambangi warung kopi, namun the invisible value berlaku disini. Masyarakat yang menilai berdasarkan sistem budaya yang berlaku sesuai pada zamannya.
Abad-21 merupakan babak baru dalam sejarah peradaban umat manusia, di mana tidak hanya teknologi informasi yang bertransformasi menjadi semakin canggih. Akan tetapi juga merasuk pada tataran norma dalam budaya masyarakat. Warung kopi tidak lagi didominasi oleh para lelaki melulu, namun diminati dan dikunjungi sebagai tempat sosialisasi para wanita modern. Dengan kata lain, kultur masyarakat modern adalah kultur yang mendambakan ke-egaliterain, yang menuntut akan persamaan hak, status dan peran. Hal ini sangat berbeda dengan konsep ideal masyarakat Islam yang memiliki batasan tegas antara laki-laki dan perempuan tentang hak, status dan peranan.
Dus, bubuk kopi merupakan salah satu bahan baku yang sangat digemari oleh banyak orang. Bahkan Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar dengan meneempati urutan ke-7 dalam level dunia. Java Coffee adalah salah satu brand asal Indonesia yang terkenal di dunia. Adapun suplier terbesar kopi Jawa di pasar dunia adalah Pemerintah Hindia Belanda. Belanda menguasai pasar kopi Jawa karena pernah menjajah Indonesia. Di masa kolonialisme, penduduk Indonesia dipaksa untuk menanam kopi di beberapa daerah, kegiatan ini disebut sebagai koffiestelsel atau coffee system. (Teggia Gabriella, 2003: 25)
Ketenaran minuman kopi bagi masyarakat dunia seperti halnya teh, anggur dan soda. Bahkan beberapa orang memiliki tingkat konsumsi yang terhadap minuman ini. Konon di beberapa negara, kopi pernah dilarang untuk dikonsumsi. Sebagai contoh adalah Italia yang saat ini justru terkenal dengan kopinya. Dahulu para pendeta Italia melarang umatnya meminum kopi, khawatir minuman tersebut dapat menggantikan anggur. Orang Katholik sangat identik dengan anggur dalam upacara keagamaannya sedangkan kopi lebih diidentikkan dengan agama Islam.
Bicara tentang konsumsi kopi, orang Swedia adalah konsumen yang paling tinggi jumlahnya. Setidaknya setiap orang dewasa dengan usia 15 tahun ke atas menghabiskan ±12 kg kopi per tahunnya. Indonesia merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di dunia namun rendah dalam tingkat konsumsi yaitu 0,6 kg per tahun. Selain orang Swedia, orang Amerika pun memiliki tingkat yang tinggi dalam mengkonsomsi kopi.
Dari survei The National Coffee Association (NCA Coffee Drinking Trends Survey) pada tahun 2000 menyatakan bahwa penikmat kopi di Amerika menghabiskan $164.71 per tahunya untuk membeli kopi. Hampir 54% orang dewasa di Amerika menjadi pecandu kopi, laki-laki minum satu hingga sembilan cangkir dan perempuan minum satu hingga empat cangkir kopi per harinya.7
Seiring dengan tingginya jumlah penikmat kopi, hal ini berimplikasi pada peningkatan industri berbasis kopi yaitu warung kopi. Orang tidak perlu meracik sendiri untuk dapat menikmati secangkir kopi panas karena warung kopi telah tersedia dimana-mana. Warung kopi selalu dipenuhi oleh konsumen dari berbagai jenis kalangan, baik masyarakat umum ataupun yang berstatus pelajar / mahasiswa. Bahkan ada anggapan bahwa warung kopi merupakan rumah kedua. Beberapa mahasiswa biasanya nongkrong di warung kopi setelah menyelesaikan jam kuliah, terkadang mereka belajar di sana. Tentunya di siang hari karena pada malam hari kondisinya terlalu ramai dan pencahayaannya kurang.
Masyarakat membagi warung kopi menjadi dua jenis, yaitu: Warung Kopi Berkelas (High Class Standart) dan Warung Kopi Sederhana. Warung kopi berkelas biasanya menggunakan istilah dalam bahasa asing dalam penyebutan nama seperti: Starbuck, Esspresso, Cheers dan Coffee Break. Adapun warung kopi yang tidak berkelas atau sederhana biasanya menggunakan istilah kedaerahan seperti: Blandongan, Manut dan Angkringan Tugu. Selain dari nama, antara warung kopi yang berkelas dengan warung kopi sederhana dapat dibedakan juga dari arsitektur ruangan dan harga menu yang ditawarkan.
Biasanya warung kopi berkelas berarsitektur mewah, bersih, ber- AC, dengan didukung fasilitas jaringan internet (hot spot). Harga minuman dan makanan yang ditawarkan pun turut menentukan berkelas atau tidaknya sebuah warung kopi. Warung kopi berkelas menawarkan harga yang lebih mahal ketimbang warung kopi sederhana. Bukan karena faktor bahan baku kopi atau campurannya, melainkan karena faktor tempat. Layaknya tarif parkir yang bersistem modern seperti otoparking dan lainnya, yang menggunakan perhitungan jam. Beberapa warung kopi pun menerapkan harga sewa tempat dalam jangka waktu tertentu, biasanya dalam hitungan jam, semakin lama orang duduk di warung kopi maka semakin tinggi pula cost yang harus ia bayarkan.
Konsumen pun telah memahami akan struktur kelas semacam itu. Biasanya, pemilihan konsumen terhadap warung kopi dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Bagi beberapa mahasiswa yang identik dengan “kantong kering” warung kopi yang murah meriah adalah sebuah pilihan tepat. Konsumen warung kopi sederhana datang bukan untuk membeli nilai gaya hidup. Gaya hidup merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk membedakannya dengan manusia lainnya. Akan tetapi tidak selalu demikain, ada orang-orang apatis terhadap lingkungan yang biasa disebut sebagai “anak-anak anti-kemapanan” (Mike Featherson, 1985: 57-32)
Orang-orang yang menyebut dirinya sebagai penganut aliran antikemapanan,pada umumnya menjalani kehidupan secara simplistik. Mereka tidak memiliki banyak uang, oleh karenanya mereka nongkrong di warung kopi sederhana, bukan di Coffee Shop atau kafe. Perkembangan warung kopi mengalami increasing seiring dengan bergulirnya waktu dan kebutuhan konsumen akan biji pahit ini. Warung kopi mulai dikenal dan berkembang di seluruh dunia sekitar tahun 1645. Warung kopi pertama kali dibuka, pada tahun 1650 di kota Oxford, Inggris. Hingga kemudian menyebar ke berbagai negara lain seperti Austria, Jerman, Belanda dan Perancis. Berdasarkan sumber sejarah, warung kopi pertama di Indonesia berdiri di jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat dengan nama Warung Tinggi.
Warung Kopi Blandongan
Blandongan adalah istilah lokal yang kerap dipakai oleh orangorang Jawa Timur untuk menjuluki penjahat yang sering mencuri kayu glondongan. Dalam kamus bahasa Jawa, Blandongan adalah sebuah istilah yang berasal dari kata blandong. Blandong merupakan sebutan bagi para penebang kayu di hutan.
Menurut Badroen (28) sebagai arek Jawa Timur, istilah Blandongan juga dapat diartikan sebagai tempat atau wadah yang digunakan untuk memasak kopi. Tidak hanya itu saja, masyarakat pesisir Jawa Timur juga sering mengartikan istilah Blandongan sebagai warung kopi di tepi pantai. Warung tersebut digunakan oleh para nelayan untuk berkumpul dan bermusyawarah tentang berbagai hal. Warung kopi Blandongan merupakan sebuah tempat yang berbentuk bale yang biasadigunakan oleh beberapa orang untuk ngobrol.
Sejarah Blandongan diartikan sebagai sebuah warung kopi yang melalui sebuah proses yang cukup panjang. Mulai dari penebangan kayu hingga menjadi warung kopi. Seorang penebang pohon-pohon besar di hutan pastilah membutuhkan tenaga yang “besar”. Untuk tetap memiliki tenaga yang besar, mereka meminum kopi. Kopi merupakan bahan dasar minuman yang memiliki efek positif menyerupai drug yang mampu menghasilkan stamina tinggi bagi peminumnya. Namun kopi juga Glondongan adalah istilah untuk menyebut kayu atau batang pohon yang sudahditebang tetapi bentuknya masih utuh. memiliki efek samping yang dapat menyebabkan ketagihan (nyandu) bagi peminumnya.
Warung Kopi Blandongan, Sorowajan Jogjakarta
Istilah Blandongan digunakan sebagai nama warung kopi dengan tujuan mewarisi dan mencontoh semangat nelayan pesisir pantai JawaTimur. Fungsi warung kopi Blandongan adalah tempat berkumpul dan bermusyawarah bagi komumen yang datang. Selain itu warung kopi Blandongan juga dapat digunakan sebagai ajang mencari teman, ajang berkrerasi dan ajang menuntut ilmu bersama. Segala hal yang berkaitan dengan nilai positif berusaha untuk di wadahi oleh warung kopi Blandongan.
Pada awalnya warung kopi Blandongan didirikan oleh dua orang yang bernama Nashruddin atau lebih dikenal dengan panggilan Cak Badroen, bersama Anjang. Pada saat itu Badroen merupakan mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga dan Anjang adalah anak kampung yang merantau dari Gresik ke Jogjakarta untuk mencari kerja. Hasil dari usaha warung kopi tersebut mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jogjakarta.Warung kopi Blandongan kini beralamat di Jalan Sorowajan Baru No.11 Rt. 15 Rw 16 Sorowajan lama, Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta.
Warung kopi Blandongan pernah berpindah tempat sebanyak tiga kali. Pertama didirikan pada tanggal 17 Mei 2000 di Jalan Manggis No.52 Kampung Gaten Desa Dabag Kecamatan Condong Catur Jogjakarta. Sepuluh bulan kemudian warung kopi Blandogan berpindah tempat tidak jauh dari lokasi pertama. Awal dari kesuksesan usaha warung kopi Blandongan adalah pemilihan tempat yang strategis. Dengan luas tanah ±720 meter, setiap harinya warung kopi Blandongan dapat menampung konsumen dengan jumlah ratusan orang. Warung kopi Blandongan kini hanya berjarak ±1 km dari kampus Universits Islam Negeeri Sunan Kalijaga. Bahkan jika jalan kali sejauh ±500 meter ke arah utara, sudah sampai di depan Plaza Ambarukmo. Lokasi warung kopi yang stategis membuat konsumennya semakin bertambah.
Perpindahan warung kopi Blandongan menjadi bukti berhasilnya bisnis yang dirintis oleh Badroe dan Anjang. Dahulu warung kopi Blandongan hanya berukuran 4 X 6 m2. Hal tersebut membuat konsumen yang datang ke warung kopi Blandongan semakin bertambah banyak. Konsumen yang dapat masuk di warung kopi Blandongan lama jumlahnya hanya 10 -25 orang, sekarang berubah menjadi 400 – 500 0rang per harinya. Jumlah konsumen yang tinggi tersebut membuat Blandongan dapat meraup keuntungan bersih ± Rp. 2.500.000,00- per harinya.
Warung kopi Blandongan akhirnya berkembang menjadi sebuah warung kopi yang tidak kalah dengan coffee shop terkenal lainnya. Jika diperhatikan lebih teliti, warung kopi Blandongan justru lebih ramai dibandingkan coffee shop seperti cheers atau coffee break. Cheers dan coffee break rata-rata hanya memiliki konsumen kurang dari 50 orang per harinya.
Kesuksesan warung kopi Blandongan didukung oleh keunikan yang membedakannya dengan warung kopi lainnya. Salah satu keunikan Blandongan adalah penyajian kopi yang dilakukan secara manual, tanpa bantuan mesin pembuat kopi. Mesin pembuat kopi biasanya dipakai oleh warung kopi yang berkelas seperti, starbucks. Kopi Blandongan disajikan dalam sebuah cangkir tempo dulu dan langsung dibuat oleh barista atau peracik kopi, sehingga takaran kopi dan gula dapat dengan mudah disesuaikan dengan keinginan konsumen. Cangkir-cangkir tersebut ditata diatas nampan kemudian diisi dengan air panas, kemudian diambil satu persatu untuk disajikan pada para konsumen yang telah memesan.
Cara penyajian yang sederhana tersebut terlihat lebih mantap dibandingkan dengan penyajian kopi dari mesin. Konsumen hanya tinggal mengatakan pada peracik kopi yang sedang bertugas, misalnya “kopi manis cak”, barista pun akan segera meracik minuman kopi manis dengan takaran gulanya lebih banyak dibandingkan dengan kopi biasa, perbandinngannya 2 : 1. Namun jika konsumen menginginkan kopi susu, maka barista pun akan menyajikan kopi dengan dicampur dengan susu. Racikan kopi yang menyesuaikan dengan keinginan pelanggan tersebut merupakan salah satu misi yang diusung Blandongan supaya tidak kehilangan pelanggan. Warung kopi Blandongan berusaha untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan selera masing-masing.
Keramahan para karyawan pun diperhatikan supaya pelanggan merasa dilayani dengan baik dan puas. Untuk semakin menambah mutu pelayanan terhadap konsumen, menejemen Blandongan juga memberikan seragam bagi para karyawannya sekaligus dengan kartu identitasnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah kinerja karyawan supaya dapat memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen.
Nyethe, Wasting Time?
Nyethe adalah sebuah kegiatan menggambar atau melukis di atas rokok dengan menggunakan media endapan kopi (dalam bahasa jawa: cethe). Berdasar cerita dari mulut ke mulut, kebiasaan nyethe dimulai oleh petani yang kehabisan wedang kopi. Istri biasanya mengirim makan dan wedang kopi ke sawah. Jika kemudian kopi habis padahal masih belum puas ngopi, petani mengoles-oleskan cethe ke rokok. Awalnya, nyethe hanya dikenal di daerah Tulungagung, Jawa Timur. Kemudian, kebiasaan ini ternyata merambat ke daerah lain semisal Malang, Kediri, Surabaya, Jogjakarta dan kota-kota lain.
Pada perkembangannya, nyethe tidak hanya dilakukan ketika kopi sudah habis dan di gelas hanya tersisa cethe. Secangkir wedang kopi panas dituang ke lepek. Beberapa menit kemudian, air di pengalas gelas itu dikembalikan ke cangkir. Dapatlah cethe, untuk kemudian nyethe. Saat ini sudah dikenal luas warung nyethe, warung yang menyediakan diri khusus untuk keperluan ini. Pemilik warung menyediakan cethe dalam lepeklepek. Pengunjung tingggal mengoles, para penyethe pun mengoleskan cethe ke batang rokok laksana membatik, dengan aneka motif, mulai dari garis-garis hingga hitam kelam. Bubuk kopi yang digunakan harus lembut.
Biasanya, pe-nyethe mencampurkan sesendok teh susu kental manis pada cethe-nya. Tujuannya, agar ampas cepat menempel ke batang rokok. Sedangkan alat lukisnya adalah batang korek api. Sebagian masyarakat berasumsi negatif dan menganggap bahwa nyethe merupakan aktivitas yang membuang-buang waktu (wasting time). Meskipun di sisi lain ada juga yang berpendapat nyete merupakan sebuah karya seni. Sebuah penelitian di Tulungagung pernah dilakukan untuk menganalisa fenomena nyethe ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi interaksi sosial dari pengunjung yang berasal dari berbagai lapisan, baik dari kalangan tua maupun muda, berbaur menjadi satu. Disamping itu telah diketahui adanya penciptaan dan pembentukan komunitas baru, misalnya lomba nyethe atau sering disebut Nyethe Competition di berbagai tempat baik itu di warung-warung dalam even-even peringatan hari besar.
Nyethe dan Interaksi Sosial Komunitas Warung Kopi Blandongan
Berdasarkan definisi interaksi sosial di atas, aktivitas nyethe mempunyai kesamaan yang bisa menjadi dasar untuk menyatakan bahwa dalam kegiatan nyethe terdapat unsur-unsur interaksi sosial. Kesamaan itu adalah kegiatan yang lebih bersifat kelompok bukan secara individu, misalnya duduk berkelompok dan mengobrol. Pertanyaan berikutnya adalah interaksi sosial yang bagaimana yang ada dalam kegiatan nyethe?
Ada empat macam interaksi sosial yaitu Komensialisme, Parasialisme, Mutualisme, dan Sosiality. (Cabin & Dortier (ed.), 2004: 254). Dari keempat jenis interaksi sosial ini, nyethe masuk dalam kategori Mutualisme dan Sosiality. Mutualisme adalah interaksi sosial yang saling menguntungkan bagi dua belah pihak. Dalam kegiatan nyete semua pihak mendapat keuntungan sesuai dengan peran dan tujuan masing-masing pihak yang terlibat, misalnya pemilik warung mendapat laba dari kopi dan rokok yang dijual sementara pengunjung mendapat kepuasan menikmati kopi dan rokok sambil nyethe di warung. Sesama pengunjung juga bisa saling bertukar pendapat, informasi maupun sekedar ngobrol yang membuat masing-masing individu merasa sama-sama senang dan enjoy.
Sedangkan kategori Sosiality adalah suatu interaksi sosial yang bersifat kemasyarakatan, bentuk interaksi sosial yang bersumber dari masyarakat yang ada dan berpengaruh pada masyarakat itu sendiri. Jika ditinjau dari segi historis, kegiatan nyethe tercipta dari kesenangan (hobi) masyarakat khususnya perokok sebagai subyek pelaku, dan berpengaruh pada masyarakat itu sendiri secara sempit maupun masyarakat keseluruhan secara umum. Para pengunjung warung cethe sebagai individu tidak bisa dilepaskan dari situasi warung dimana ia berada. Berkumpulnya beberapa pengunjung dalam satu tempat yang melakukan hal yang sama (nyethe) menjadikan tercipta situasi nyethe yang selanjutnya membentuk kelompok atau komunitas dalam satu tempat tersebut. Situasi kebersamaan yang dihadapi para penyethe akan tumbuh dan mengarahkan tingkah laku secara spontan. Kelompok kebersamaan memiliki ciri-ciri: bertanggung jawab dalam waktu yang relatif pendek, para pesertanya berhubungan secara fisik, kurang adanya aturan yang terorganisir, dan interaksinya bersifat spontan.
Kelompok kebersamaan dalam aktivitas nyethe secara jangka panjang membentuk komunitas baru di warung kopi Blandongan yaitu komunitas cethe mania. Terdapat kegiatan-kegiatan yang mewadahi kreatifitas pelaku nyethe, misalnya lomba nyethe. Karena nyethe sudah menjadi kebiasaan para perokok, maka nyethe bisa dikatakan sebagai budaya dari Komunitas Warung Kopi Blandongan. Terlepas dari berbagai kontroversi persepsi masyarakat tentang baik buruknya aktivitas nyete, dari segi sosial budaya dan kemasyarakatan, nyethe merupakan cikal bakal terbentuknya suatu interaksi sosial. Dari interaksi sosial tersebut selanjutnya terbentuk komunitas baru di warung kopi Blandongan yang secara langsung maupun tidak langsung menciptakan budaya baru di kalangan costumer Blandongan.
Blandongan; Warung Kopi Yang Tergenderisasi
Realitas sosial terhadap diferensiasi masyarakat adalah merupakan sebuah keniscayaan. Kehidupan manusia tidak hanya dibedakan secara stratifikasi hierarkis atas-bawah, melainkan juga terdiferensiasi dengan berbagai perbedaan yang ada di sekelilingnya. Diferensiasi sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin sangat kentara pada masyarakatmasyarakat yang masih tradasional. Bahkan di beberapa masyarakat perbedaan antara pria dan perempuan menunjukkan adanya tingkatan, kebanyakan laki-laki dianggap mempunyai kedudukan yang lebih daripada perempuan. Berbeda dengan kedudukan perempuan dalam budaya masyarakat Romawi kuno sebagai posisi yang nista, dalam pandangan Islam, perempuan sebagai penyempurna bagi laki-laki. Dalam Surat Ali
Imran ayat 195, Allah berfirman ”Wanita itu tiada lain adalah belahan dari laki-laki”. Warung Kopi merupakan salah satu ruang publik yang begitu familiar di dalam masyarakat. Biasanya digunakan sebagai wahana mengisi waktu senggang yang berorientasi pada kesenangan. (David Chaney, 1996: 45).
Selain menyediakan kopi sebagai menu utama, pada umumnya warung kopi menyediakan berbagai minuman dan makanan dengan bonus ruang untuk berinteraksi dengan sesama. Hal itulah yang menyebabkan laki-laki menjadi konsumen terbesar dari sebuah warung kopi. Konsep gender yang berkembang, baik di dalam konsepsi agama Islam maupun masyarakat umum menunjukkan bahwa laki-laki menguasai ruang publik dan perempuan menguasai ruang domestik. Mansour Fakih, 1996: 82).
Laki-laki memiliki hak untuk “menyelami” ruang publik. Perempuan juga memiliki hak yang sama, akan tetapi aturan sosial di dalam masyarakat membuat hak tersebut harus “dikesampingkan”. Perempuan adalah makhluk rasional seperti halnya kaum laki-laki. Perbedaan diantara keduanya tidak seharusnya terjadi, jika laki-laki memiliki kesempatan nongkrong di warung kopi, perempuan juga demikian. Relasi sosial yang luas dapat terjalin di warung kopi, lingkungan yang terbuka mendukung seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Tidak hanya relasi sosial yang dapat terjalin, warung kopi juga dapat memberikan posisi dan nilai seseorang di mata orang lain. Itulah sebabnya perempuan juga berhak mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian kehidupan dalam komunitas warung kopi. Warung kopi merupakan sebuah ruang publik yang sempat tergenderisasi, tempat tersebut selalu dipenuhi oleh kaum laki-laki. Jika perempuan berada diwarung kopi, jumlahnya hanya dua sampai tiga orang saja. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Warung kopi Blandongan milik Badroen bukan merupakan sebuah warung publik yang tergenderisasi. Sedikitnya jumlah perempuan di warung kopi terjadi karena keengganan oleh perempuan itu sendiri. Namun seiring dengan bergulirnya waktu pengunjung perempuan ke warung kopi Blandongan ini semakin meningkat.
Dinamika Liberalitas dan Fundamental di KWK Blandongan
Berangkat dari sebentuk aktivitas mengisi waktu senggang melahirkan sebuah kebiasaan baru seseorang. Kebiasaan yang terus menerus dijalankan dengan disertai konsensus hingga akhirnya menjadi sebuah tradisi dan membudaya dalam realitas sosial kehidupan masyarakat. Ngopi merupakan aktivitas segelintir manusia sebagai wujud dari apresiasi orang-orang pinggiran kini telah berubah statusnya menjadi gaya hidup dalam sub-kultur kaum modern perkotaan. Identitas ini kian kentara di tengah-tengah serbuan arus globalisasi Barat dengan berbagai macam produk kapitalisme seperti KFC, CFC, Mac Donald, Starbucks Coffee dan sejenisnya.
Liberalisasi ekonomi yang terjadi pada tatanan dunia global menandakan bahwa kebudayaan lokal masyarakat tertentu terus mengalami transformasi seiring dengan lajunya zaman. Perubahan tidak hanya terjadi pada konsep mix dan marketing sebuah produk, melainkan juga kebebasan dalam mengaktualisasikan gaya, perilaku dan agama. Gaya, berkaitan dengan identitas masyarakat yang diekspresikan melalui perilaku-perilaku tertentu. Sedangkan agama berjalan pada tataran teologis, semakin bergeser posisinya dari hal yang sakral menju profan. (Haedar Nashir, 1999: 140).
Agama sebagai aspek yang paling fundamental dalam realitas kehidupan manusia peranannya semakin bergerak ke arah sekuler. Pergeseran ini bukannya tanpa sebab, modernisasi, industrialisasi dan globalisasi merupakan penyebab utama terjadinya krisis keagamaan manusia ini. Liberalitas yang merupakan salah satu ciri dari kultur masyarakat modern dapat terekspresikan dalam sebuah kreativitas unik yang dilakukan oleh sebuah komunitas tertentu, seperti halnya komunitas warung kopi Blandongan. Hampir setiap periode tertentu, terutama tanggal 17 Mei Blandongan mengadakan kegiatan yang sifatnya mewadahi kreativitas konsumen. Kegiatan tersebut adalah lomba nyethe dan pentas musik. Warung kopi Blandongan berdiri pada tanggal 17 Mei, oleh karena itu tanggal tersebut dianggap istimewa. Acara ulang tahun selalu menarik konsumen dalam jumlah lebih banyak daripada hari-hari biasa. Selain tanggal 17 Mei, warung kopi Blandongan juga selalu mengadakan kegiatan pada tanggal 4 September.
Tanggal 4 September merupakan hari pelanggan nasional, pada waktu itu konsumen akan mendapatkan kopi gratis. Selain pentas musik, lomba nyethe juga diadakan oleh manajemen Blandongan untuk memperingati hari-hari istimewa Blandongan. Hampir setiap kegiatan yang diadakan oleh manajemen Blandongan selalu menarik konsumen untuk ikut berpartisipasi menjadi peserta. Lomba nyethe adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk menyalurkan bakat melukis konsumen. Untuk semakin menambah nilai kreativitas seni, media lukis bukanlah kertas gambar atau tembok tetapi batang rokok. (Teeggia Gabriella, 2003: 12).
Blandongan sebagai wahana berkumpul pecinta kopi memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup masyarakat modern. Masyarakat yang menurut kebanyakan tokoh sosiologi sebagai masyarakat yang apatis terhadap lingkungan sekitar dan masa bodoh terhadap esensialitas religi.15 Nyethe dan pentas musik adalah dua simbol budaya yang berbeda dan bertolak belakang. Nyethe merupakan simbol dari budaya lokal tradisional yang erat kaitannya dengan nuansa kebersamaan dan interaksi hangat antar pelakunya. Sedangkan pentas musik adalah simbol dari nilai-nilai budaya liberal Barat yang erat kaitannya dengan kemodernan. Keduanya bisa melebur secara harmonis dalam proses asimilasi kebudayaan. Selain daripada itu, semangat entrepreneurship Cak Badroen sebagai pemilik Blandongan patut diberikan apresiasi positif, karena menginspirasi banyak kalangan khususnya mahasiswa muslim untuk kreatif dan inovatif.
Identitas Keberagamaan Komunitas Warung Kopi Blandongan
Terminologi “keberagamaan” memiliki banyak penafsiran sesuai dengan konteks dan penempatan. Menjadi anggota jamaah atau keyakinan terhadap mazhab dan kehadiran dalam acara peribadatan merupakan situasisituasi yang dapat menunjukkan ketaatan dan komitmen terhadap agama. Maksudnya, keaneka ragaman makna yang dikaitkan dengan istilah keberagamaan atau relilgiusitas dapat berarti aspek-aspek gejala yang sama meskipun tidak sepenuhnya sama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan hanya dipandang dari kesalehan personalnya, melainkan juga diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Zuhairi Misrawi, Multiekspresi Keberagamaan Masyarakat . http://kompas.com.
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orangorang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. Dari contoh-contoh tersebut dapat terlihat adanya diferensiasi yang mendasar dalam keyakinan dan praktek seseorang dalam menjalankan agama. Bahkan perbedaan tersebut sangat rinci dalam tata nilai praktis yang menentukan tingkah laku seseorang dalam realitas kehidupan sehari-hari. Namun diluar perbedaan tersebut, masih terlihat konsensus umum yang mampu mewujudkan konteks keberagamaan.
Menurut Peter L. Berger, religiusitas mengandung arti suatu keberagamaan seseorang yang dikonstruk oleh bangunan sosial tertentu. Eskapisme Masyarakat Modern http://www.pikiranrakyat.com. Dalam hal ini religiusitas memiliki dua aspek, yaitu: 1. Aspek Sense of humanity yang berkaitan dengan pengalaman keberagamaan, 2. Aspek Transendental yang bersifat absolut dan berkaitan dengan magis. Religiusitas merupakan suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama (having religious). Religiusitas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengalaman ritual, perilaku (moralitas atau akhlak) agama dan sikap sosial keagamaan. Di dalam Islam, konsep keberagamaan secara esensial tercermin dalam pengamalan akidah, syariah dan akhlak. Atau dengan ungkapan lain yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Apabila unsur-unsur tersebut telah dimiliki oleh seseorang maka dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut merupakan insan beragama yang ideal dan sesungguhnya.
Agama sebagai bagian dari sistem budaya, keberadaannya senantiasa akan selalu bergerak secara dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu wajah agama akan senantiasa berubah tergantung pada bagaimana individu atau kelompok memahaminya, (Ahmad Salehudin, 2007). Maka cara yang paling bijaksana dalam melihat berbagai perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan adalah dengan tidak menganggap salah terhadap individu-individu atau kelompokkelompok keagamaan, tetapi sebuah kebenaran-kebenaran atas dasar rasionalitas yang berbeda. Atas dasar rasionalitas pula, seseorang merepresentasikan nilai-nilai keagamaan ke dalam wujud aktualisasi kehidupan sehari-hari.
Secara garis besar, Islam memang telah dipatenkan melalui risalah-risalah yang termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, problem manusia semakin kompleks sehingga menuntut penafsiran ulang terhadap risalah keagamaan. Hal inilah yang menjadikan corak keberagamaan komunitas warung kopi Blandongan menjadi sedikit berbeda. Ada banyak definisi yang menjelaskan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi komunitas dapat didekati melalui; Pertama, terbentuk dari sekelompok orang. Kedua, saling berinteraksi secara sosial di antara anggota kelompok itu. Ketiga, berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau di antara anggota kelompok yang lain. Keempat, adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok yanglain Anonim, Komunitas,http://id.answers.yahoo.com
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa, terbentuknya komunitas warung kopi Blandongan dikarenakan hadirnya warung kopi Blandongan itu sendiri. Dari situlah terbentuk sekelompok orang yang saling berinteraksi serta mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah mengapa orang-orang dalam warung kopi selama berjam-jam rela melakukan "kerja" sekedar duduk, sekedar nyruput secangkir kopi. Dalam keadaan sadar mereka senantiasa terlibat dalam percakapan, dengan atau tanpa berkata-kata, karena sebagai manusia mereka bukan suatu ketunggalan yang terhimpit dalam kesendirian. Tampaknya orang-orang di dalam warung kopi memperoleh keamanan dan kenyamanan psikologis yang cukup besar dari perasaan akrab dan menyatu. Mereka tidak sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak dapat terpisah dari suatu kelompok. Dalam kelompok itu ia diterima dan ia memainkan peranan.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka spektrum global market, warung kopi Blandongan ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi terhadap persepsi dan ekspresi komunitas didalamnya. Blandongan memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini. Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini, setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang identik dengan budaya modern.
Budaya yang senantiasa toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada. Di sisi lain kultur Blandongan memberikan influence bipolar terhadap aktualisasi keberagamaan seseorang, seperti: Pertama, Blandongan sebagai wahana solidaritas komunal. Artinya, warung kopi Blandongan merupakan salah satu wahana dalam menciptakan proses sosial asosiatif seperti persaudaraan (ukhuwah) dan silaturahmi. Kedua, Blandongan sebagai ruang publik yang tidak tergenderisasi. Ketiga, Blandongan mengentalkan tradisi yang mudharat. Maksudnya, rokok sebagai teman dalam menikmati kopi merupakan benda yang memiliki ke-mudharatan lebih besar ketimbang ke-maslahatan-nya.
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa. “Remaja, Gaya, Selera” dalam situs internet http://www.kunci.or.id
Arkan, Muhammad. “Ngopi Kopi Cethe Sambil Nyethe Rokok” dalam situs internet http://www.blog.binder724studio.com
Cabin, Phillipe & Jean-Francouis Dortier (ed.). La Sociologie; Historie et Idees dalam Ninik Rohani Sjams (terj.), Sosiologi: Sejarah dan Pemikirannya. Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2004
Chaney, David. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jogjakarta: Jalasutra, 1996
Daphne, Spain. Gendered Space. USA: University of North Carolina Press, 1992
Departemen Agama Republik Indonesia. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Toha Putra: 1989
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Featherson, Mike. Budaya Konsumen, Kekuatan Simbolis dan Universalisme. Dalam Hans Dieter Evers (ed.), Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Gabriella, Teggia. A Cup of Coffe. Jakarta: Equinox Publishing Ltd, 2003
Glasner, Peter. Sosiologi Sekularisasi. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1992
Hadi, Abdul. “Ancaman Racun Dalam Rokok” dalam situs internet http://www.google.com
Halim, Fahrizal A. “Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik” dalam
situs internet http://www.handadi.tripod.com
Ishomuddin. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press, 2005
Karim, M. Rusli. Agama, Modernisasi & Sekularisasi. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1998
Karni, Asrori S. “MUI Bersilang Pendapat Tentang Hukum Rokok” dalam situs internet http://faisalsaleh.wordpress.com
Latief, Hilman. “Agama dan Ruang Publik: Antara Profranisasi dan Sakralisasi”. SKH Kompas: Sabtu 26 Februari 2005
Ma’ruf, Zaenal. “Kopi Blandongan” dalam situs internet http://spew-itall. blogspot.com
Mahardika, Marta. “Fenomena Warung Kopi dan Malnutrisi” dalam situs internet http://www.warungmassahar.blogspot.com
Mastuki HS. Corak Keberagamaan Masyarakat Perkotaan. Jakarta: Zikrul Hakim, 1997
Misrawi, Zuhairi. “Multiekspresi Keberagamaan Masyarakat” dalam situs internet http://kompas.com
Muhyiddin. "Komunitas Warung Kopi (KWK) Sebagai Sub-Kultur" dalam situs internet http://www.yogyes.com/id/Jogjakarta-tourism-article/coffee-shopin-Jogjakarta
Munawar-Rachman, Budhy. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001
Muttaqien, Ma’ruf. “Eskapisme Masyarakat Modern” dikutip dari situs internet http://www.pikiranrakyat.com
Muttaqin, Arif. “Kebiasaan Nyethe Sebagian Warga Tulungagung”, Harian Surya, Selasa 24 April 2007
Nashir, Haedar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Soehadha, Moh. "Pengantar Penelitian Sosial Kualitatif "dalam Buku Dasar Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kali Jaga. Jogjakarta: 2004
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: Remaja Rosda karya, 2003
Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Wikipedia Bahasa Melayu, “Angkringan Jawa” dalam situs internet http://www.ms.wikipedia.org/wiki/Angkringan - 17k - Cached – Similar pages
Sumber Internet:
(www.kompas.com.)
(www.multiplay.com)
(www.nationalgeogrphical.com)
(www.tapanuliscoffe.com)
(www.kalyanamitra.com)
BENARKAH ISLAM TERSEBAR DENGAN PEDANG
Telaah Sosial-Historis Dinasti Umayyah
Doni Herdiyansyah
Stap Pengajar TIM PPBA
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
The reality that Islam is the biggest reliogion in the world and the foremost one, it frecuently couses the jealousy around the peoples or groups which are uncontenting with the fact. Therefore, to discredit the Islam, they bring out into view the negative assumption about Islam, that it was appeared with sword. This article tries to find out the answers for the assumption. It by analizing the history of Islam’s authority in Umayyah Dynasty, because in this dynasty the expansion and the dissemination of Islam is to fantastic. It is including three continents; Asia, Africa and Europe (S.W). The writer finds that Islam’s disseminations and its expansions preferences of peacefulness value of Islam. It is rahmatan lil ‘alamin.
Key word: dissemination, discredit, Islam, Sword,
Pendahuluan
Sejak Muhammad saw mengemaban tugas sebagai utusan Allah swt untuk berdakwah –atau dalam istilah bahasa Arabnya dikenal dengan istilah Rasulullah-, yaitu ketika usia Beliau menginjak 40 tahun atau tepatnya sejak diturunkannya ayat pertama al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan 611 M, Islam sebagai agama yang “baru” dikalangan arab Qurays, lahir. Agama yang dibawa oleh Muhammad ini adalah agama yang mengemban misi atau ajakan kepada ummat manusia untuk meng-esakan Tuhan yang pada masa jahiliah waktu itu benar-benar tercemarkan dan ternodai oleh penyembahan yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah kepada “Tuhan” Latta, Uza, Hubal dan Manat yang sesungguhnya adalah patung-patung buatan mereka sendiri. Selanjutnya dakwah untuk meng-esakan Tuhan dan mempersaksikan bahwa Beliau (Muhammad) adalah utusan Allah, mulai berjalan bermula dari ajakan kepada keluarga dan kerabat Beliau. Inilah sesungguhnya awal atau cikal bakal –yang pada tahapan-tahapan berikutnya setelah kewafatan Beliau, baik itu pada masa khulafa’ur rasyidin, dinasti Umayyah, dinasti Abbasyiah dan yang lainnya- menjadi motivasi atau ruh dilakukannya dakwah islamiyah dan perluasan daerah kekuasaan Islam atau ekspansi-ekspansi yang bahkan mencapai kawasan Eropa pada masa dinasti Umayyah. Namun, tentu dengan da’wah bil hikmah wal mauizoh hasanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an (QS, 16:125), bukan dengan kekerasan apalagi dengan pedang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa kejayaannya, Islam pernah menjadi negara “adidaya/adikuasa” yang sangat disegani oleh dunia. Sehingga sampai saat ini dapat kita saksikan bahwa Islam tetap menjadi agama terbesar yang dianut oleh mayoritas penduduk dunia. Fakta sejarah membuktikan kepada kita bahwa pada abad ke tujuh hingga abad ke delapan masehi, pasukan Islam atas nama khalifah berhasil menduduki wilayah-wilayah kristen. Mereka berhasil menduduki kerajaan Byzantium di Syiria, yaitu dengan menduduki provinsi-provinsi yang menjadi wilayah kekuasaan Byzantium pada waktu itu. Begitu juga dengan Mesir, Holy Land, Afrika Selatan, Spanyol dan Sisilia (Albert Hourani, 1996:07). Bahkan pada masa pemerintahan al-Walid l (705-715 M), arus ekspansi Islam mencapai puncaknya, -yang sebelumnya memang sudah dirintis oleh pendahulu-pendahulu Beliau sejak masa Khulafa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar)-, yaitu meliputi wilayah jazirah Arab dan sekitarnya, yang dikepalai oleh Gubernur Jendral Ummar II, al-Masyrik (Front Timur) yang dikepalai oleh Hajjaj ibnu Yusuf, dan al-Magrib (Front Barat) di bawah pimpinan Musa ibnu Nusair. Bahkan wilayah kekuasaannya meluas di wilayah timur sampai ke daerah anak benua India (Pakistan sekarang) dan perbatasan Cina. Sementara di bagian utara meliputi Aleppo (di barat laut), Asia Kecil, Cecnia dan Armenia sampai timur laut. Termasuk daerah-daerah yang sekarang disebut negara Turmenistan, Kirgistan, Uzbekistan, Kazakstan di Asia Tengah termasuk juga Afganistan di Persia. Di bagian barat, Islam menguasai seluruh Afrika Utara sampai semenanjung Liberia (Spanyol dan Portugal) dan sebagian Prancis serta kepulauan di laut tengah (Karim, 2009:120).
Realita bahwa Islam pada akhirnya menjadi agama yang memiliki peranan dan pengaruh besar di dunia –baik dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi- yang merupakan dampak dari kejayaan historik Islam masa lampau, melahirkan kecemburuan-kecemburuan bahkan pandangan-pandangan miring dan miris dari segelintir orang dan golongan, terutama para orientalis dan Nasraniyyun yang memang sejak awal mula penyebarannya, Islam menjadi masalah bagi kaum Kristiani di Eropa. Bahkan sejak awal dikuasainya Byzantium oleh kekuasaan Islam, kaum Kristiani Eropa menganggap setiap pemeluk Islam adalah musuh. Albert Hourani (1996: 7) mengatakan “From the time it first appeared, the religion of Islam was the problem for the Cristian Europe. Those who belived in it were the enemy on the frontire”. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada akhirnya keluar statment-stantment miring bahwa sejak awal, Islam disebarkan dengan pedang. Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika Paus Benekdetus XVI dalam kuliah umumnya di Universitas Regenberg Jerman, 12 September 2006 lalu. Paus yang menyebut Kristen sebagai agama logika telah menyerang ajaran Islam tentang Jihad. Ia mengatakan kekerasan tidak sejalan dengan jiwa ketuhanan dan spiritual, sedangkan jihad dalam agama Islam adalah ajaran kekerasan yang tidak sesuai dengan ketuhanan. Paus lantas mengutip pernyataan Kaisar Bizantium Manuel II Paleologus yang berkata kepada salah seorang ulama Muslim. Ia mengatakan: “Tunjukkan kepadaku bahwa Muhammad membawa hal yang baru selain kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi. Ia datang untuk menyebarkan Islam dengan pedang.” (UCA News dalam http://mirifica.net). Dengan kata lain Islam identik dengan kekerasan. Hal ini tentu diperparah [jika dikaitkan dengan fenomena dan realita saat ini, ada bom bali, JW marriot, Rich Calton dll-] dengan banyaknya aksi pengeboman oleh para teroris yang berkedok agama (Islam).
Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk melihat ke belakang, “bernostalgia” dengan kejayaan Islam masa lampau, untuk kemudian mencoba membaca dan menganalisa kembali kejayaan Islam khususnya pada masa Dinasti Umayyah. Telah diketahui bahwa pada masa ini banyak dilakukan ekspansi-ekspansi termasuk salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Khalifah al-Walid. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan, prestasi-prestasi dan motif dari beberapa ekspansi yang terjadi pada masa dinasti Umayyah ini. Apakah ekspansi-ekspansi yang dilakukan tersebut semata-mata dilakukan hanya untuk menyebarkan dan memperluas daerah kekuasaan Islam? Ataukah memang ada motif-motif lain yang melatar belakangi ekspansi-ekspansi yang dilakukan tersebut. Selanjutnya dari analisa ini penulis berharap bisa menjadi jawaban yang empiris terhadap tuduhan-tuduhan negatif yang dialamatkan terhadap Islam.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan bagaimana berdirinya dinasti Umayyah, perkembangan dan juga sekilas penyebab keruntuhannya. Dalam uraian tentang perkembangan Dinasti Umayyah, akan dipaparkan kondisi sosial dan ekspansi-ekspansi yang terjadi di beberapa periode kekhalifahan. Penulis tidak akan membahas keseluruhan kekhalifahan yang pernah memimpin pada masa dinasti ini, melainkan beberapa saja yang memiliki prestasi atau kontribusi besar terhadap kemajuan Islam.
Lahirnya Dinasti Umayah
Dinasti Umayyah dimulai sejak Muawiyyah ibnu Abi Sofian menjabat sebagai khalifah. Sahabat Nabi yang juga putra Abu Sofian ini sebelumnya menjabat sebagai Gubernur di Damaskus di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun, dalam perjalanannya ia melakukan pemberontakan terhadap Ali. Puncak pemberontakan yang ia lakuakan adalah terjadinya perang Shiffin pada tanggal 26 Juli 657 M, antara Muawiyyah sendiri dengan khalifah Ali bin Abi Thalib. Perang ini bearkhir dengan diadakanya tahkim atau arbitrase yang lebih dikenal dengan tahkim dummatul jandal. Tahkim ini merupakan bentuk “kelihaian dan kelicikan” Muawiyyah, meskipun sebenarnya muncul atas usulan Amr bin Ash ketika pasukan Ali hampir saja memenangkan peperangan. Pada akhirnya tahkim dummatul jandal ini menjadi titik balik bagi Muawiyyah, karena setelah tahkim tersebut pasukan Ali terpecah menjadi dua kubu yaitu khawarij dan syi’ah, yang berujung pada terbunuhnya Ali oleh salah seorang pasukan dari anggota khawarij yang tidak menyetujui diadakannya tahkim.
Selanjutnya kekuasaan dapat diambil alih oleh Muawiyyah. Hal ini disebabkan karena Hasan Ali bin Ali yang dibaiat menggantikan Ali, tidak terlalu cakap dalam memerintah. Apalagi ditambah dengan situasi politik yang memang sedang tidak stabil sejak kematian Ali. Akhirnya Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala.
Memasuki awal kekuasaan Muawiyyah (661-680 M), dinasti Umayyah bermula. Sampai kurang lebih 90 tahun. Nama Diansti Umayyah sendiri diambil dari nama Umayyah ibnu Abdi Syam ibnu Abdi Manaf. Ia adalah orang yang cukup dikenal dalam persukuan di masa Jahiliyah, bersaing dalam hal sosial-politik dengan pamannya Hasyim ibnu Adbi Manaf. Namun, dalam persaingan tersebut Umayyah selalu lebih dominan dari pada Hasyim, karena ia adalah pengusaha sukses dan memiliki harta kekayaan lebih banyak.
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Pada realitanya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system monarkhi. Pemerintahan yang bersifat Islamiyyah berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yaitu setelah al-Hasan bin 'Ali Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah ibnu Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhu dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat terbunuhnya Utsman ibnu Affan Radhiallahu ‘anhu, perang jamal dan penghianatan dari orang-orang al-khawarij dan syi'ah.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
4. Selain itu kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan.
Kondisi Sosial Pada Masa Dinasti Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang bertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol seperti yang dipaparkan sebelumnya. Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Sedangkan dalam bidang sosial secara umum, kondisi masyarakat selama 14 periode kekhalifahan dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat strata sosial. Philip K. Hitti (2001:97) yang dikutip oleh Manshur (2003:173) membagi strata sosial masa Dinasti Umayyah menjadi empat stratifikasi sosial. Pertama adalah kelas tertinggi yang ditempati oleh kaum Muslimin yang memegang kekuasaan, dan kaum ningrat dari bangsa Arab. Ke dua adalah kaum neo Muslim yang atas dasar keyakinan sendiri, mereka memeluk Islam. Secara teori kelompok ini memliki hak-hak dan kewajiban sebagaimana kaum Muslimin lainnya. Yang ke tiga adalah kelompok Zimmi atau penganut agama lain seprti Yahudi dan Nasrani, yang memilih tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan bersedia membayar pajak sebagai konsekwensinya. Ke empat adalah golongan budak-budak yang menempati strata sosial paling rendah.
Kondisi sosial masyarakat Muslimin pada masa Dinasti Umayyah tergolong aman dan damai. Demikian juga dengan masyarakat non Muslim. Masyarakat Muslim dan non Muslim bisa hidup berdampingan. Kendatipun Islam pada masa ini berkuasa di seluruh imperium, namun kondisi masyarakat non Muslim sangat terjamin. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bernegara. Para Khalifah melindungi gereja, kartedral, candi, sinagog dan tempat-tempat suci lainnya. Bahkan semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan dana yang dikeluarkan dari kas Negara. Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol khususnya. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.
Keadilan yang diperoleh oleh warga non Muslim pada masa Dinasti Umayyah tidak hanya dalam hal kebebasan beragama. Akan tetapi, kebebasan dalam bidang hukum dan peradilan juga mereka terima. Para khalifah memberikan kebebasan bagi mereka untuk menggunakan kebebasan yuridiksi mereka sebagaimana yang diatur dalam agama mereka masing-masing. Dalam pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
- Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
- Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
- An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer. Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
Dalam lapangan sosial, dapat dikatakan Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin, 1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
A. Khalifah-khalifah Yang Cukup Berpengaruh pada Masa Daulah Umayyah
Pemerintahan dinasti Umayyah yang berlangsung kurang lebih hampir satu abad ini (90 tahun), dipimpin oleh empat belas khalifah. Berikut ini akan penulis paparkan secara singkat beberapa kekhalifahan yang pernah berkuasa pada masa dinasti Umayyah, yang mempunyai prestasi dan pengaruh besar pada eksistensi dinasti ini khususnya dan kemajuan Islam umumnya. Ini tidak berarti bahwa khalifah-khalifah yang tidak disebutkan di sini tidak berjasa. Akan tetapi, penulis hanya ingin memperjelas titik tekan dari pembahasan tulisan ini adalah mengetahui motif atau modus ekspansi yang terjadi pada kekhalifahan beberapa khalifah berikut ini.
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Ia mengirimkan angkatan perangnya di bawah pimpinan al-Muhallab ibnu Abi Sufrah ke India, seorang pimpinan perang yang terkenal gagah berani, namun hanya sampai ke Kabul (Ibu kota Afganistan sekarang), dan Multan. (Karim, 2003: 08) Walau demikian Tunisia dan daerah Kurasan dapat dikuasai.
Pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, Mua’wiyah membagi dua kelompok dewan syura khas (pusat) dan majelis syura sementara. Mua’wiyah juga melakukan pembangunan dan komunikasi diberbagai provinsi dan kota, berkonsultasi dengan majelis syura. Disini Mua’wiyah membuka ruang demokrasi dalam system pemerintahannya namun disisi lain dia mempraktekkan pemerintahan yang monarki dengan mengangkat yazid sebagai putra mahkota. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Sebelum kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan, dinasti Umayyah dipimpin oleh Yazid Ibn Muawiyyah (681-683 M) yang ditunjuk langsung oleh Muawiyyah sebagai penggantinya, kemudian Muawiyyah Ibn Yazid (683-684 M) yang juga menggantikan ayahnya Yazid. Setelah itu dinasti Umayyah dipimpin oleh Marwan Ibn al-Hakam (684-685 M), yang hanya memimpin selama satu tahun.
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M, meskipun sebelumnya terjadi pertikaian antara dia dan Abdullah Ibnu Zubair. Di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia meneruskan ekspansi ke timur yang sebelumnya dilakukan Muawiyah. Ia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karyakarya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan.
3. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Sesungguhnya ia bukanlah khlifah yang ahli dalam peperangan, akan tetapi pada masanya muncul para panglima yang terkemuka seperti Musa ibn Nushair, Thariq bin Ziad yang melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol), sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada, Seville, Elvira dan Toledo, kemudian Jendral Hajjaj ibn yusuf di front timur, Muhammad ibn Qasim dan Quthaibah ibn Muslim yang menaklukkan Sind-Punjab dan sebagian Sentral Asia (Karim, 2006: 14). Ketika penaklukan Kordova oleh Thariq ibn Ziyad melalui selat yang selanjutnya dikenal dengan selat Gibraltar (Jabal Thariq), dan beberapa tempat yang sudah disebutkan tersebut, pasukan Islam memperoleh kemenangan selain karena semangat pasukan yang dikobarkan oleh Thariq, juga karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa sebelumnya (Byzantium) (Badri Yatim, 1998: 43). Dalam pidatonya yang sangat terkenal, Thariq memerintahkan pasukannya untuk membakar perahu-perahu yang mereka gunakan setibanya di daratan. Sehingga hanya ada satu pilihan, yaitu maju dan memenangkan pertempuran. Sebab sudah tidak mungkin lagi untuk mundur karena perahu-perahu sudah dibakar. Pada masa al-Walid ini peta Islam paling luas dalam sejarah perluasan Islam yaitu meliputi tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa (Barat Daya). Karenanyalah ia dikenal dengan sang penakluk.
Pada era Al-Walid I ini tercatat sebuah keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area disekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al-Musayyib : "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana".
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Ia membangun gedung-gedung yamg indah, masjid dan sekolah kedokteran. Ia bahkan memberikan tunjangan hidup secara cuma-cuma kepada para lansia, orang buta, lumpuh, orang gila dan perempuan-perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah putra-putrinya karena ditinggal mati suami mereka di medan perang. Selain itu, al-Walid juga membangun armada laut raksasa yang merupakan lanjutan dari armada laut yang sebelumnya telah dibangun oleh Muawiyyah ibn Abu Sofian. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran dinasti tersebut.
4. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Khalifah sebelum Umar ibn Abdul Aziz adalah Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M) menggantikan al-Walid yang merupakan saudara kandungnya sendiri. Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun. Ibunya adalah cucu dari khlifah Ummar Ibn Khattab, dan kemungkinan karenanyalah yang menjadi salah satu sebab ia dikenal dengan Umar II. Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar II meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah. Padahal dahulu Umar II adalah seorang pangeran yang hidup dalam gelimang harta yang konon selalu menjadi omongan karena kerapian, ketampanan, kewangian dan kegemerlapan pakaiannya, bahkan gaya berjalannya diikuti banyak orang karena begitu indahnya. Bahkan ia sering terlambat solat karena para pembantunya belum selesai merawat rambutnya. Ia tidak mau memakai satu pakaian lebih dari satu kali karena dianggap telah usang. (Abdul Karim, 2009: 122-123).
Amin (1978: 104) mengatakan satu hal yang sangat mencolok dari pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz ini yang berbeda dengan para pendahulunya, yaitu ketika dinobatkan sebagai Khalifah. Ia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Badri Yatim, 1998: 47). Ini menunjukkan bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa pada masa Umar ini tidak terjadi ekspansi. Bahkan pada masa Umar II inilah terjadi penyerangan ke Prancis melalui Pinaree di bawah pimpinan Abd rahman Ibn Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers kemudian dari sana ia mencoba menaklukkan Tours, walupun pada akhirnya al-Ghafiqi terbunuh. Prestasi lain yang juga sangat mengesankan dari Umar II ini adalah ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
5. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Khalifah sebelum Hisyam adalah Yazid Ibn Abdul Malik yang juga merupakan saudara dari al-Walid dan Sulaiman. Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Namun, pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
6. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.
Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah adalah untuk perluasan wilayah yang memang merupakan tradisi imperium, sebagai dakwah yang mengemban misi kemanusiaan. Selain itu tindakan ekspansi juga dilakukan sebagai sesuatu tindakan untuk membela diri (defensif). Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat.
B. Keruntuhan Dinasti Umayyah
Ada beberapa penyebab keruntuhan dinasti Umayyah seperti yang dikemukakan oleh Badri Yatim (1998:48-49) dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, yaitu:
1. Sisitim pergantian pemerintahan melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru dalam tradisi Arab, setidaknya semenjak era khulafa’ ar-rasyidun. Sehingga menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam intern keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah yang tidak terlepas dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
3. Terjadinya pertentangan antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dengan Arabia selatan (bani Kalb) yang semakin meruncing, sehingga sulit untuk menggalang persatguan dan kesatuan.
4. Pola hidup mewah dan foya-foya yang dilakukan oleh beberapa khalifah.
5. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk ath-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
6. Keterpencilan dan luasnya daerah kekuasaan. Islam di Spanyol bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.
7. Penyebab langsung tergulirnya kekuasaan dinasti ini adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abdul Muthalib yang mendapat dukungan dari Bani Hasyim.
Sebuah Analisa dan Kesimpulan
Selanjutnya dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa argumen untuk menjawab pertanyaan benarkah Islam disebarkan dengan pedang?. Sebagai replay dari pertanyaan ini dan landasan pertama untuk kemudian memparkan beberapa argumen berdasarkan fakta empiris yang penulis temukan, terlebih dahulu penulis mengutip sebuah ayat dalam surat an-Nahl ayat 125 yang berbunyi: أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن... (serulah –manusia- kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik). Inilah menurut penulis yang menjadi konsep dakwah yang menjadi pegangan dalam penyebaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasul saw, bukan bis shaif melainkan bil hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil (QS, an-Nahl: 125). pertama. Jika dalam tataran praksis ada beberapa kelompok yang mempunyai pandangan berbeda dalam memahami konsep dakwah dalam Islam, seyogyanya tidak bisa dijadikan alasan menjeneralisir, untuk kemudian menjastifikjasi bahwa Islam tersebar dengan pedang. Oleh karena itu, perlu memahami dan membedakan antara Islam dan orang yang ber-Islam.
Kedua, jika kita melihat fakta empiris, misalnya salah satu ekspansi yang terjadi pada masa al-Walid. Kenyataannya adalah rakyat sendiri yang mengharapkan bahkan meminta bantuan kepada khalifah Islam untuk membebaskan mereka dari penguasa yang lalim pada waktu itu. Dari fakta ini dapat kita simpulkan bahwa ada misi humanism yang melatar belakangi ekspansi tersebut. Bukan semata-mata mengadakan perluasan apalagi dakawah bis shaif. Bahkan setelah daerah-daerah tersebut dikuasai tidak ada pakasaan untuk memeluk Islam bagi rakyat yang masih memegang teguh keyakinan mereka. Kalaupun ada yang beralih memeluk Islam, itu pure karena mereka tertarik dengan kemuliaan ajaran Islam. Artinya, Islam akhirnya berhasil masuk dan melekat sebagai keyakinan masarakat pada waktu itu adalah secara penetration pacifique atau secara cultural (Ma’arif dalam Karim, 2007: 06). Dengan kata lain peperangan yang terjadi lebih menunjukkan peran Islam dan inti ajarannya yang mengedepankan nilai-nilai persatuan, nilai-nilai perdamaian, dan membangkitkan kembali jati diri manusia untuk tetap menjadi manusia yang bermartabat.
Ketiga, jika dilihat pada masa dinasti Umayyah khususnya, masa ini adalah masa imperium. Dan sebelum Islam datang, semenanjung arabia merupakan wilayah konflik peperangan antara dua imperium besar, Romawi dan Persia. Sedangkan orang-orang Arab sendiri ketika itu tercerai-berai dalam kabilah-kabilah yang tidak sedikit dan di antara mereka sendiri terjadi peperangan dahsyat yang tidak kunjung habis-habisnya. Jadi sikap saling menduduki dan saling menguasai antar satu imperialis dengan imperialis yang lain, sudah merupakan suatu tradisi, yang jika hanya atas dasar itu diklaim Islam tersiarkan dengan pedang, sesungguhnya sangat tidak benar. Sebab dalam tradisi imperial seperti itu, tentu jika tidak menguasai maka akan dikuasai.
Keempat, jika kita lihat kembali pada masa Rasulullah -sedikit keluar dari konteks pembahasan tentang dinasti Umayyah-, disetiap peperangan yang akan Rasulullah atau umat Islam lakukan notabene adalah untuk mempertahankan diri atau untuk merebut kembali apa yang menjadi hak umat Ilsam sendiri. Dan point yang perlu digaris bawahi adalah sebelum memulai peperangan Rasulullah selalu memperingatkan untuk tidak membunuh anak-anak, perempuan dan orang-orang tua/jompo. Inilah beberapa argumen dan hasil analisa yang penulis dapat samapaikan dan paparkan dari sedikit membaca sejarah perjuangan Islam pada masa dinasti Umayyah.
Wallahu a’lamu bis shawab.
Daftar Referensi
Amstrong, Karen, Islam A Short Story, terj. Surabaya: Ijkon Tranliterasia, 2004.
___________, Mushaf Al-Qur’an Tarjamah, Jakarta: Al-Huda, 2002.
Hourani Albert, Islam in Europan Thaught, Melbourn: Cmberidge Uneversity Press, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Perdadaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadakerjasama LSIK, 1998.
Manshur, Munawwar, “Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa Bani Umayyah”, Yogyakarta: Majalah Humaniora UGM, volume XV, no 2/2003.
Karim, Abdul, Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Karim, Abdul, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Karim, Abdul, Sejarah Islam di India, Yogyakarta: Bunga Grafies Prodaction, 2003.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://mirifica.net.
MOTIF SOSIAL YAYASAN KANTHIL DALAM
MELESTARIKAN BUDAYA LOKAL KOTAGEDE
Beti Widyastuti
Alumni Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis ia akan selalu mengalami perubahan, bahkan tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Oleh karena itu, kebudayaan perlu untuk selalu dilestarikan keberadaanya dan dalam melestarikan kebudayaan sangat dibutuhkan generasi muda yang mahu peduli terhadap kelestarian suatu budaya. Di Kotagede terdapat sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Yayasan Kanthil yang didirikan oleh sekelompok pemuda asli Kotagede.
Kotagede merupakan suatu daerah potensial sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam, potensi budaya yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok, pertama potensi kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan, keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi situs sejarah. Motif sosial para pendiri Yayasan Kanthil berawal dari rasa cinta dan kepedulian khusus terhadap tempat tinggalnya yakni Kotagede, yang merupakan daerah potensial sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Yayasan
Dalam upaya melestarikan, mengembangkan serta memperkenalkan potensi budaya yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil bekerja sama dengan berbagai pihak dan mengadakan berbagai macam kegiatan diantaranya adalah Rambling Throug Kotagede, jelajah Religi, Hunting Architektur, festival Kotagede, menjalin kerja sama dengan beberapa stasiun televisi dan kegiatan lain sebagainya.
Kata kunci: motif, budaya, lestari.
Pendahuluan
Kotagede sering disebut sebagai Ibu Kota lama, karena dahulu Kotagede merupakan tempat pertama kali didirikanya Ibu Kota Kerajaan Dinasti Mataram Islam, dahulu Kotagede hanyalah merupakan sebuah hutan luas yang disebut dengan sebutan Alas Mentaok, yang oleh Raja Mataram pertama yaitu Panembahan Senopati kawasan tersebut dibangun dan kemudian ditetapkan sebagai wilayah Kotagede. Kotagede sebagai daerah yang dulunya merupakan kawasan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, menyimpan nilai sejarah dan mempunyai kebudayaan yang sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari oleh semua kalangan masyarakat dari berbagai belahan dunia.
Kotagede selain merupakan daerah yang mempunyai nilai budaya dan sejarah yang tinggi karena merupakan daerah peninggalan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, Kotagede juga merupakan daerah industri yang memproduksi kerajinan perak yang mempunyai nilai seni yang tinggi, Kotagede merupakan pusat pembuatan kerajinan perak yang sudah dikenal oleh masyarakat luas hingga manca negara. Masyarakat Kotagede telah diwarisi sejarah dan budaya oleh Raja Mataram yang pernah bertahta di daerah Kotagede, dan hal itu membuat Kotagede semakin dilirik keberadaanya oleh masyarakat luas. Sekarang ini banyak wisatawan lokal maupun wisatawan asing yang berkunjung ke Kotagede, baik yang dengan sengaja berbelanja pernak-pernik perak, maupun hanya sekedar jalan-jalan menikmati keindahan kawasan Kotagede yang menyimpan keanekaragaman budaya dan sejarah. Kotagede sebagai daerah yang mempunyai sejuta pesona karena budaya dan sejarah yang tersimpan didalamnya, sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan keberadaanya, agar nilai-nilai budaya dan sejarah yang tersimpan tidak terhapus seiring dengan perkembangan sosial budaya dan perubahan sosial masyarakat serta perkembangan zaman yang semakin maju.
Kotagede merupakan daerah peninggalan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, hal tersebut membuat sebagian besar masyarakat Kotagede memeluk agama Islam, Islam mulai dikenalkan kepada masyarakat Kotagede pada awal berdirinya Kerajaan Dinasti Mataram Islam di bawah pemerintahan Panembahan Senopati, di mana Kotagede menjadi pusat Kerajaanya. Pada masa Panembahan Senopati bertahta kehidupan sosial ekonomi dan budaya berkembang dengan pesat dalam kendali budaya Jawa, dan pada saat itu masyarakat Kotagede berada dalam situasi keagamaan yang kental akan nuansa budaya Jawa. Kebudayaan adalah merupakan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan dan dilupakan oleh manusia, kebudayaan hendaknya selalu dijaga keberadaan dan kelestarianya karena, kebudayaan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan sosial setiap individu masyarakat.
Kebudayaan juga berperan penting dalam pembentukkan karakter setiap lndividu masyarakat maupun kelompok masyarakat karena, pembentukkan karakter manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar di mana seseorang individu bertempat tinggal. Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan masyarakatnya karena, kebudayaan mengatur tingkah laku serta mempengaruhi perbuatan setiap individu masyarakat terhadap lingkungan dan interaksi sosial. Manusia yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk Allah yang paling sempurna diantara makhluk Allah yang lainya, yang memiliki keistimewaan berupa akal dan pikiran, mempunyai kewajiban untuk bisa memanfaatkan kelebihanya tersebut untuk berkembang dan melakukan perubahan kearah yang lebih baik demi kepentingan bersama. Dan sebagai manusia mempunyai kewajiban pula untuk bisa menyadari, bahwa dalam melakukan perubahan ataupun menerima suatu perubahan tidak boleh melupakan serta meninggalkan kebudayaan yang sudah ada.
Kebudayaan yang sudah ada perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya karena,
kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial setiap individu masyarakat maupun kelompok masyarakat. Pada umumnya kebudayaan dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis, maupun pada lingkungan
sosialnya.
Walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu, perlu diingat bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis, akan tetapi kebudayaan itu bersifat dinamis, ia selalu mengalami perubahan. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Oleh karena itu, kebudayaan penting untuk selalu dilestarikan dan dijaga keberadaanya. Dalam melestarikan kebudayaan, sangat dibutuhkan orang-orang, khususnya generasi muda yang mahu peduli terhadap kelestarian budaya serta lingkungan sekitar, dan suatu organisasi atau lembaga kemasyarakatan dirasa perlu dibentuk guna terwujudnya suatu pelestarian budaya, agar kebudayaan yang sudah ada dapat terus dilestarikan dan tetap terjaga keberadaanya dengan baik.
Dibalik keindahan interaksi sosial terdapat pergeseran kearah yang mengkawatirkan dalam cara pandang kehidupan budaya yang telah lama dimiliki oleh masyarakat Kotagede. Sebagian komunitas lambat laun akan menganggap tabu terhadap nilai budaya sendiri, dan hal ini dapat mengancam keberadaan jati diri masyarakat Kotagede, kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor penyebabnya, karena mental sebagian masyarakat belum siap untuk memilah hal-hal yang perlu atau tidak perlu dalam melestarikan dan mengembangkan budaya yang mereka miliki.Yayasan Kanthil, karso anteping tekad hangudi ilmu luhur, yang artinya niat disertai tekad yang mantap untuk mengunduh ilmu yang luhur adalah merupakan suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berada di Kotagede, yang bergerak dalam bidang pelestarian dan pengembangan seni, budaya lokal Kotagede.
Pada umumnya setiap lembaga swadaya masyarakat (LSM) didirikan berdasarkan motif dan harapan tertentu dari setiap individu anggota yang kemudian dirundingkan bersama dan disepakati oleh semua anggota. Semua tindakkan dan tingkah laku setiap individu masyarakat maupun kelompok masyarakat pada hakekatnya mempunyai motif dan harapan tertentu dalam setiap pelaksanaan kegiatan. Motif yang dimiliki oleh suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada umumnya merupakan motif sosial yang bertujuan untuk kepentingan bersama.
Dengan motif, sebuah lembaga kemasyarakatan akan lebih mudah menjalankan apa yang menjadi keinginan, harapan dan tujuan suatu lembaga dengan lebih terarah karena, motif yang dimiliki oleh sebuah lembaga akan mempengaruhi para anggotanya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan motif yang dimiliki oleh lembaganya. Motif dapat diartikan sebagai daya upaya, yang menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang bermula dari dalam diri individu untuk melakukan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu tidak selamanya hanya memiliki satu motif tertentu saja, akan tetapi sering juga didasari atas beberapa motif yang mendasarinya dan berlangsung secara bersama-sama dalam satu kegiatan. Yayasan Kanthil sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pelestarian budaya lokal Kotagede, tentunya juga mempunyai motif sosial dalam setiap pelaksanaan kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Kanthil dalam upaya pelestarian budaya lokal Kotagede demi kepentingan bersama.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Apa motif sosial Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya lokal Kotagede? 2. Apa program kegiatan dari Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan budaya lokal dan memperkenalkanya kepada masyarakat luas serta apa kontribusi dari Yayasan Kanthil bagi Kotagede.
Kerangka Teori
Yayasan Kanthil Sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditingkat akar rumput dan bersifat nirlaba, yang bergerak dalam bidang pelestarian dan pengembangan seni, budaya dan pariwisata Kotagede, dalam mengadakan berbagai macam kegiatan yang bertujuan untuk pelestarian dan pengembangan, budaya lokal Kotagede, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, dan dalam menjalin kerjasama tersebut tentunya, Yayasan Kanthil mempunyai motif serta harapan tertentu dari setiap pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan, dan dari setiap kerjasama yang dijalin dengan pihak lain, dapat membuahkan hasil sesuai dengan harapan serta motif yang dimiliki oleh Yayasan Kanthil.
Berbicara tentang motif tidak dapat terlepas dari kata motivasi karena keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama. Secara morfologi, kamus besar bahasa Indonesia memberikan pengertian motif dan motivasi sebagai berikut. Motif adalah kata benda yang artinya pendorong, sedangkan motivasi adalah kata kerja yang artinya mendorang. Motif merupakan asal kata dari motivasi, sedangkan motivasi berasal dari bahasa latin yaitu Movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Dorongan atau daya pengerak tersebut terdapat dan barasal dari dalam diri individu, dan dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang bertindak atau melakukan sesuatu demi mencapai suatu tujuan tertentu.
Kata motif dan motivasi tidak hanya memiliki satu pengertian saja, melainkan ada beberapa pengertian yang berbeda-beda yang dipaparkan oleh beberapa ahli, diantaranya dipaparkan oleh Syaodih membedakan pengertian motif dan motivasi sebagai berikut, motif merupakan suatu tenaga yang mendorong atau menggerakkan individu untuk bertindak mencapai tujuan dan motivasi merupakan suatu kondisi tertentu yang tercipta atau diciptakan sehingga membangkitkan atau memperbesar motif pada diri seseorang. (Syaodih Nana, 2000: 6).
Sardiman mengemukakan, motif adalah daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitasaktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motif juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi inter (kesiapsiagaan). Sedangkan motivasi diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motivasi dapat juga dikatakan sebagai serangkaian sebuah usaha untuk menyediakan kondisikondisi tertentu, sehingga seseorang mahu dan ingin melakukan sesuatu. (Sadirman A.M,1988: 73).
Sedangkan menurut Gerungan (1966) motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motivasi orang bergantung pada kekuatan motif-motif mereka. Motif biasanya didefinisikan sebagai kebutuhan (need), keinginan (wants), dorongan (drives) atau desakan hati (impulse) dalam diri individu. Motif diarahkan pada tujuan yang mungkin sadar atau tidak sadar.As’ad Mohammad, 1986).
Istilah motif sosial mempunyai banyak definisi, definisi-definisi
tersebut diantaranya dikemukakan oleh:
1. Lindgren (1073) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang dipelajari melalui kontak dengan orang lain dan bahwa lingkungan individu memegang peranan yang penting.
2. Barkowitz (1969) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang mendasari aktivitas individu dalam mereaksi terdap orang lain.
3. Max Ceimon dan Messick (1976) menyatakan bahwa seseorang dikatakan menunjukkan motif sosial, jika ia di dalam membuat suatu pilihan atau keputusan memperhitungkan akibatnya bagi orang lain.
4. Heckhausen (1980) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang menunjukkan bahwa tujuan yang ingin dicapai mempunyai interaksi dengan orang lain.
Dari beberapa definisi motif sosial di atas dapat disimpulkan bahwa motif sosial adalah merupakan motif yang ditimbulkan untuk memenuhi kebutuhan individu dalam hubunganya dengan lingkungan sosialnya. Le Vine menyatakan bahwa kebudayaan yang timbul dalam masyarakat, yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, tersebar dalam masyarakat dan dengan sendirinya akan mempengaruhi masyarakat maupun individunya, sehingga akan mempengaruhi motif sosial mereka. (Sri Mulyani Martaniyah, 1984: 17).
Nilai-nilai, norma, kebudayaan dan kebiasaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat akan berpengaruh terhadap motif sosial setiap anggota masyarakat. Hal ini dikarenakan, setiap tingkah laku dan perbuatan dari setiap anggota masyarakat selalu dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dalam lingkungan hidup masyarakat.
Motif seseorang, maupun motif yang terdapat dalam suatu kelompok tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi dapat diinterprestasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Motif yang berada dalam diri individu maupun kelompok merupakan dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainya yang berasal dari dalam diri individu, yang dapat menyebabkan seorang individu melakukan suatu tindakan atau perbuatan, sesuai dengan motif yang berada dalam diri individu. Setiap individu yang mempunyai motif, pasti ia mempunyai harapan tertentu dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan berdasarkan motif yang muncul dari dalam diri individu. Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor Vroom (1964) yang menjelaskan bahwa seseorang akan termotivasi untuk berkinerja berdasarkan:
1. Pengharapan suatu kinerja tertentu akan menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh orang tersebut.
2. Pengharapan bahwa usaha yang dikerahkan dapat menghasilkan kinerja yang diinginkan atau akan membuat perilaku yang diinginkan muncul.
3. Pengharapan bahwa perilaku yang diinginkan seseorang pasti mengarah ke berbagai hasil.
Teori pengharapan dikaji lebih lanjut oleh David A. Nadler dan Edward E. Lawler III dalam artikel “Motivation: Adiagnostic Approach” tahun 1977. Banyak ahli peprilaku yang berkesimpulan bahwa teori ini paling komprehensif, valid dan berguna untuk memahami motivasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa teori ini merupakan alat yang sangat berguna untuk memahami motivasi atau motif dalam suatu organisasi. (Usmara, 2006)
Organisasi merupakan satu kesatuan kelompok yang terdiri dari beberapa anggota yang tergabung dalam satu wadah dan para anggotanya melakukan kerja sama dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Motif yang terdapat dalam suatu organisasi, akan mengarahkan para anggotanya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan harapan serta motif yang ada pada organisasinya, motif serta harapan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan yang telah disepakati bersama oleh para anggota organisasi.
Teori psikodinamika dari fungsi kelompok, teori ini dikemukakan oleh Bion (1948-1951). Dalam teorinya Bion sedikit sekali menggunakan konsepkonsep psikonalisis secara terbuka. Walaupun demikian secara tersirat dalildalilnya tentang fungsi dari kelompok didasari oleh anggapan-anggapan psikoanalisis. Menurut Bion kelompok bukanlah sekedar kumpulan individu, melainkan merupakan suatu satuan dengan ciri dinamika dan emosi tersendiri.
Ciri-ciri group ini berfungsi pada taraf tidak sadar dan didasarkan pada kecemasan-kecemasan dan motivasi-motivasi dasar yang ada pada manusia. Ia menganggap kelompok sebagai versi makrokosmos dari individu. Dengan demikian pada kelompok terdapat kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif (fungsi id), tujuan dan mekanisme (fungsi ego) dan keterbatasan-keterbatasan.
Yayasan Kanthil dan Pelestarian Budaya Lokal Kotagede
Potret Yayasan Kanthil
Kotagede merupakan daerah yang memiliki kekayaan budaya yang potensial. Potensi budaya yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu pertama, potensi kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan (seni kampung), keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi sejarah (situs sejarah) Mataram dan perjuangan negara Republik Indonesia. (Herry Mardianto, 2003: 5).
Seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat muncul suatu kekhawatiran hilangnya fungsi kultural dari lima potensi budaya tersebut. Untuk menjaga potensi-potensi yang dimiliki oleh Kotagede dari kemungkinan kehilangan fungsi kulturalnya dan kemungkinan terjadinya kepunahan secara perlahan-lahan seiring dengan perubahan zaman yang terus berkembang dan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka upaya pelestarian serta pengembangan secara dinamis perlu diterapkan dan dilakukan.
Berangkat dari rasa cinta dan perhatian secara pribadi terhadap daerah tempat tinggalnya serta kekhawatiran akan hilangnya fungsi nilai budaya dan hilangnya potensi yang dimiliki oleh tempat tinggalnya yakni Kotagede, pada sekitar awal tahun 1985 sekelompok pemuda asli Kotagede, yang mempunyai perhatian khusus terhadap Kotagede yang menyimpan nilai sejarah yang jelas sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam, mulai membicarakan dan berfikir tentang bagaimana cara yang tepat untuk dapat terus menjaga serta melestarikan budaya dan sejarah yang ada di Kotagede. Sekelompok pemuda tersebut melihat Kotagede merupakan sebuah daerah yang komplit, sebuah Kecamatan yang memiliki nilai sejarah yang jelas sebagai bekas Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sejak tahun 1575.
Setelah melalui pembicaraan dan proses yang cukup panjang dimulai semenjak awal tahun 1985 akhirnya pada tahun 1999 tepatnya pada tanggal 31 Desember 1999 mereka sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mereka beri nama Yayasan Kanthil kepanjangan dari Karso Anteping Tekad Hangudi Ilmu Luhur, yang mempunyai arti niat disertai tekad yang mantap untuk mengunduh ilmu yang luhur, bergerak dalam bidang pelestari dan pengembangan seni, budaya dan pariwisata Kotagede.
Yayasan Kanthil didirikan oleh sekelompok warga Kotagede, yang terdiri dari sembilan orang asli Kotagede, kesembilan orang tersebut adalah Muhammad Natsir, Sholehuddin, Shinta Noor Kumala, Ida Fajar Priyanto M.A., Heny Astiyanto S.H., Darwan Prapto Suharjo, Sudiyo Prasetyo, Ki Cermo Sutedjo, dan Kisworo M. Widarso, mereka sama-sama mempunyai semangat belajar dan ingin tahu tentang sejarah daerah tempat tinggalnya yakni Kotagede, mereka juga memiliki kepedulian dan komitmen untuk menjaga Kotagede serta melestarikan dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede.
Latar belakang didirikanya Yayasan Kanthil, adalah sebagai tindak lanjut dari komitmen beberapa warga masyarakat Kotagede yang memiliki rasa kepedulian untuk melestarikan daerahnya sendiri, sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang terdapat di Yogyakarta untuk secara lebih serius mengembangkan daerah tempat tinggalnya sendiri dalam sektor pariwisata melalui pendekatan pengembangan yang bijak dalam arti aspek-aspek penting yaitu pelestarian, pelibatan masyarakat, pendidikan dan ekonomi dapat tercukupi.
Pada awal berdirinya Yayasan Kanthil mempunyai kantor yang beralamat di Kudusan nomor 76 A Kotagede, tepatnya di rumah Bapak Sholehuidin (Lurah desa Jagalan), akan tetapi setelah terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, kantor Yayasan Kanthil pindah di Pekaten KG II/850 RT 45/RW 09 Prenggan Kotagede Yogyakarta 55172 yang merupakan rumah ketua Yayasan Kanthil yaitu Bapak Muhammad Natsir, kantor Yayasan Kanthil pindah dari rumah Bapak Sholehudin ke rumah Bapak Muhammad Natsir karena, Yayasan Kanthil sebenarnya tidak mempunyai kantor yang tetap.
Setiap pengurus dan anggota Yayasan Kanthil mempunyai latar belakang kehidupan, serta pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang bekerja sebagai penjahit, dosen, pengacara, pedagang bahkan ada pula yang pengangguran akan tetapi mereka mempunyai tekad dan komitmen yang sama yakni, mereka ingin terus menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya lokal Kotagede serta terus menggali potensi yang dimiliki oleh Kotagede, merekapun ingin secara serius mewujudkan tekad mereka untuk menjaga, melestarikan serta, mengembangkan dan terus menggali potensi yang dimiliki oleh Kotagede, dengan cara mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Selain karena para pengurus dan anggota Yayasan Kanthil ingin menjaga, melestarikan dan mengembangkan budaya yang telah ada di Kotagede, mereka juga mempunyai harapan dapat memberi bantuan jika ada orang yang berkunjung ke Kotagede, bertanya tentang Kotagede dan ingin tahu tentang sejarah dan segala sesuatu yang terdapat di Kotagede mereka bisa mendapatkan jawaban dengan adanya Yayasan Kanthil.
Dana Yayasan Kanthil.
Dalam setiap pelaksanaan kegiatanya, Yayasan Kanthil selalu menjalinkerjasama dengan warga masyarakat Kotagede dan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya serta peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di kawasan Kotagede, terkadang dalam menyelenggarakan program kegiatan, Yayasan Kanthil mendapatkan dana bantuan maupun dana subsidi dari berbagai pihak yang mendukung kegiatan yang diselengarakan oleh Yayasan Kanthil demi terwujudnya pelestarian kawasan Kotagede yang oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta. Meskipun terkadang Yayasan Kanthil mendapatkan dana subsidi atau dana bantuan dari berbagai pihak dalam setiap pelaksanaan kegiatanya namun, tidak jarang pula dana diambil dari dana pribadi para pengurus Yayasan Kanthil.
Sejak tahun 1999 Yayasan Kanthil telah mendapatkan kepercayaan dari Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan didapatnya dana subsidi dalam penyelenggaraan Festival Kotagede. Bukan hanya pemerintahan dari dalam negeri saja yang membantu dana guna kelancaran setiap kegiatan atau program yang diadakan oleh Yayasan Kanthil dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni, budaya dan pariwisata di Kotagede. Pasca gempa bumi yang melanda daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 pemerintah Belanda, UNESCO, pihak universitas dan swasta membantu Yayasan Kanthil dalam upaya pemulihan Kotagede pasca gempa bumi.
Dalam upaya mengembalikan wajah pasar Kotagede kewajah pasar Kotagede masa lalu, Pemerintah kota Yogyakarta melalui program rehabilitasi Pasar Legi Kotagede pada tahun anggaran 2008 memberikan dana hibah kepada Yayasan Kanthil Kotagede sebesar Rp 285.000.000,00 dana tersebut diperuntukkan guna menata jalan Mondorakan dengan membuat jalur pendestrian dan memoles Pasar Kotagede untuk dikembalikan ke wajah pasar Legi Kotagede seperti masa lalu. (M. Natsir. 2008)
Program Yayasan Kanthil
Yayasan Kanthil sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditingkat akar rumput dan bersifat nirlaba, dalam setiap kegiatan yang diadakan untuk upaya pengembangan dan pelestarian budaya lokal Kotagede, selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak diantaranya, dengan masyarakat sekitar, pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang berada di Kotagede maupun lembaga lain yang berada di luar Kotagede, yang memiliki komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya serta peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di kawasan Kotagede.
Program kegiatan dari Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, selalu dibuat mengalir disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu pelaksanaan kegiatan. Beberapa program kegiatan Yayasan Kanthil diantaranya adalah mengadakan Festival Kotagede, menjalin kerjasama dengan media elektronik dan media cetak lokal maupun nasional, pelatihan pemandu wisata bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta, pembuatan paket wisata Rambling Trough Kotagede (tlusap-tlusup Kotagede), mengikuti pelatihan-pelatihan lokakarya, seminar dan lain sebagainya.
Dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal Kotagede, Yayasan Kanthil tidak hanya menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat dan berbagai lembaga yang ada di Yogyakarta maupun lembaga-lembaga lain yang berada di Indonesia akan tetapi, Yayasan Kanthil juga menjalin kerjasama dengan pihak luar negeri seperti pemerintahan Belanda, UNESCO, university tecnologi Malaysia, universitas CHIBA, WMF (World Monuments Fund) dan lain sebaginya.
Yayasan Kanthil Dalam Upaya Melestarikan Budaya Lokal Kotagede
Dalam pandangan masyarakat luas, Kotagede sangat terkenal dengan hasil kerajinan perak akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa Kotagede sebenarnya mempunyai banyak potensi. Potensi yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu, pertama potensi kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan (seni kampung), keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi sejarah (situs sejarah).
Dalam upaya melestarikan sejarah dan budaya lokal Kotagede serta memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas dan supaya Kotagede lebih dikenal tidak hanya sebagai daerah penghasil kerajinan perak, namun juga sebagai daerah yang memiliki nilai sejarah yang jelas sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram. Oleh karena itu, Yayasan Kanthil selalu berupaya dan berusaha memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas melalui progam kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Kanthil dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
Kotagede mempunyai kebudayaan yang perlu dan penting untuk terus dipertahankan dan dilestarikan keberadaanya, karena Kotagede merupakan daerah bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang oleh pemerintah kota Yogyakarta telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta. Dalam upaya untuk melestarikan budaya lokal Kotagede dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya lokal Kotagede.
Dalam rangka pelestarian budaya dan pengembangan potensi yang dimiliki oleh Kotagede serta memperkenalkan Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil mengadakan bermacam-macam kegiatan diantaranya adalah:
1. Menumbuhkan dan penguatan kesadaran masyarakat Kotagede terhadap potensi yang dimilikinya.
2. Mengikuti pelatihan-pelatihan lokakarya, seminar dan lain sebagainya baik ditingkat local maupun nasional.
3. Membuat jaringan dengan lembaga-lembaga lain yang mempunyai komitmen yang sama dalam pelestarian.
4. Menjalin kerjasama dengan media elektronik dan media cetak baik lokal, nasional, maupun internasional (Trans TV, SCTV, Jogja TV, RCTI, Radio Netherlands, Koran Lokal, Nasional maupun Internasional/TIME, dll).
5. Bekerjasama dengan kalangan akademi, peneliti, mahasiswa, (Prof Nakamura Universitas CHIBA, Pienke Kal Kurator Tropen Muse Netherlands, Batriee Kaldun-UNESCO Representative, Universitas Teknologi Malaysia, dsb).
6. Kegiatan Seni Budaya (KARNOS Film, Workshop Film Sineas dari Prancis dan Jerman, seniman dan musisi dalam rangka Jak@rta Festival, dsb).
7. Menjadi pembicara simposium atau seminar tingkat lokal, nasional, internaisonal (International Simposium on Asian Heritage di Universitas Teknologi Malaysia, Historic City of Malaca September 2003, pelatiahan ekowisata diselenggarakan oleh kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dsb).
8. Pelatihan pemandu wisata bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta.
9. Pembuatan paket-paket Rambling Throug Kotagede.
Selain program kegiatan di atas masih banyak lagi program kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan sejarah dan budaya, serta mengembangkan dan memperkenalkan potensi yang dimliki oleh Kotagede sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta kepada masyarakat luas. Program kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Kanthil selalu dibuat mengalir dan selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu pelaksanaan kegiatan dengan tanpa menghilangkan bobot kualitasnya, demi terwujudnya pelestarian budaya lokal Kotagede.
Paket wisata Rambling Through Kotagede (tlusap-tlusup Kotagede) merupakan salah satu program andalan dari Yayasan Kanthil untuk memperkenalkan potensi kawasan Kotagede sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas. Paket wisata Rambling Through Kotagede terdiri dari tiga paket pilihan, pertama wisata spiritual, ziarah ke komplek makam Kerajaan selama sekitar tiga jam, yang hanya bisa dilakukan pada hari hari tertentu dengan mengenakan pakaian serta tatacara Jawa. Kedua paket studi arsitektur, menjelajahi bekas-bekas tata kota kuno dan melihat bangunan rumah tradisional Jawa, dan paket wisata yang ketiga adalah paket wisata lorong, menjelajahi isi dan seluk beluk Kotagede menelusuri lorong-lorong sempit di gang-gang perkampungan warga masyarakat Kotagede, yang oleh warga masyarakat lokal Kotagede gang-gang tersebut disebut sebagai gang rukunan. Menurut fungsi sosial gang rukunan merupakan tempat bercampur baur dan bergaul dengan para warga yang lain, di gang sempit tersebut para warga selalu tegur sapa saat bertemu satu sama lain.
Dalam kegiatan Rambling Through Kotagede para wisatawan juga dapat melihat secara lebih dekat kehidupan warga Kotagede yang sebagain penduduknya bekerja sebagai pengrajin perak, kuningan dan tembaga, dalam perjalanan paket wisata Rambling Through Kotagede, para wisataawan juga dapat berkunjung ke bengkel-bengkel tempat kerja para pengrajin perak dan melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan perak. Kegiatan Rambling Through Kotagede sangat disenangi oleh para wisatawan yang datang ke Kotagede karena, dengan adanya wisata tersebut, para wisatawan dapat lebih mengenal Kotagede dan kebudayaanya serta dapat menjumpai suasana baru yang tidak dapat dijumpai ditempat lain selain di Kotagede.
Para pegiat Yayasan Kanthil tidak pernah kehabisan ide, mereka selalu berusaha mencari cara baru yang tepat untuk mempromosikan Kotagede dan memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas dengan tujuan pelestarian budaya. Dan dalam upaya melestarikan budaya lokal Kotagede dan memperkenalkanya kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil kemudian melirik stasiun televisi karena televisi mempunyai daya publisitas yang tinggi.
Pada saat stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan acara reality sow bernuansa mistis, Yayasan Kanthilpun memberikan penawaran yang berbeda kepada stasiun televisi Trans TV untuk menggunakan beberapa lokasi di Kotagede sebagai tempat melakukan uji nyali dalam program acara Dunia Lain yang ditayangkan di Trans TV. Pada tahun 2002 beberapa lokasi di Kotagede menjadi tempat ajang uji nyali dalam program Dunia Lain yang kemudian ditayangkan di Trans TV, tayangan tersebut merupakan salah satu tayangan yang digandrungi oleh banyak orang pada waktu itu. Rumah Kanthil (rumah tua milik keturunan juragan batik), beberapa makam dan kawasan perkampungan di kampung Karangduren menjadi area lokasi uji nyali.
Pada akhir tahun 2002, dalam rangka Festival Kotagede, kemudian digelar sarasehan dengan tema Menembus Cakrawala Keghaiban Kotagede. Serial tindakan tersebut banyak dicerca oleh beberapa kalangan masyarakat Kotagede, karena acara tersebut dianggap memasyarakatkan takhayul, terlebih lagi oleh kalangan Muhammadiyah yang merupakan organisasi mayoritas masyarakat Kotagede. Namun, Muhammad Natsir mewakili Yayasan Kanthil memiliki penjelasan tersendiri. Mereka melakukan kegiatan itu justru demi upaya pelestarian pusaka arsitektur Kotagede. Tema-tema ghaib dari program televisi itu hanya dijadikanya sebagai umpan belaka. Harapanya, dengan melihat begitu besarnya animo penonton program televisi tersebut, secara tidak langsung orang akan mengetahui potensi yang dimiliki oleh Kotagede. Elantow Wijoyono, www.elantowow.wordpres.com.)
Setelah penayangan acara Dunia Lain di Trans TV, tidak sedikit rombongan dari luar kota Yogyakarta yang datang ke Kotagede untuk melihat dari dekat lokasi-lokasi uji nyali tersebut. Kebetulan tempat-tempat yang dipilih berdasarkan rekomendasi dari Yayasan Kanthil sebagai lokasi uji nyali merupakan tempat-tempat yang mengandung potensi sejarah lokal Kotagede, tetapi telah terlupakan, baik bagi warga Kotagede sendiri maupun oleh masyarakat luar Kotagede. Tahun berikutnya Karno's Film memakai beberapa rumah tradisional Jawa khas Kotagede sebagai bagian dari sinetron Gita Cinta dari SMA yang kemudian ditayangkan di stasiun televisi Indosiar.
Pada tahun 2005 Muhammad Natsir dari Yayasan Kanthil mendalangi digelarnya pemecahan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan permainan othok-othok terbanyak, sebanyak 9937 buah othok-othok yang dimainkan secara bersamaan pada malam tahun baru 2005. Ditampilkan pula sebuah othok-othok raksasa yang kemudian diarak keliling kota Yogyakarta dengan menggunakan mobil bak terbuka. Othok-othok adalah sebuah mainan kecil yang dibuat dari bambu yang jika diputar akan berbunyi othok-othok. Mainan tradisional ini sudah semakin sulit ditemui dan mulai dilupakan oleh sebagian besar masyarakat. Dengan diselenggarakan acara tersebut diharapkan mainan othok-othok bisa mulai terangkat kembali sebagai mainan tradisional Jawa.
Gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan telah mengakibatkan hancurnya bangunan-bangunan rumah tradisional Jawa di Kotagede yang memiliki corak dan langgam arsitekturnya dengan estetika yang tinggi dan punya makna filosofi, serta tatanan nilai yang sangat berharga bagi masyarakat yang hidup didalamnya maupun di sekitarnya, hal ini membuat Kotagede masuk kedalam seratus situs budaya yang paling terancam punah di dunia. Peryataan tersebut dikeluarkan oleh World Monuments Fund (WMF) yang berada di Amerika Serikat pada tanggal 7 Juni 2007. (Laretna. T. Adisakti, www.jibis.pnri.go.id)
Pasca gempa bumi berkekuatan 5, 9 skala richter yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan masyarakat Kotagede dan lembaga-lembaga lain seperti UNESCO, WMF (World Monuments Fund), pihak universitas dan swasta serta pemerintah Belanda mengadakan program kegiatan pemulihan Kotagede, karena pada saat terjadi gempa bumi banyak rumah-rumah tradisional seperti rumah Joglo dan rumah Limasan yang merupakan aset budaya Kotagede hancur terguncang oleh gempa bumi. Dalam kegiatan keagamaan Yayasan Kanthil bekerja sama dengan komunitas Kunir Asem yang merupakan komunitas gabungan dari Forum Komunitas Pengajian Anak (FOKOPA), Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), Tim Tadarus AMM, dan PUSDOK (pusat dokumentasi Kotagede), pada setiap malam tanggal satu Muharram (satu Suro), mengadakan kegiatan pengajian dan kesenian Islam, kegiatan pada tanggal satu Muharram tersebut diadakan sebagai upaya mengembalikan makna malam satu Muharram kepada makna yang sebenarnya.
Pada acara Muharraman tahun-tahun sebelumnya, di Kotagede selalu penuh dengan upacara yang menebarkan bau wangi kembang dan kemenyan. Dan tempatnyapun bukan dilaksanakan di Masjid, melainkan kegiatan tersebut diadakan dan dilakukan di makam-makam yang berada di sekitar Kotagede. Mereka mengadakan ziarah ke makam-makam yang dianggap keramat di Kotagede, sehingga suasana Kotagede justru menyeramkan, wingit dan magis. Pada tagal 27 Mei 2007, Yayasan Kanthil mengadakan acara renungan dan doa bersama untuk memperingati satu tahun gempa yang terjadi di Yogyakarta, acara tersebut diselenggarakan di depan pasar Kotagede dan acara tersebut ditujukan untuk umum tidak hanya warga masyarakat Kotagede saja.
Tahun 2008 Yayasan Kanthil bekerja sama dengan pemerintah kota Yogyakarta mengadakan program rehabilitasi pasar Legi Kotagede, dengan tujuan mengembalikan wajah pasar Legi Kotagede ke wajah pasar Legi Kotagede masa lalu, dan juga menata jalan disepanjang jalan Mondorakan tepatnya jalan di depan pasar agar tidak terjadi kemacetan di depan pasar, karena setiap harinya pagi dan sore pasar Kotagede selalu ramai didatangi oleh para pengunjung yang ingin melakukan kegiatan ekonomi di pasar Kotagede.
Setiap kali pasaran Legi, pasar Kotagede menjadi lebih ramai dari pada hari biasanya hal ini dikarenakan pada setiap pasaran legi, dagangan yang ditawarkan oleh para pedagang lebih lengkap dari pada hari biasanya, aneka jenis hewan, aneka jenis tanaman hias, alat persawahan, alat pertukangan, jamu tradisional tersedia lengkap pada saat pasaran legi di pasar Kotagede, hal ini membuat pasar Kotagede terlihat semrawut disebabkan oleh pada saat pasaran Legi jumlah pedagang dan pengunjung di pasar Legi Kotagede lebih banyak dari pada hari biasanya dan hal tersebut tidak dapat dipungkiri membuat para pengunjung merasa tidak nyaman karena, para pengunjung harus berdesak-desakkan ketika ingin membeli sesuatu pada saat pasaran Legi, dan hal tersebut juga membuat jalan di sekitar pasar Kotagede menjadi macet, sehingga para pengguna jalan menjadi terganggu.
Melalui program rehabilitasi pasar Legi Kotagede pada tahun anggaran 2008, pemerintah kota Yogyakarta memberikan dana hibah kepada Yayasan Kanthil Kotagede sebesar Rp 285.000.000,00 guna menata wajah di sepanjang jalan Mondorakan dengan membuat jalur pedestrian dan memoles wajah pasar Legi Kotagede dikembalikan ke wajah pasar Legi Kotagede seperti bangunan pasar pada masa lalu. Selanjutnya Yayasan Kanthil telah mengusulkan kepada Pemerintah Kota atau Kimpraswil Kota untuk menata halaman pasar atau plaza dan jalan didepan jalan pasar Kotagede.
Untuk membangun wajah Kotagede lama, sebagai penanda agar masyarakat Kotagede tidak kehilangan jejak sejarah kotanya Harapanya dengan menata wajah pasar Legi Kotagede tidak hanya sekedar untuk romantisme belaka, namun dengan tujuan memberi manfaat dan makna baru serta kualitas kehidupan di kawasan Kotagede. Untuk dapat tertata lebih baik serta memberi kenyamanan bagi yang memandang dan mengunjunginya, menambah pendapatan ekonomi para pedagang serta dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Yayasan Kanthil juga berharap supaya Pasar Legi Kotagede tidak hanya menjadi kawasan beraktivitas ekonomi saja namun juga bisa menjadi sarana tempat rekreasi, menimba ilmu dan aktivitas seni budaya bagi masyarakat Kotagede khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya.Sehingga kedepan akan lebih banyak lagi orang yang berkunjung ke Kotagede, untuk membelanjakan Rupiah, Dolar, Zen dan Uero pada para pengrajin perak, penjual jajanan pasar, bakul pecel, dan sebagianya. Kotagede kembali bangkit, adil, dan makmur loh jinawi. Karena pasar tradisional seperti pasar Legi Kotagede sekarang sudah sangat terancam keberadaanya oleh bermunculanya super market yang sudah menyerang dari segala penjuru sudut Kotagede. Kalau tidak dijaga pasar tradisional akan kehilangan gaungnya.
Motif dan Kontribusi Yayasan Kanthil Bagi Kotagede
Kata motif dan motivasi, keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama. Motif merupakan asal kata dari motivasi, sedangkan kata motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Dorongan atau daya penggerak tersebut berasal dari dalam diri individu, dan dorongan tersebut yang menyebabkan seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu sesuai keinginan masing-masing dari setiap individu untuk mencapai tujuan tertentu. Max Ceimon dan Messick (1976) menyatakan bahwa seseorang dinyatakan memiliki motif sosial, jika ia di dalam mengambil keputusan memperhitungkan akibatnya bagi orang lain. (Abu Ahmadi, 2002: 192).
Sebagai salah satu tempat tujuan pariwisata di Yogyakarta, Kotagede merupakan suatu tempat yang menarik untuk dikunjungi karena, di Kotagede terdapat situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang menyimpan nilai sejarah dan budaya yang oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), komplek Masjid Besar Mataram telah ditetetapkan sebagai kawasan benda cagar budaya (BCB) dan dilindungi oleh undang-undang nomor 5 tahun 1992 selain itu, Kotagede juga merupakan suatu daerah penghasil kerajinan perak yang mempunyai nilai seni yang tinggi.
Disepanjang jalan utama daerah Kotagede banyak terdapat toko-toko kerajinan perak yang menawarkan aneka macam hasil kerajinan perak seperti aneka macam souvenir, perhiasan dan berbagai macam miniatur transportasi dan lain sebagainya. Toko-toko perak yang terdapat di sepanjang jalan utama Kotagede diantaranya adalah Mila Silver, Yolanda Silver, HS Silver, Narti Silver, MD Silver dan masih banyak lagi toko-toko kereajinan perak yang tersebar di kawasan Kotagede yang menawarkan aneka macam kerajinan perak dan hal ini menarik para wisatawan untuk berkunjung dan berwisata ke Kotagede
Kotagede adalah merupakan sebuah daerah yang mempunyai jejak sejarah yang jelas dan penting sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Kotagede mempunyai banyak potensi budaya yang perlu untuk terus dikembangkan dan dilestarikan, agar masyarakat Kotagede khususnya dan masyarakat luas pada umumnya tidak kehilangan jejak sejarah dan kebudayaan peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam.
Potensi yang dimiliki oleh Kotagede antara lain adalah, potensi kerajinan, potensi pengolahan makanan tradisional, potensi seni pertunjukan (seni kampung), potensi gerakan sosial masyarakat dan potensi sejarah (situs sejarah). Potensi tersebut terdapat di dalam lima daerah yakni, kampung Basen sebagai basis potensi kerajinan, kampung Prenggan sebagai basis potensi pengolahan makanan tradisional, kampung Bumen sebagai basis seni pertunjukan (seni kampung), kampung Selokraman sebagai basis potensi gerakan sosial masyarakat dan kampung Dondongan sebagai basis potensi sejarah.
Melestarikan juga mengembangkan makna-makna dan nilai-nilai yang ada disesuaikan dengan perkembangan waktu. Dalam upaya melestarikan budaya serta mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram, dan dalam upaya mempromosikan serta memperkenalkan potensi yang dimilki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam melestarikan, mengembangkan dan membangun Kotagede. Dengan adanya kerjasama yang terjalin dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan yayasan Kanthil dalam melestarikan dan mengembangkan potensi budaya yang dimiliki oleh Kotagede, Yayasan Kanthil mempunyai harapan dan tujuan semua yang telah dilakukan dapat membuahkan hasil sesuai dengan motif sosial dari Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya lokal Kotagede yakni, pelestarian budaya yang ditujukan untuk kepentingan bersama dan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga masyarakat Kotagede.
Pelestarian bagi para pegiat Yayasan Kanthil lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan Kota gede.Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik berdasarkan pada kekuatan aset lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan etimasi ekonomi. Dalam proses pelestarian atau konservasi, Yayasan Kanthil tidak hanya
melestarikan dan mengembangkan peninggalan-peninggalan budaya yang berbentuk fisik seperti bangunan bekas Kerajaan Mataram dan bangunan rumah-rumah tradisional Jawa, akantetapi Yayasan Kanthil juga melestarikan dan mengembangkan budaya dalam wujud non-fisik diantaranya adalah tata nilai, kearifan-kearifan yang dimiliki masyarakat lokalKotagede, kesenian tradisional, kerajinan perak, tembaga dan kuningan yang kesemuanya itu perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan sebagai alternatif peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal Kotagede dalam semua aspek kehidupan.
Program kegiatan Yayasan Kanthil dalam upaya mempromosikan dannmemperkenalkan Kotagede kepada masyarakat luas, sebagai upaya untuk melestarikan budaya lokal Kotagede sedikit banyak telah membawa perubahan bagi Kotagede sekarang ini. Dengan kerjasama yang dilakukan oleh Yayasan Kanthil dengan berbagai pihak serta dengan adanya promosi yang dilakukan oleh Yayasan Kanthil untuk memperkenalkan potensi yang dimiliki Kotagede kepada masyarakat luas, melalui media cetak maupun media elektronik, telah membuat Kotagede menjadi lebih dikenal dan diminati oleh masyarakat luas sebagai tempat tujuan alternatif untuk berwisata. Dalam proses memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas guna melestarikan budaya lokal Kotagede, Yayasan Kanthil tidak pernah kehabisan ide, ini bisa dilihat ketika Yayasan Kanthil dengan cukup jeli melirik televisi yang mempunyai daya publisitas yang tinggi.
Selain program liputan budaya dan sejarah yang telah banyak dilakukan oleh beberapa stasiun televisi sejak awal tahun 2000-an, Yayasan Kanthil sudah beberapa kali menjalin kerjasama dengan berbagai pihak stasiun televisi lokal maupun nasional dan beberapa rumah produksi iklan dan film. Pada tahun 2002 ketika banyak orang kegandrungan acara reality show yang bernuansa mistis yaitu uji nyali di tempat-tempat yang dianggap angker dan seram, Yayasan Kanthilpun dengan cukup jeli, juga memanfaatkan situasi tersebut dengan memberi penawaran yang berbeda. Beberapa lokasi di Kotagede menjadi lokasi ajang uji nyali dalam program Dunia Lain yang kemudian ditayangkan di stasiun televisi Trans TV. Tahun berikutnya atas rekomendasi Yayasan Kanthil pula, Karno's Film memakai beberapa rumah tradisional di Kotagede sebagai lokasi shuting film berjudul Gita Cinta Dari SMA, yang ditayangkan di stasiun televisi Indosiar.
Tahun 2008 Kotagede kembali menjadi lokasi shuting iklan sebuah produk kecantikan dan iklan salah satu merk kartu seluler, yang semuanya menggunakan lokasi di Kotagede yang mempunyai nilai potensi sejarah dan budaya lokal Kotagede. Dengan penawaran Yayasan Kanthil kepada berbagai stasiun televisi dan beberapa rumah produksi iklan dan film, untuk menggunakan beberapa lokasi di Kotagede sebagai lokasi shuting, diharapkan akan semakin banyak lagi wisatawan yang tertarik untuk berkunjung ke Kotagede, setelah mereka menyaksikan Kotagede melalui layar kaca televisi. Setelah penayangan program liputan sejarah dan budaya Kotagede, serta penayangan acara Dunia Lain, sinetron dan iklan di televisi yang mengunakan beberapa lokasi di Kotagede yang mengandung nilai potensi sejarah dan budaya lokal Kotagede sebagai lokasi shuting, banyak warga masyarakat dari luar kota Yogyakarta yang berkunjung ke Kotagede dan melihat secara langsung tempat-tempat yang dijadikan sebagai lokasi shuting yang kebetulan tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang mengandung potensi nilai sejarah dan budaya lokal Kotagede yang telah terlupakan oleh sebagian masyarakat Kotagede sendiri maupun oleh masyarakat luar Kotagede.
Kesimpulan
Upaya pelestarian budaya dapat pula dijadikan sebagai cara alternatif bagi peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat berdasarkan pada kekuatan aset lama yang sudah ada pada suatu daearah, kemudian diadakan program kegiatan yang kreatif, menarik dan berkelanjutan serta terus merencanakan program partisipasi dengan tetap memperhitungkan estimasi ekonomi. Melestarikan kaitanya dengan budaya dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan, menjaga dan mengembangkan budaya yang terdapat dalam suatu daearah, serta memberi pemaknaan baru terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan perkembangan waktu sehingga dapat dimanfatkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Yayasan Kanthil, Karso Anteping Tekat Hangudi Ilmu Luhur, dalam
bahasa Indonesia artinya adalah niat disertai tekad yang mantap untuk mengunduh ilmu yang luhur.
Yayasan Kanthil bergerak dalam bidang pengembangan seni, budaya dan pariwisata Kotagede didirikan oleh sekelompok warga asli Kotagede pada tanggal 31 Desember 1999. Yayasan Kanthil berdiri sebagai tindak lanjut dari motif sosial sekelompok pemuda asli Kotagede yang memiliki rasa cinta serta kepeduliankhusus terhadap daerah tempat tinggalnya yakni Kotagede sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang terdapat di Yogyakarta dan memiliki banyak potensi, untuk secara lebih serius melestarikan dan mengembangkan potensi budaya lokal Kotagede melalui pendekatan serta pengembangan yang bijak dalam arti aspek-aspek penting yaitu pelestarian, pelibatan masyarakat, pendidikan dan ekonomi dapat tercukupi.
Potensi yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok pertama potensi kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan, keempat potensi gerakan sosial masyarakat dan yang kelima adalah potensi sejarah. Dalam upaya melestarikan, memgembangkan serta memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya lokal Kotagede, dan mengadakan berbagai macam kegiatan, diantaranya Rambling Trough Kotagede (tlusap-tlusup Kotagede), festival Kotagede, jelajah religi, Hunting Architectur, dan kegiatan lain sebagainya yang dibuat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu pelaksanaan kegiatan. Sebagai lembaga pengembang seni, budaya dan pariwisata Kotagede, Yayasan Kanthil berkomitmen untuk secara aktif, dinamis dan berkelanjutan melestarikan semua peninggalan budaya yang terdapat di Kotagede baik peninggalan-peninggalan dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk non-fisik.
Daftar Pustaka
Adisakti, Laretna. T. “Revitalisasi Bukan Sekedar Beautification”, dalam www.urdi.org, diakses tanggal 12 September 2008.
Ahmad, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Ari, Bowo. “History of Kotagede”, dalam www.masbowojoyopranan. blogspot.com, diakses tanggal 22 November 2008.
Darban, Adaby. Kebudayaan Sebagai Media Dakwah, dalam Brosur Lebaran, No.42, 2004.
Fakih, Mansoer. Mayarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004.
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: Revika Aditama, 2004. “Laporan Cagar Budaya” dalam www.ftsp1.uiiac.id, diakses tanggal 29 Agustus 2008.
Ihroni. T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Isnawan, Bambang. “Partisipasi dan Dimensi Kaswadayaan: Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat”, dalam www.ekonomi.rakyat.org, diakses tanggal 27 Agustus 2008.
“Kunir Asam Mengembalikan Makna Satu Suro”, dalamwww.indomedia.com, diakses tanggal 12 September 2008
Kuntowijoyo. Budaya Dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Marsianto, Herry. Kotagede A Living Moseum: Kerajinan. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2003.
Martaniyah, Sri Mulyani. Motif Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Mook, Van. Kuta Gede. Jakarta: Bhratara, 1972.
Mustofa, Lia. “Rambling Thrugh Kotagede (Tlusap-tlusup Kotagede)”, dalamwww.content.hig.com, diakses tanggal 12 September 2008.
Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang pergerakan Muhamadiyah di Kotagede, Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Nana, Syaodih. Sikap Belajar Siswa Aktif dan Motivasi Dari Guru Dengan Pestasi Belajar. Bandung: Alfabeta, 1980.
Natsir, Muhamad. Kotagede yang Semakin Dilirik. Dalam brosur Lebaran No.43Yogyakarta, 2004.
---------------------. Menata Wajah Pasar Legi Kotagede. Dalam Brosur Lebaran No. 47 Yogyakarta, 2008.
Nurmiana. Upaya Melestarikan Rumah Joglo Di Kotagede. Dalam www.kedaulatanrakyatonline.com.
Noto, Widagdo. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Primantoro. “Kotagede Masuk 100 Situs Budaya Paling Terancam di Dunia”, dalam www. primantoro.web.id.diakses tanggal 10 Agustus 2008.
“Profil Kanthil”, dalam, www.geocities.com, diakses tanggal 27 November 2008.
Sa’dah, Nurus. Bahan Ajar: Matakuliah Ilmu Manajemen. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Wali Press, 1998.
Soehada, Moh. Pengantar Metodelogi Penelitian Sosial Kualitatif, dalam Buku Daras, 2004.
Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Masyarakat. Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982.
-----------------------. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.
Sugarman, Yayuk. Menyelamatkan Rumah Joglo yang Kian Langk. Dalam www.sinarharapan.co.id.
Sugiarto. “JBK Himpun Dana Selamatkan cagar Budaya”. Dalam www.suaramerdeka.com, diakses tanggal 12 September 2008.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Syarief, Syafrilsyah. Rekaawan Kemanusiaan Masyarakat Aceh Pasca Stunami (Analisa Perikalu Prososial Pasca Srunami di Banda Aceh). www..ppiukm.org/arsip/sc_conf/abstrak/Safrilsyah.pdf, diakses Tanggal 28 September 2008.
Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa. Kotagede dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa, 1997.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta: fakultas UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Uno, Hamzah. B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukuranya. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Untoro, Ons. “Identitas Lokal Dalam Wisata Budaya”, dalam www.cetak.kompas.com.diakses tanggal 8 April 2008.
Usmara, A. Motivasi Kerja: Proses Teori dan Praktik. Yogyakarta: Amara Books, 2006.
Wijoyono, Elantow. Langkah Kanthil Melestarikan Kotagede, dalam www.elontowow.wordpres.com diakses tanggal 22 November 2008.
“Wisata Alternatif”, dalam www.sendaljepit.wordpres.com, diakses tanggal 1 September 2008.
PERILAKU BERAGAMA KALANGAN PENGEMIS MUSLIM
DI DUSUN WANTEYAN GRABAG MAGELANG
Faishal Hanif
Alumni Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ABSTRAK
Penelitian ini mengeksplorasi tentang masyarakat di Dusun Wanteyan Desa Lebak Grabag Magelang, khususnnya dalam hal kegiatan mengemis. Studi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa mengemis bukan lagi merupakan solusi instan bagi permasalahan perekonomian mereka, melainkan telah menjadi pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kajian penelitian ini berupaya menjawab dua persoalan utama, yakni faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh menjadi pengemis terhadap perilaku beragamanya. Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang Dusun Wanteyan menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan melalui anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa kegiatan mengemis berpengaruh terhadap perilaku beragamanya. Hal tersebut terjadi akibat lemahnya pengetahuan keaagaman mereka serta minimnya kesadaran terhadap penghayatan keaagamaannya, sehingga apa yang mereka lakukan hanya berdasarkan kemauannya sendiri tanpa melihat norma sosial maupun norma agama yang mereka yakini. Sebagai catatan akhir, studi ini menyimpulkan bahwa mengemis yang dilakukan warga dusun wanteyan masih dipertahankan oleh beberapa pihak, yakni keluarga dan masyarakat.
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi problem nasional pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya masih rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi-dimensional pada tahun 1998 sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan maupun di daerah pedesaan. Daerah pedesaan salah satunya, daerah pedesaan yang diharapkan sebagai daerah yang produktif dan juga sebagai sentra pertanian dengan hasil bumi yang sangat melimpah, namun sampai sekarang masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial masih terjadi dan ini merupakan salah satu masalah yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui arti yang sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin juga jelas yaitu ; gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya (Banawirartama & Muller, 1993: 124). Dalam perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan. Diantaranya, seperti lamban dalam bekerja keras, tidak memiliki keahlian, keterbatasan finansial dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tatanan makro, kemiskinan yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada, itu ditandai dengan adanya keterbatasan peluang dan kesempatan untuk bekerj, (Bagong Suyanto, 1996:2).
Masalah kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, kemiskinan menjadi suatu problema sosial, karena persoalan ini mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia dan juga tidak menutup kemungkinan terjadi tindakan yang bertolak belakang terhadap perilaku keagamaan seseorang, (Yusuf Qardhawi, 1996 : 13) Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki sikap yang berlainan terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “ bahwa ada beberapa sikap terhadap kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme. Yusuf Qardhawi,1996).
Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. (Zakiah Derajat, 19885: 6). Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji. (Murtadlo Muthahari, 1984: 15)
Dusun Wanteyan yang terletak di daerah perbukitan dan berada dikaki gunung Merbabu, tepatnya disebelah utara kota Magelang. Desa ini merupakan salah satu desa dengan lahan pertanian yang tergolong subur dengan hasil bumi yang melimpah. Dusun Wanteyan yang dulunya hanya terdapat berberapa rumah dengan bangunan sederhana, sekarang telah banyak berdiri rumah warga dengan berbagai bentuk. Dari yang sangat sederhana hingga yang berbentuk modern, bahkan saat ini banyak rumah yang berlantai berkeramik. Tetapi dibalik itu masih banyak juga rumah warga yang belum memenuhi standar, yaitu hanya dengan bangunan yang sangat sederhana dan tanpa dilengkapi sanitasi yang baik.
Di tengah – tengah pemukiman warga dusun Wanteyan terdapat sebuah masjid yang berdiri sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Masjid yang dibangun oleh orang tua atau leluhur desa tersebut merupakan salah satu tempat untuk ibadah bagi warga setempat. Masjid tersebut digunakan tidak hanya sebagai tempat beribadah, namun juga digunakan sebagai sentra kegiatan keagamaan yang lainnya. Berdirinya Masjid ini menunjukkan sebuah identitas bahwa manusia dalam berhubungan dengan Ilahi ( vertical ) lewat sarana masjid ini. Masjid selain menjadi tempat ritual komunikasi manusia dengan Tuhannya dan juga berfungsi sebagai hubungan antar sesama manusia.
Salah satu akibat dari faktor kemiskinan yang menimpa pada masyarakat di dusun Wanteyan, menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi maupun sosial. Sehingga akhirnya muncul tindakan yang tidak sewajarnya atau menyimpang dari norma – norma yang ada. Salah satu fenomena yang terjadi yaitu dengan munculnya pengemis dari dusun Wanteyan. Mereka mengais rejeki di kota - kota besar dengan cara meminta - minta.
Fenomena munculnya pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya alam yang kurang menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab dua rumusan masalah sebagai berikut:
1. Faktor–faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat Dusun Wanteyan hidup menjadi pengemis ?
2. Bagaimana pengaruh profesi menjadi pengemis terhadap perilaku keberagamaannya ?
Tinjauan tentang Kemiskinan
Secara etimologis kata kemiskinan diambil dari akar kata miskin yang berarti tidak berharta, kekurangan dalam hidup yaitu dengan penghasilan yang rendah. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1991: 587 Istilah kemiskinan biasa digunakan untuk menunjukkan dimana kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi dan pendapatan yang sangat rendah. Begitu pula orang yang dianggap miskin biasa identik dengan gelandangan, pengemis, buruh harian, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Namun tidak sesederhana itu dimana kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi mulai dari yang bersifat material sampai segi rohaniah, sehingga sulit untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan.
Ajaran Islam mengajarkan masalah hidup didunia ini secara realistik sesuai dengan fitrah manusia. Manusia hidup didunia ini memerlukan makanan, sandang, dan tempat tinggal yang wajar, karena ini merupakan keperluan hidup yang paling pokok. Rasulullah telah menegaskan bahwa manusia memiliki tiga hal, yakni rumah atau kediaman yang layak bagi dirinya dan keluarganya, makanan yang memenuhi syarat pokok dalam kualitas dan kuantitas, serta air bersih yang dapat mencegah dahaga dan menyehatkan tubuh dan lingkungannya, (Nabil Subhi At-Thawil, 1993: 36).
Namun sangat disayangkan apabila disalah satu fihak, bahwa ajaran-ajaran Islam yang telah memberi motivasi yang kuat dalam perkembangan ekonomi melalui pemeluk–pemeluknya, sedangkan dilain fihak dengan pemahaman agama yang sempit oleh para penganutnya, justru menjadikan penghambat kemajuan dengan mengecilkan orientasi kepada nilai-nilai melihat kedepan dan pengejaran keberhasilan dunia. Akibatnya bisa dilihat banyak umat Islam yang hidup dalam taraf miskin, menjadi peminta-minta, gelandangan dan label-label kemiskinan yang lainnya.
Dilihat dari luasnya ruang lingkup dan dimensi kemiskinan, maka tiap-tiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki pandangan yang berbeda tentang kemiskinan. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, kemiskinan dianggap sebagai masalah dengan beberapa alasan, diantaranya yaitu : kemiskinan merupakan rendahnya permintaan agregat, kemiskinan terkait dengan rasio capital atau tenaga kerja yang rendah sehingga mengakibatkan produktivitas tenaga kerja yang tidak maksimal dan kemiskinan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya terutama SDM dalam hal ini tenaga kerja yang tidak produktif.
Sedangkan ditinjau dari sudut sosial, kemiskinan merupakan satu ciri lemahnya potensi suatu masyarakat untuk berkembang. Disamping itu kemiskinan berhubungan dengan aspirasi yang sempit dan pendeknya horizon dengan
wawasan kedepan suatu masyarakat. Adapun disiplin politik mengkaji masalah kemiskinan, ketergantungan dan eksploitasi suatu kelompok masyarakat adalah tidak adil dan bahaya jika nasib masa depan mereka ditentukan oleh kelompok masyarakat yang lain. Kemiskinan yang menimpa pada sekelompok masyarakat tertentu, sehingga akan menimbulkan suatu kesenjangan yang lebih parah daripada kemiskinan itu sendiri, (Felik Sitorus, 1996: 46).
Menurut Ellis G.P.R., bahwa dimensi – dimensi yang terkait dengan kemiskinan ada tiga macam yaitu :
- Kemiskinan berdimensi Ekonomi atau Material. Dimensi ini menjadi kebutuhan dasar manusia yang bersifat material. Seperti sandang, papan, pangan, dan kesehatan.
- Kemiskinan berdimensi Sosial Budaya Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk kantong- kantong kebudayaan yang disebut “Budaya Kemiskinan“ demi kelangsungan hidup mereka.
- Kemiskinan berdimensi Struktural atau Politik Yaitu orang yang mengalami kemiskinan structural atau poltik, kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, (Amin Rais 1995: 31-32)
Tinjauan tentang Pengemis
Secara bahasa kata pengemis sebenarnya tidak ada kata bakunya. Pengemis merupakan arti dari seseorang yang mencari uang dengan cara meminta-minta kepada orang lain. Pengemis juga diidentikkan sebagai golongan miskin yang tidak berharta, kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Begitu pula yang dianggap seseorang miskin, yaitu identik dengan dengan gelandangan pengemis dan lain sebagainya. Namun kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi. Mulai yang bersifat material sampai segi rohaniah, sehingga tidak mudah untuk menemukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan dari sosok pengemis tersebut.
Menurut Departemen Sosial R.I, “ Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang. (Dikutip dari website. http.www.depsos.go.id 15 November 2002. diakses 22 Januar 2009). Semantara menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk. diberikan tiga gambaran umum pengemis dan gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk, pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain, dengan cara seperti itu mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dibandingkan dengan seorang gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap maka kalau pengemis tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Tinjauan tentang Perilaku Beragama
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995: 755). Keberagamaan merupakan suatu padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “Religiosity, (Jalaluddin Rahmat, 1985: 92). Dalam menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keberagamaan, diperlukan kehati-hatian dalam membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok atau pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dari tingkah laku mereka dalam masyarakat. (Pius Artanto dan Dahlan Al-Barry, 1994: 472)
Manakala kita mengatakan bahwa seseorang itu beragama maka sebutan tersebut dapat bermakna banyak. Keyakinan-keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, kehadiran dalam upacara peribadatan pandangan dan banyak lagi tindakan-tindakan lain. Kondisi-kondisi semua itu dapat menunjukkan kepada suatu ketaatan dan komitmen terhadap agama. Dengan refleksi diatas maka jelaslah aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah beragama dapat saja berarti aspek - aspek gejala yang sama walau tak sepenuhnya sinonim, (Elizaabeth K Nottingham, 1997: 32).
Perilaku keberagamaan adalah proses tingkah laku seseorang yang didasari dengan ajaran-ajaran agama tertentu yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. Dalam penelitian ini obyek kajian adalah masyarakat yang beragama Islam. Sehingga ajaran-ajaran Islam merupakan motivator terhadap kehidupan sehari-hari. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan kecil bahwa masyarakat miskin khususnya pengemis di Dusun Wanteyan meyakini ajaran-ajaran agama Islam sebagai pedoman hidup, namun perilaku-perilaku yang nampak dalam kehidupan sehari-hari ada persoalan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama.
Seorang ahli sosiologi kontemporer Amerika yang bernama Yinger, mendefinisikan agama melalui pendekatan fungsional yaitu agama merupakan system kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka untuk mengatasi masalah – masalah tertinggi manusia. Agama merupakan keenganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustasi dan untu menumbuhkan rasa permusuhan tehadap penghancuran ikatan-ikatan kemanusiaan, (Hendro Puspito, 1984: 35). Jadi menurut teori fungsional agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika kecewa, mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsure-unsur identitas. Agama juga bertindak untuk menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, menyediakan saran untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Selain itu agama juga dapat melakukan peran risalah dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan bahkan pengaruh suversif yang mendalangi masyarakat tersebut.
Tuntunan perilaku beragama dalam ajaran Islam adalah suatu perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi transedental dan spiritual, serta dimensi sosial yang berpangkal pada etika dan moral agama. Tuntunan dan patokan tersebut telah terkandung dalam kitab suci, tauladan Nabi dan pengikutnya, (Huston Smith, 2001:275) Sebagai seorang muslim menyadari bahwa Islam mengajar, menuntun manusia ke jalan yang lurus. Selain itu Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan gabungan antara perilaku moral dan etika dalam kehidupan masa kini dengan kehidupan kelak diakhirat. Disisi lain ajaran Islam juga menyamakan perilaku moral pribadi dalam hubungannya dengan Allah SWT, sehingga praktek agama yang berasal dari perilaku amoral tidak akan diterima. (Abdul Rahman dan Abdul Kadir Kurdi, 2000: 68-69).
Teori yang berkaitan dengan masalah perilaku masyarakat dusun Wanteyan adalah teori paradigma perilaku sosial. Menurut B.F Skinner bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit-realistik adalah perilaku yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Paradigma tersebut pusat perhatiannya pada proses interaksi. Sedangkan paradigma behavioral sociology dan teori exchange. Pandangan teori behavioral sociology dengan jelas menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa datang. Menariknya lagi, yaitu ada hubungan historis antara akibat yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. (George Ritzer, 2004: 70-73).
Sedangkan pandangan teori “sosial - exchange” yang dikemukakan oleh James W Vander Zanden bahwa suatu keputusan atau kekecewaan yang terjadi dalam kehidupan manusia bersumber pada perilaku pihak lain. Dalam hal ini perilaku dari pihak lain tersebut juga ditimbulkan oleh dorongan dari perilaku diri sendiri. (Soerjono Soekanto, 1985: 46-49).
Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti memiliki macam-macam bentuk dan karakter yang berbeda. Untuk mempermudah memahami permasalahan tersebut ada bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang dapat ditetapkan berbagai cara, antara lain :
1. 1. Perilaku yang berorientasi pada tujuan. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya harapan-harapan yang rasional atau menentukan suatu tujuan pribadi seseorang. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari ketergantungan manusia terhadap suatu kondisi untuk mencapai target yang diinginkan.
2. Perilaku yang berorientasi pada nilai, yaitu perilaku yang berusaha untuk mewujudkan hal-hal yang telah diyakininya tanpa menanggung resiko. Misalnya, masalah-masalah yang berhubungan dengan kewajiban yang harus dikerjakan demi kehormatan, kepercayaan, keindahan dan lain sebagainya. Maka perilaku ini dapat dianggap sebagai tingkah laku yang berdasarkan nilai.
3. Perilaku yang bersifat emosional atau afektif. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya hasil dan konfigurasi perasaan pribadi. Apabila perilaku ini lepas secara rasional dari ketegangan-ketegangan emosional, maka kemungkinan gejala-gejala itu akan menuju pada perilaku yang berkaitan dengan nilai dan tujuan. Dasar-dasar perilaku afektif berakar dari tuntutan sementara terhadap dorongan tertentu, dengan tujuan untuk membalas dendam, bersikap pasrah dan menyalurkan ketegangan.
4. Perilaku yang bersifat tradisional. Yaitu suatu reaksi yang memberikan dorongan-dorongan untuk mengarahkan perilaku secara rutin. Permasalahan obyek tugas-tugas rutin tersebut mencakup kegiatan manusia setiap hari. Perilaku ini bisa dikaitkan dengan nilai apabila manusia mengalami kesadaran diri dalam tingkah lakunya.
Masyarakat dalam hal ini pasti suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bagi masyarakat memiliki pengaruh yang terbatas ataupun meluas, lambat atau cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mencakup nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Sebab interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial.
Gillin dan Gillin dalam bukunya cultural sociology mengemukakan hubungan - hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang dengan orang, antar kelompok-kelompok manusia. Sehingga interaksi sosial inilah yang mempengaruhi dan menimbulkan perubahan sosial di masyarakat. ( Soerjono Soekanto, 2002).
Kaitannya dengan agama Islam pada dasarnya hal itu merupakan bagian pranata sosial yang tercermin dalam tindakan serta perbuatan sehari-hari. Tindakan dan perbuatan tersebut sedikit banyak telah dipengaruhi oleh kondisi sosial pada umatnya. Oleh karena itu agama sebagai pendorong, penggerak maupun pengontrol perilaku individu sangat dipengaruhi oleh system nilai yang ada dalam masyarakatnya. Dengan demikian perilaku keagamaan seseorang maupun individu sangat dipegaruhi oleh lemah ataupun kuatnya nilai agama serta system sosial budaya dalam masyarakatnya.
Menurut R. Stark dan C.Y Glock keberagamaan adalah ketaatan dan komitmen terhadap agama yang meliputi beberapa unsur diantarnya yaitu keanggotaan gereja, keyakinan kepada doktrin-doktrin agama yang dianut, etika hidup kehadiran dalam acara peribadatan dan pandangan-pandangan serta lain lagi yang menunjukkan ketaatan terhadap agama. Diantara yang mendasari pengertian keagamaan menyangkut beberapa dimensi, diantaranya sebagai berikut :
1. Dimensi keyakinan agama (ideologis)
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana seseorang yang religius berpegang teguh teehadap pendirian teologisnya, mengakui kebenarannya atas doktrin tersebut. Salah satu perkara yang paling penting dalam keberagamaan seseorang adalah keyakinan agama yang bersifat dogmatis. Di dalam islam keyakinan yang dimaksud adalah rukun iman.
2. Dimensi praktek agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasi tersebut mengarah kepada pengalaman ibadah khusus, sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibdahnya, seperti sholat, puasa, zakat. Praktek-praktek agama ini terdiri atas
a. Ritual; mengacu pada seperangkat ritus: seperti tindakan keagamaan secara formal dan praktek-praktek suci yang mengharapkan pemeluknya melaksankan ibadah sholat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu;
b. Ketaatan apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik. Semua agama yang dikenal juga mempunyai tindakan persembahan yang kontemplasi personal yang relative spontan, informal dan hak pribadi. Pengertian ini diarahkan kepada amal-amal sunnah seperti sholat sunnah dan membaca Al – Qur’an.
3. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa oerang-orang yang beagama paling tidak memilki minimal ilmu pengetahuan mengenai dasar-dasar ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, .dimensi ini menggambarjkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya yaitu sejauh mana aktifitasnya dalam manambah pengetahuan agamanya. Seperti apakah aktifitas keagamaannya diantaranya yaitu dengan membaca Al-Qur’an, megikuti pengajian serta dengan membaca buku-buku yang islami
4. Dimensi penghayatan Agama
Dimensi ini memfokuskan pada penghayatan tentang pengalaman keberagamaan seseorang, baik dari pengalaman yang diperolehnya lewat lingkungan sekitar maupun dari luar lingkungannya. Penghayatan keagamaan yang mereka dapatkan kemudian diterapkan pada kehidupan sehari-hari, apakah pengalaman keagamaannya tersebut dapat mempengaruhi proses peningkatan penghayatan keagamaannya.
5. Dimensi pengalaman agama (konsekuensial)
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan orang dari hari ke hari. Dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agama yang dianutnya
Sosialisasi Nilai dalam Keluarga
Banyak ilmuwan sosial menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga yang paling penting dan pertama dalam mensosialisasikan suatu nilai terhadap kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai tentang kepengemisan di Dusun Wanteyan Desa Lebak Kecamatan Grabag, Magelang. Pertama, nilai tersebut disosialisasikan melalui kehidupan keluarga. Seperti dituturkan oleh informan Masdi bukan nama sebenarnya (Wawancara, Tanggal 20 Desember 2008) yang menyatakan bahwa mencari rezeki dengan jalan mengemis bagi sebagian masyarakat Wanteyan tidak dianggap sebagai sesuatu yang hina. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Painem, “Bagi kami pekerjaan mengemis bukanlah hina, karena ini juga jalan yang halal. Apalagi kami sadar bahwa mencari pekerjaan sekarang ini sangat sulit sehingga untuk menghidupi keluarganya mereka bekerja menjadi pengemis, (Hasil wawancara dengan Ibu Painem pada tanggal 2 januari 2009)
Karena itu pemahaman mengenai cara mencari nafkah dengan jalan mengemis pun sudah tertanam lama dari satu generasi ke generasi. Para sesepuh atau orang tua mereka memberikan indoktrinasi bahwa pilihan pekerjaan untuk bertahan hidup yang bisa mereka lakukan adalah mengemis, maka wajar bila dalam satu keluarga tertanam jiwa atau mental mengemis. Sosialisasi mengenai hal ini terus berlangsung dan tak pernah ada yang mempersoalkan.
Salah satu fenomena lain yang menarik adalah realitas di Dusun Wanteyan dengan penduduk 50 KK, di mana hampir semua penduduknya bermata pencaharian petani. Akan tetapi di saat krisis ekonomi melanda ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok, banyak orang yang tidak bisa bertahan. Alhasil, mereka yang semula bertani ini pindah profesi sebagai pengemis dan pengalaman ini kemudian menjadi pekerjaan, karena penghasilannya lebih banyak dari berdagang. “Dengan mengemis mereka justru mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan uang itu masih tersisa untuk kebutuhan yang lainnya,” ujar salah seorang informan. Dari 50 Kepala Keluarga yang ada di kampung Wanteyan ini, sekarang tinggal 30 persen yang masih menekuni profesi sebagai pedagang, dan selebihnya (70 persen) beralih profesi sebagai pengemis.
Profesi mengemis bagi masyarakat Wanteyan bukan menjadi pekerjaan sampingan, akan tetapi sebagian sudah menjadi pekerjaan pokok. Ketika membelanjakan hasil mengemis, selain untuk makan, dibelikan juga perabotan dan ada juga yang dibelikan hewan ternak yaitu sapi atau kambing. Ada yang dipelihara sendiri dan ada juga yang dipeliharakan pada orang lain atau (Gadoh) dengan sistem bagi hasil (paroan) atau langsung dijual untuk dibelikan tanah. Bahkan tidak sedikit masyarakat Wanteyan yang mengalokasikan uangnya untuk membiayai anak sekolah.
Sejak kecil anggota keluarga terlibat dalam mencari dan mengelola uang dengan cara mengemis, sehingga mengemis telah tertanam dalam diri setiap anggota keluarga, dan pekerjaan mengemis itu tidak saja halal tetapi juga mulia, bagi sebagian masyarakat berpendapat seperti itu. Dengan cara tersebut mereka sudah turut memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk dalam membangun rumah, serta menyekolahkan anak. Jadi di dalam keluarga di Desa Lebak khususnya Dusun Wanteyan sosialisasi nilai mengenai mengemis ini sudah berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama bertahun-tahun.
Saat ini banyak pengemis yang mencari ide bagaimana terus memperbaiki modus dan melakukan perubahan inovasi di dalam mengemis agar mampu menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Namun yang terjadi di kalangan pengemis di dusun wanteyan terjadi yang sebaliknya, karena dari dulu sampai sekarang mereka masih sama dengan cara konvensional yang modusnya yaitu dengan door to door di kota maupun ke pasar-pasar.
Dalam konteks pembaharuan model mengemis dikenal apa yang disebut mengemis dengan cara non-konvesional, yang dikenal sejak tahun 1980-an. Mengemis dengan cara non-konvensional dilakukan dengan cara menyodorkan surat dan proposal atas nama suatu yayasan atau lembaga pendidikan untuk diedarkan terutama di kota-kota besar di Indonesia. Namun sampai sejauh ini dari hasil pengamatan peneliti di lapangan belum ada yang melakukan inovasi seperti itu untuk menambah penghasilannya.
Sosialisasi Nilai dalam Masyarakat
Lingkungan masyarakat memiliki kontribusi dalam pembentukan kepribadian dan kebudayaan seseorang. Dalam konteks kemasyarakatan, proses sosialisasi nilai mengemis ini terjadi pada anggota masyarakat Dusun Wanteyan karena mereka hidup di lingkungan pengemis. Meskipun lambat namun pasti, kebiasaan mengemis telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari kehidupan warga di Dusun Wanteyan.
Salah satu bentuk sosialisasi nilai mengemis pada level kemasyarakatan adalah melalui tradisi hajatan, seperti acara perkawinan, khitanan anak maupun cucu. Berbagai bentuk hajatan ini telah menuntut mereka untuk mengumpulkan uang dalam rangka menyukseskan acara tersebut. Biaya acara perkawinan pada tahun 2002 sebesar kurang lebih Rp 10 juta. Kalau ternyata uangnya kurang, mereka menjual ternaknya untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga mengemis menjadi solusi yang dipilih atau mereka menjual tanah dan dan ternaknya. Kondisi tesebut diperparah oleh perasaan gengsi bila ada tetangga yang mengadakan hajatan, khitanan dan acara besar lainnya. Dua faktor tersebut, hutang dan gengsi, telah menjadi dan dijadikan beban dalam kehidupan sosial masyarakat yang sekaligus berfungsi sebagai pemicu pengekalan budaya mengemis.
Selain dua faktor diatas ada sebagian orang yang menjadikan profesinya sebagai sandaran hidupnya, karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja yang layak dan kondisi ekonominya sangat miskin. Seperti yang dutarakan oleh Ibu Paimin ” suami saya sudah tidak mampu lagi kerja karena sakit – sakitan, sehingga mau tidak mau saya mencari penghasilan sebagai pengemis ”
Modus atau Bentuk Mengemis
Praktik mengemis dilakukan pertama kali secara individual, baik dalam hal keberangkatan maupun penentuan daerah operasi. Keuntungan modelindividual ini adalah kebebasan menggunakan hasil yang diperoleh. Mereka menjalankan profesinya secara penuh waktu, berangkat pagi sekitar pukul 5 (lima) pagi atau setelah subuh dan pulang menjelang Maghrib. Perjalanan ke tempat mengemis ditempuh dengan berjalan kaki bila jaraknya dekat. Namun jika jaraknya cukup jauh, maka mereka naik angkutan untuk menuju kota tujuan operasi. Seperti yang diungkapkan salah satu sopir angkutan desa bapak Warto yang membawa mereka pergi ke luar ”saya mengantarkan mereka dari desa sekitar jam 5 pagi setelah subuh dan itu hanya sampai pasar Secang. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Temanggung, ambarawa, bahkan ada yang ke Weleri ” Ketika mereka mau pulang kerumah, namun ternyata kemalaman maka mereka mencari tempat untuk menginap di tempat-tempat umum seperti masjid, balai desa bahkan ada pula yang mengontrak rumah yang harganya 3000/malam. Seperti yang diungkapkan ibu Yami yang pergi sampai weleri ” kalau mau pulang tapi sudah kemalaman maka saya menginap di rumah warga setempat, namun kalau tidak boleh maka ada rumah warga yang boleh disewa untuk menginap atau bermalam disana”
Seperti juga yang diutarakan oleh kaur kesra Desa Lebak Bapak Ari, ” sebagian dari mereka yang keluar / pergi ke kota, apabila kemalaman mereka menginap dirumah warga setempat atau ke masjid ” Hasil mengemis dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori; uang dan barang. Kalau uang, biasanya mereka tidak langsung membelanjakan, tetapi disimpan dahulu sampai cukup untuk membeli barang atau hewan piaraan seperti ayam, kambing, sapi dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika hasilnya berupa barang seperti jagung, padi, bawang sebagian dimasak dan selebihnya disimpan untuk dijual. Hasil penjualan jagung dikumpulkan dan dijadikan satu dengan uang hasil mengemis.
Praktek Mengemis
Menurut Ali Humaidi Pengemis terbagi menjadi dua yaitu pengemis konvensional dan non konvensional. (Humaidi, Ali, Pergeseran Budaya mengemis di masyarakat Pragaan Daya Sumenep Madura, STAIN Pamekasan Madura). Pengemis konvensional yaitu pengemis yang bersifat individual atau berangkatnya sendiri – sendiri. Dalam menjalankan profesinya mereka pergi ke daerah Kabupaten Magelang dan Temanggung, namun ada juga yang merantau ke luar Kota Magelang seperti Jogja, Kendal, Weleri hingga kota Demak. Ada beberapa alasan mengapa mereka memilih kota - kota tersebut. Pertama, komunikasi lebih mudah karena mereka masih sama-sama berbahasa Jawa. Kedua, ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Jawa bahwa ketika mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut saudara atau sedulu (Sedulur sama artinya dengan saudara, saudara jauh ataupun saudara dekat). Ketiga, orang jawa dikota secara umum dianggap relatif merasa iba apabila melihat kondisinya sehingga tidak enggan untuk mensedekahkan sebagian hartanya. Meski demikian, sasaran mengemis tidak sebatas orang Jawa, siapapun akan diminta, termasuk orang – orang kota yang non muslim (Cina).
Dalam mendapatkan penghasilannya ada 2 (dua) bentuk objek pengemisan yaitu uang dan barang. Di lihat dari sisi waktu, kegiatan bentuk pertama ini mereka lakukan setiap hari sepanjang tahun. Sedangkan kategori kedua biasanya dilakukan pada saat musim tertentu, seperti musim panen jagung, panen bawang. Pada musim panen, modus yang dilakukan adalah mereka berangkat bersama-sama (minimal dua orang) menuju satu desa tertentu lengkap dengan karung. Mereka bermalam di rumah penduduk atau di balai desa atas ijin penghuni. Soal tempat tidak pernah mereka persoalkan, yang penting mendapatkan ijin untuk bermalam. Ketika akan meminta, mereka kadang-kadang ikut membantu memetik hasil panen padi meskipun hanya sebentar sambil menunggu makan siang.
Kadangkala mereka juga langsung meminta - minta pada saat satu keluarga sedang memetik hasil panen atau langsung mendatangi rumah - rumah penduduk. Dalam musim panen tersebut, penghasilan mereka rata-rata sekitar 20 kilogram. Hasil yang diperoleh kemudian pada malam harinya dikumpulkan di tempat peristirahatan untuk kemudian dibawa pulang atau langsung dijual. Bagi mereka yang kebutuhan hidup selama mengemis kurang, maka hasil mengemis langsung dijual, sedangkan bila cukup, maka barang tersebut dibawa pulang dan disimpan untuk makan sekeluarga, sebagian lagi dipergunakan untuk menanam jagung, bagi yang punya sawah.
Sebagaimana profesi lain, dunia pengemis juga mengenal persaingan. Persaingan terjadi ketika memperebutkan daerah operasi. Seringkali para pengemis membentuk kelompok yang ditentukan atas dasar kedekatan rumah, hubungan famili dan teman dekat. Di antara sesama anggota kelompok kemudian membuat kesepakatan tentang daerah mana yang akan dijadikan wilayah operasi, pukul berapa berangkat dan bermalam di mana.
Pembentukan kelompok tidak harus dibuat formal, sebab prosesnya pun tidak formal, tidak ada aturan formal yang terlalu mengikat. Oleh sebab itu, antar anggota kelompok bisa saling bertukar tempat operasi sesuai dengan kesepakatan. Beberapa informan mengatakan bahwa sejak mereka mengemis belum pernah terjadi perselisihan apalagi pertengkaran, kecuali persaingan untuk mendapat hasil yang banyak.
.
Kehidupan Keberagamaan Pengemis.
Secara kongkrit mengetahui pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap ajaran agamanya adalah hal yang sulit. Karena masalah keyakinan seseorang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, namun dapat dilihat dari aktivitas kesehariannya dalam menjalankan ajaran serta mengamalkan ajarannya. Namun apabila individu hidup lingkungan yang salah maka hal ini akan berpengaruh terhadap keberagamaan individu tersebut, karena lingkungan mempunyai pengaruh kuat terhadap terbentuknya karakteristik setiap individu.
Dalam kehidupan kesehariannya para pengemis didesa Lebak khususnya berkaitan dengan kegiatan keagamaan baik itu berupa ritual individu dalam kehidupan kesehariannya ataupun kegiatan yang bersifat keagamaan dan dilakukan secara berkelompok. Seperti pengajian yang dilakukan setiap hari
Jum’at diisi oleh pemuka agama atau biasa disebut dengan kyai dan diikuti oleh bapak-bapak. Seperti yang diutarakan oleh bapak Tri selaku Sekdes “ Warga desa ini khususnya yang golongan tua - tua sangat antusias mengikuti pengajian, karena pengajian yang diadakan setiap jum’at sangat bermanfaat bagi warga, dengan begitu akan menambah ilmu khususnya tentang ajaran islam “
Menurut Glock dan Stark, pengalaman keagamaan termasuk perasaan-perasaan dan persepsi terhadap Tuhan. Dengan demikian selain beraneka ragam, bergantung pula pada setiap pribadi atau individu. Sebab setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi dapat ditanggapi dengan emosi keagamaan. Selain itu peristiwa yang dialami seseorang bisa juga memberi pengaruh batin langsung dengan berhubungan dengan Allah SWT tetapi juga bisa ditanggapi biasa layaknya hukum alam. (Abdul somad “Agama Islam dalam Kehidupan Remaja Banguntapan Bantul “ dalam jurnal penelitian Agama no.6 thn, 1994, (YK : IAIN SUKA 1994: 24)
Dalam hal ini penulis mencoba melihatnya dari lima (5) dimensi keagamaan meliputi: tingkat keyakinan, pengetahuan agama, praktek agama, pengalaman keagamaan, dan konsekuensi penghayatan agama di kalangan pengemis di dusun wanteyan.
Perilaku Keberagamaan Pengemis
Keyakinan Keagamaan.
Pada umumnya tidak ada perbedaan yang prinsip mengenai keyakinan agama, karena semua warga yang berprofesi sebagai pengemis dan tinggal di dusun wanteyan ini menganut agama Islam. Keyakinan yang dianut bersifat dogmatis, didalam islam keyakinan yang dimaksud yaitu seperti yang dirumuskan dalam rukun iman yaitu enam prinsip keyakinan. Yaitu : pertama percaya kepada Allah SWT dan tidak ada sekutu baginya, kedua yakin dan percaya pada kitab-kitab suci, ketiga yakin dan percaya pada para malaikat, keempat yakin terhadap nabi dan rasul Allah, kelima percaya kepada ketentuan baik dan buruk itu berasal dari Allah, dan keenam yakin dan percaya pada hari akhir.
Secara keseluruhan tingkat keyakinan keagamaan pengemis sangat menggembirakan, dikarenakan para pengemis yang ada didusun wanteyan semuanya memeluk agama islam. Sebagaimana seperti yang dikatakan oleh bapak kadus “ saya telah mendata seluruh warga dusun wanteyan yang berprofesi sebagai pengemis, bahwa agama yang mereka peluk adalah islam, karena sebagian besar warga desa ini adalah warga asli dan sebagian adalah pendatang ”
Seperti yang dikatakan oleh ibu Siyamsih,” saya memang mencari uang dengan cara mengemis meskipun begitu saya tetap menjalankan ibadah., sejak suami saya tidak ada maka saya sendiri yang mencari uang untuk kebutuhan hidup. Walaupun pekerjaan saya hina saya tetap islam, saya juga meyakini rukun iman walaupun saya juga tidak banyak mengetahui tentang ajaran islam yang sesungguhnya“
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga dusun wanteyan yang berprofesi pengemis, secara keseluruhan juga sangat menggembirakan. Hal ini terbukti dari sebagian besar pengemis merasa yakin dengan agama islam diantaranya yaitu: seperti yakin terhadap islam dan ajarannya, dan agama islam sebagai penenang dan menjadikan tentram bagi pemeluknya, mereka juga meyakini bahwa agama islam adalah agama yang diridloi oleh Allah SWT.
Dengan keyakinan yang dimiliki oleh kalangan pengemis terhadap agama yang dianutnya yaitu agama islam, setidaknya mereka memiliki keyakinan terhadap Allah SWT yang menciptakan alam semesta. Hal ini diharapkan menjadi pedoman hidup bagi pengemis untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Pengetahuan Agama
Pada hakekatnya orang-orang yang beragama paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakianan dari kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana aktifitas dalam menambah pengetahuan agama, seperti mengikuti pengajian, membaca buku islami atau juga membaca al-qur’an.
Pemahaman keagamaan pengemis terhadap agama yang dianutnya juga menggembirakan, mereka mengaku memeluk agama islam, mengakui bahwa Allah SWT sebagai tuhan mereka, mereka juga mengakui bahwa rukun iman dan rukun islam benar adanya, namun faktor ekonomi yang menyebabkan mereka terpaksa menjadi pengemis, mereka juga menyadari bahwa hal tersebut yaitu pekerjaan mengemis bertentangan dengan ajaran islam yang sesungguhnya, karena haram bagi orang yang mampu namun mendapatkan harta dari meminta-minta, selain itu juga bertentangan dengan norma agama dan norma sosial.
Pemahaman keagamaan pada umumnya dipahami oleh setiap pemeluk agama apapun itu, namun terkadang pemahaman keagamaan belum tentu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang terjadi dikalangan pengemis, mereka mengakui beragama Islam namun tingkah laku mereka justru bertentangan dengan ajaran islam.
Hal tersebut dikatakan oleh ibu Ari selaku kadus “ Dulu kegiatan pengajian rutin diadakan setiap minggu sekali dan yang mengikuti juga banyak, namun sekarang yang mengikuti semakin hari malah semakin berkurang. Tidak tahu kenapa, namun yang pasti meskipun yang mengikuti sedikit pengajian tetap dilaksanakan dengan baik “
Praktek Keagamaan Pengemis
Dimensi peribadatan atau praktek agama menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh agama. Dalam islam dimensi peribadatan diantaranya menyangkut ibadah sholat, puasa, zakat, haji, membaca Qu’an, ibadah kurban dan sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, 2001)
Praktek keagamaan sangat banyak karena meliputi kegiatan manusia didalam kehidupannya, untuk melaporkan semua kegiatan yang dilakukan kalangan pengemis yang ada di dusun Wanteyan rasanya tidak mungkin. Oleh sebab itu yang dapat dilaporkan dan diamati hanya ritual dan ketaatanya. Terutama yang berkaitan dengan perilaku dan prinsip – prinsip dasar dari rukun islam yang senantiasa dilaksankan oleh kalangan pengemis di dusun Wanteyan, salah satunya yaitu ibadah sholat. Ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasinya mengarah kepada pengamalan syari’at islam yaitu pengamalan ibadak khusus dan sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibadah itu. Dengan demikian bearti ia telah melaksanakan perintah Allah dan menegakkan syari’at Islam.
Seperti yang dikemukakan diatas tentang dimensi peribadatan atau dimensi praktek keagamaan, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, adapun pertanyaan yang disampaikan kepada pengemis adalah, apakah pengemis tersebut melaksanakan salah satu dimensi keberagamaan yang tertera diatas, namun dari beberapa beberapa dimensi keberagamaan hanya perintah zakat yang rutin
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, penulis mendapat gambaran tentang perilaku keberagamaan para pengemis yang bertempat tinggal di desa lebak dusun wanteyan, tentang pelaksanaan ibadah sholat yang mencakup sholat wajib dan ibadah yang lainnya. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa keyakinan terhadap agama mempengaruhi terhadap praktek agama, sebab keyakinan adalah sumber dari praktek yang akan dilaksanakan.
Tingkat pengetahuan agama mereka dalam hal ini adalah kalangan pengemis. Pengetahuan yang mereka peroleh masih sangat kurang dan hanyalah sebuah keyakinan semata, karena mereka sendiri seperti belum meyakini bahwa pekerjaan yang mereka jalani bertentangan dengan ajaran yang mereka anut. Selain itu tingkat pengetahuan keagamaan mereka yang minim sehingga dalam pelaksanaan ibadah mereka hanya sebagai pelengkap saja.
Dimensi ini mencakup pengamalan atau akhlak yang menunjuk pada seberapa tingkat muslim berperilaku yang dimotivasi oleh agamanya dan ajarannya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia yang lain. Dalam keberislaman dimensi ini mencakup perilaku suka menolong, kerjasama, menegakkan keadilan, berlaku jujur, tidak menipu, tidak berjudi, mematuhi norma – norma islam berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran islam dan lain sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Pelajar, 2001) Menjadi pengemis tentunya bertentangan dengan dimensi keberagamaan yang keempat yaitu penghayatan agama. Yang salah satu penjelasannya yaitu letak kadar iman dan taqwa seseorang dapat dilihat dan diukur, yaitu salah satunya dengan melihat aktifitas sehari-harinya dalam mengamalkan dan menghayati agamanya jadi penghayatan keagamaan di kalangan pengemis sangat ditentukan oleh keyakinan dan pengetahuan agama tersebut. Disamping faktor lingkungan keluarga dan faktor dari lingkungan masyarakat sekitar juga sangat mempengaruhinya untuk terwujudnya kepribadian yang islami. Sekilas dapat diketahui bahwa dikalangan para pengemis tidak menyadari bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah SWT semata, sehingga kita sebagai manusia biasa sebagai hambanya harus mau dan yakin bahwa Allah SWT akan selalu membukakan jalan keluar yang terbaik bagi mereka.
Dalam surah Al Baqarah 273 ” Kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (Dikutip dari Al – Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 2: 273). Seseorang yang berputus asa berarti dia tidak meyakini kebesaran Allah SWT sehingga dia mengambil jalan pintas meskipun itu bertentangan dengan norma-norma islam dan sosial, dia juga tidak dapat menghayati dan menjalani agamanya dengan sungguh – sungguh.
Demikian halnya yang terjadi dikalangan pengemis yang berdomisili di Desa Lebak Dusun Wanteyan ini. Mereka mudah berputus asa sehingga mereka beralih ke jalan yang tidak semestinya, dan mereka menganggap bahwa dalam mendapatkan penghasilan dengan jalan meminta-minta itu sah-sah saja dan halal menurut mereka, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Kesimpulan
Setelah melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh profesi pengemis terhadap perilaku keberagamaannya, disini penulis berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut : Pertama, Faktor yang mempengaruhi mereka menjadi pengemis yaitu sebagian besar dari mereka menjadi pengemis karena tekanan ekonomi, sehingga mau tidak mau mereka mencari penghasilan lewat jalan meminta-minta. Selain itu faktor tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor penting yang menghambat terjadinya perubahan pola pikir pada masyarakat.
Kedua, Secara keseluruhan keberagamaan dikalangan pengemis berada di dusun Wanteyan masih kurang. Hal ini terlihat dalam keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi menjadi pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan sholat 5 waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban menjalankan ibadahnya. Sedangkan dalam dimensi keberagamaan mereka para wanita khususnya yang berprofesi menjadi pengemis tersebut belum maksimal pelaksanaanya.
Ketiga, berdasarkan dari analisis diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang bekerja dengan cara meminta-minta merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan oleh agama, sehingga berdampak pada perilaku beragama masyarakat dusun wanteyan khususnya dikalangan pengemis.
Daftar Pustaka
Artanto Pius dan M Dahlan Al – Barry, karya Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Baha` Uddin, Pengemis sebagai Profesi: studi tentang makna dan etos kerja di kalangan komunitas pengemis sirkuler di Kota Yogyakarta.
Bina Desa Masalah social yang ada di masyarakat, 1987
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Derajat Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta : PT Gunung Mulia, 1988
Humaidi Ali, Pergeseran budaya mengemis di masyarakat desa pragaan daya sumenep madura, STAIN Pamekasan, 2003
Huston Smith, Agama – agama manusia, terj. Safrudin Bahar Jakarta ; YOI, 2001
JB Banawirartama, SJ dan J Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu ; Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta : Kanisius, 1993
Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga Telaah Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Lewis, Oscar, Kemiskinan dan strategi Memerangi Kemiskinan, dalan Andi Bayo (Ed), Penerbit Liberty 1981, Yogyakarta
Marpuji Ali, dkk., Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3 Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta (1990).
Muthahari Murtadlo, Perspektif Al – Qur’an Tentang Manusia dan Agama, terj. Djalaluddin Rahmat, Bandung : Mizan, 1984
Muhtadi Ridwan, Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional ,UIN Malang, 2005
Nabil Subhi At-Thawil, kemiskinan dan keterbelakangan Di Negara – Negara Muslim, Bandung : Mizan, 1993
Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001
Nottingham Elizaabeth K, Agama dan Masyarakat : suatau pengantar Sosiologi Agama, terj.Abdul Muis Naharong Jakarta : Rajawali Press, 1997
Puspito Hendro, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1984, dikutip dari Joachim Wach.
Qardhawi Yusuf, Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan, terj.Umar Fanany, B.A, Surabaya: PT .Bina Ilmu, 1996
Rais Amin, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Yogyakarta : Aditya Media 1995
Rahmat Jalaluddin, Metode Penelitian Agama Bandung : Remaja Karya, 1985
Rahman Abdul dan Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000
Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda terj. Alimandan Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
Sahdan Gregorius, Menanggulangi Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org, Jurnal Ekonomi Rakyat
Sitorus Felik, Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan , Jakarta : Gresindo, 1996
Soerjono Soekanto, Suatu Pengantar Sosiologi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Soekanto Soerjono, Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi, dikutip dari Max Webber. Jakarta: PT Rajawali, 1985
Soekanto Soerjono, Sosiologi : Suatu Pengantar, dikutip dari Gillin dan Gillin, Cultural Sociology Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad, 2002
Soetrisno, Loekman. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Suparlan Parsudi, Antropologi Sosial ,1986
Suyanto Bagong, Perangkap Kemiskinan Problem Dan Strategi Pengentasannya, Yogyakarta : Aditya Media, 1996
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka. 1991
.
Sumber Web.
www.wordpers.com/masalah kemiskinan/makna/go.id, 22 Januari 2009
anak-jalanan-indonesia www..kompasnews.com., 22 Januari 2009
kemiskinan di masyarakat desa.www.suaramerdekanews.com., 22 Februari 2009
Teologi Humanis:
Upaya Mengikis Radikalisme Islam
Nurrochman S. Fil. I
Mahasiswa PPS. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Angkatan 2009
“Siapa yang menghukum mati seseorang karena pendirian dan iman,
ia akan mendengar sepotong kepala yang tertawa…”
-Goenawan Mohamad-
Abstrak
Agama dalam konteks modern memiliki dua sisi. Di satu sisi berisi ajaran tentang perdamaian dan cinta kasih, di sisi yan lain agama sering kali memicu terjadinya konflik horizontal. Tulisan ini muncul dari sebuah kegelisahan akan terjadinya benturan antar agama yang acap kali terjadi di Indonesia. Konflik di berbagai daerah mereda karena pemerintah yang rajin mendamaikan kedua kubu dan diterapkannya beberapa UU tentang kedaerahan, sedangkan meredanya aksi teror tidak lebih dari usaha polisi yang giat memberantas terorisme satu persatu. Padahal masalah sebenarnya adalah pada pamahaman pemeluk agama dalam menyikapi pluralisme di Indonesia.
Selama masih ada golongan yang berpola pikir tertutup dan tidak mau menerima perbedaan sebagai konsekuensi serta keniscayaan kehidupan, maka konflik antar agama dan aksi radikalisme atas nama agama sewaktu-waktu bisa terjadi kembali. Yang mendesak untuk segera dilakukan adalah melakukan reedukasi dari dalam. Yaitu memberi pemahaman secara komprehensif atas cara-cara berkeyakinan di tengah masyarakat pluralis.
Sebagai tawaran pertama dalam Teologi Humanis, penulis mengemukakan pentingnya pola pikir inklusif (terbuka) yang mau menerima kebenaran orang lain, dalam artian tidak selalu membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. untuk mewujudkan pola pikir seperti itu diperlukan proses yang tidak sebentar. Untuk itu perlu dilakukan pengajaran tentang keberagamaan yang inklusif semenjak dini. Di ranah praksis hubungan antar agama hal yang perlu dilakukan adalah menjaga komunikasi antar agama serta membudayakan agar setiap pergeseran paradigma yang terjadi di masyarakat tidak selalu ditanggapi dengan over reaction.
Pendahuluam
Seorang penyair Rusia kenamaan dalam sebuah cerpennya berujar “ perbedaan, masalah dan hikmah adalah hal-hal yang akau selalu kau temui dalam bentangan hidup ini, bahkan ketika kau tertidur, bersembunyi dalam selimut maka mereka akan mengendap-endap lalu tanpa kau nyana telah memelukmu”. Ungkapan itu sangat cocok untuk membahasakan secara indah apa yang dialami tiap individu manusia ketika menjalankan perannya dalam kehidupan. Ruang dan waktu kehidupan seakan tidak menyisakan ruang kosong, di dalamnya penuh dengan unsur pembentuk kehidupan, unsur yang tak boleh alpa ketika kehidupan bergulir dinamis. Manusia sebagai pelaku kehidupan telah terikat kontrak untuk menjalani beragam peran aktif, salah satunya adalah peran sebagai mahkluk theis, pribadi beragama dan menjadi hamba dari sebuah kekuatan yang melatarbelakangi penciptaan alam, sesuatu itu disebut: Tuhan.
Ranah hubungan manusia dengan Tuhan itulah yang disebut dengan ranah teologi. (Karen Amstrong, 2001: 134). Beraneka rupa ragam dan corak serta cara penghambaan manusia terhadap sesuatu yang diyakini sebagai Tuhannya kemudian mengkotak-kotakkan manusia dalam beberapa varian keagamaan. Wilayah ini selalu mengesankan hubungan penghambaan makhluk kepada sang khalik dengan spirit keihlasan semata karena menjalankan perintah Tuhan serta bermotif pengharapan pahala sorga (konsep reward and punishment dalam agama). Dalam Islam wilayah teologi ini kemudian terpecah dalam beberapa cabang keilmuan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas lebih dalam mengenai corak atau ragam ‘penghambaan’ namun lebih kepada bagaimana wilayah teologi yang sarat dengan nilai spiritual agama dan ajaran yang tertuang dalam teks-teks bisa membumi, benar-benar hidup bukan hanya sebagai sebuah paham yang mengawang-awang dan tidak membumi. Kenapa dikatakan tidak membumi? Seperti diketahui bahwa fenomena yang muncul belakangan ini di Indonesia adalah masalah konflik antar golongan yang bersumber pada ajaran agama. Kerusuhan di Ambon, Poso dan beberapa teror bom yang terjadi di Bali dan Jakarata adalah setumpuk bukti betapa piciknya pemahaman seseorang terhadap ajaran agama yang ia anut.
Kerusuhan berbau SARA di Ambon dan Poso memang sudah mereda, jaringan terorisme juga bisa dipastikan kesulitan menebar terror bomnya setelah Noordin M Top sang arsitek terror berhasil dibunuh, namun selama pola pikir (meminjam istilahnya Amin Abdullah, (Abdullah, 2006)). narrowminded masih menjadi primadona dan menjadi style berpikir umat Islam, maka cukup dini untuk mengatakan serentetan peristiwa menyedihkan itu sudah sepenuhnya bisa dihentikan, karena endemi radikalisme sewaktu-waktu bisa muncul kembali, tinggal menanti momentum saja. Kesimpulan awalnya adalah agama cenderung mempunyai sisi ganda, di satu sisi agama menawarkan ajaran tentang keselarasan hidup, kedamaian keselamatan dan moralitas hidup, namun, di sisi yang lain tidak bisa dipungkiri agama juga seringkali punya andil dalam konflik horizontal antar manusia.
Naluri kritis inteleketual pasti tergelitik mendengar kata ‘konflik agama’. Benarkah agama yang struktur ajarannya dibangun dengan nilai-nilai kebaikan bisa berpotensi menjadi sumber konflik? Bila memang agama diklaim berperan menyulut clash of community lalu bagian mana yang salah dari agama, ajarannyakah atau pesan-pesan teks-teks keagamaan yang tidak sampai pada pelaku agama? Dari sejumlah pertanyaan itu alur penyebab konflik bisa diungkap untuk kemudian dicari solusi untuk mencegah konflik antar agama menjadi endemi dalam kehidupan sosial beragama.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas akan lebih bijak kiranya bila dipetakan terlebih dahulu seperti apa Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dalam al-Qur’an jelas dinyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia oleh Tuhan tidak lain adalah untuk beribadah. Tema itu merupakan tema sentral dalam memetakan peran manusia di hadapan Tuhan. Di bagian lain dalam al-Qur’an Tuhan juga memerintahkan pada manusia untuk mengimani adanya Malaikat, Nabi-nabi utusan Tuhan, Kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul dan mengimani ketentuan yang telah diputuskan Tuhan. Dari pesan-pesan yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut bisa disimpulkan bahwa hard core ajaran Islam adalah Iman dan penyerahan (baca: penghambaan) diri manusia kepada Allah.
Namun, selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, al-Qur’an juga memuat ajaran tentang hubungan antar manusia. Al-Qur’an membahasakannya dengan hablum min al-nas. Bahwa tidak sempurna keimanan seseoran ketika ia hanya mempriorotaskan hubungan mahdhah (transendental) saja tanpa memperhatikan hubungannya dengan sesama makhluk (imanen) Amin Abdullah, Engineer, 1999: 82). Allah sindiri secara eksplisit tidak menyebut hubungan mana yang harus didahulukan, transenden atau imanen. Logika ini mirip dengan logika ‘and’ matematika lanjut yang dikembangkan dalam teknologi informasi terutama pengoperasian komputer. Program di komputer hanya akan berjalan jika terjadi proses perintah antara sistem software yang disupport oleh hardware yang compatible. Ilustrasi itu mungkin cocok untuk menggambarkan how more important (saya terjemahkan dengan lebih pentingan mana) antara hubungan imanen dan transenden. Mengacu pada logika ‘and’seperti dituturkan di atas, keduanya memiliki nilai penting yang sama. Keimanan seseorang adalah perpaduan dari nilai hubungan transenden sekaligus imanennya, tak satupun ditoleransi untuk alpa.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih menempatkan hubungan transendental (ketuhanan) di posisi yang lebih penting, sehingga hubungan antar manusia kadang dinomorduakan -untuk tidak mengatakan dikesampingkan-. Selain itu pola keberagamaan yang berkembang di masyarakat adalah pola eksklusif yang cenderung memahami agama sebagai satu hal yang sakral dan memiliki kebenaran final. Tumbuh suburnya tradisi berpikir seperti ini sedikit banyak tentu dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berkembang. Sistem pendidikan (Islam) yang masih mendewakan teks sebagai sumber kebenaran absolut tanpa melibatkan akal sebagai pembandingnya menyebabkan Islam tampil sebagai ajaran tentang ketuhanan bukan ajaran tentang kemanusiaan. Padahal dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa Allah menurunkan Islam sebagai agama untuk (mengatur) kehidupan manusia. (Munir Mulkhan, 2002).
Teosentrisme ajaran Islam ini banyak ditentang terutama oleh para pemikir kontemporer Muhammad Arkoun (Ali Rahmena (ed. 1995), -- untuk menyebut salah satu nama diantaranya- menyangkal bahwa al-Qur’an bukan kitab ketuhanan melainkan kitab kemanusiaan. Seluruh isi kandungan dalam al-Qur’an diperuntukkan untuk menkosepkan tata kehidupan sosial manusia. Lebih lanjut Arkoun menegaskan bahwa ada kebutuhan untuk melakukan reformasi pemahaman ajaran Islam terutama dalam konteks keimanan yang imanen. Proyek reformasi itu bertujuan untuk menghapus kehampaan serta kegersangan dari pola beragama yang individualis, arogan, kaku, rigid dan terkesan ingin membangun menara gading kebenaran. Bagi Arkoun konsep zuhud yang ditawarkan oleh tasawuf klasik juga tidak memberi solusi nyata dalam meghidupkan semangat humanisme yang diusung Islam. Tasawuf klasik bahkan dengan tidak sengaja telah menjatuhkan manusia pada sikap apatisme sosial yang akut dan berpotensi mengaliensai manusia dari sifat dasariahnya.
Shifting Paradigm Menuju Dialog Antar Agama di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri, dari semenjak pertama kali berdiri, Indonesia dikenal dengan multikulturalismenya. Bahkan jauh sebelum Indonesia lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang, Indonesia terbagi-bagi atas beberapa kerajaan dengan kebudayaan dan agama yang berbeda. Anehnya, perbedaan itu kemudian tidak menyebabkan satu bentuk separasi, namun malah melebur dalam satu kepentingan yaitu merdeka dari penjajahan. Setelah berhasil mendapatkan kemerdekaan, perbedaan itu pun tetap terjaga, muncul kemudian salah satu slogan Bhneka Tunggal Ika sebagai satu ikrar bangsa untuk tetap bersatu. Secara konstitusional para penggagas bangsa ini sebenarnya sudah sangat akomodatif terhadap perbedaan. Terbukti dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara dan diakuinya beberapa agama selain Islam sebagai agama resmi pemerintah. Para pendahulu tersebut juga tidak menjadikan Islam sebagai asas negara. Walaupun dipeluk oleh mayoritas rakyat Indonesia, namun mereka juga tidak ingin begitu saja melupakan para pemeluk agama lain. Untuk mencari jalan tegahnya Pancasila dinilai tepat untuk menjadi jalan tengah. Namun, dalam rentang waktu selanjutnya Pancasila kemudian banyak mendapat penolakan dari kalangan Islam, terutama golongan Islam garis keras.
Pasca reformasi yang berarti juga dimulainya era kebebasan setelah rezim orde baru yang otoriter, Islam mulai bergeliat, berkembang bukan hanya dakwahnya, pendidikannya namun yang justru terlihat sangat dominan adalah berkembangnya organisasi-organisasi Islam. Beberapa organisasi kemudian mengukuhkan diri menjadi sekte atau aliran tersendiri dalam Islam. Reformasi seakan menjadi momentum kebebasan bagi pers, politik, kesenian tak ter kecuali agama. Agama di era reformasi lebih bisa mendapatkan ruang untuk mengaktualisikan diri. Beberapa aliran keislaman yang selama orde beri terpaksa ‘ditidurkan’ oleh UU Subversi mulai bergerak perlahan-lahan membangun aliansi kembali. Tidak hanya aliran Islam modernis, justru Islam fundamentalislah yang bayak bermunculan pasca reformasi. Satu hal yang cukup berat sebenarnya untuk mendikotomikan Islam dalam dua aliran: radikal dan non radikal (anda boleh baca: liberal atau moderat). Namun, setiap aktualisasi gerakan yang terjadi di lapangan memaksa masing-masing dari aliran tersebut ke dalam kategorisasi radikal atau non-radikal.
Radikalisme sebagai pengejawantahan sikap fundamentalisme sebenarnya ada pada setiap agama. Fundamentalisme ditunjukkan dengan sikap meyakini ajaran kebenaran agama secara berlebihan yang menyebabkan munculnya sikap monopoli kebenaran. Secara psikologis, kalangan fundamentalis memiliki egoisme yang sangat tinggi dan mempunyai hasrat untuk membentuk opini tunggal atas kebenaran. (Bertrand Russsel, 2008: 132) Dalam diskurus agama, sikap seperti inilah yang kemudian menyulut beragam kekerasan terbuka dan kerusuhan. Fundamentalisme lahir sebagai akumulasi dari bertumpuk ketidakmampuan individu atau golongan dalam memahami pesan agamanya. Setiap agama pasti mendoktrinkan bahwa ajarannyalah yang paling sempurna, paling benar dan satu-satunya yang bisa memberi jalan keselamatan.
Pemahaman membabi buta tentang doktrin ini tentu sangat berbahaya. Bagaimana asas kebenaran tunggal dalam agama tersebut diyakini sebagai ajaran agama dan teraplikasikan dalam kehidupan negara yang multikultur layaknya Indonesia. Setiap individu butuh untuk meyakini bahwa ajaran agamanya adalah yang paling benar. Hal itu diperparah oleh adanya perintah agama yang menyuruh untuk menyebarkan agama (dakwah dalam Islam dan zending dalam Kristen). Di lapangan, kepentingan tersebut bertemu, saling gesek dan pecahnya konflik akhirnya tak terhindarkan. Padahal jika ditilik lebih dalam, tidak ada satupun agama yang menyetujui apalagi mengajarkan umatnya untuk bertindak tidak manusiawi.
Complicated memang, mengingat banyaknya pemeluk agama yang berbeda dan kesemuanya mempunyai konsep kebenaran masing-masing. Kita juga tidak bisa menutup mata dengan perbedaan keyakinan yang ada dalam satu agama tertentu, misalnya Islam dengan NU dan Muhammadiyahnya, Kristen dengan Katolik dan Protestannya. Menyikapinya, setiap individu sewajarnya selalu sadar dalam setiap tindakannya bahwa di sekelilingnya tumbuh subur perbedaan yang sekali waktu berpotensi menyulut konflik. Menjembatani perbedaan tersebut, di era tahun 70-an Nurcholis Madjid, (Fuad Fanani, 2004: 97), mengemukakan ide tentang pluralitas keberagamaan.
Pluralitas keberagamaan dalam pendangan Nurcholis Madjid sebenarnya sudah termaktub dalam al-Qur’an. Di salah satu suratnya, al-Qur’an menyebut bahwa bisa saja sebenarnya Allah membuat satu isi dunia ini dengan satu macam golongan tetapi Allah menciptakan dengan bermacam perbedaan. Tersebutkan juga satu riwayat ketika suatu saat Nabi Muhammad merasa ada pada titik nadir semangat untuk menyebarkan Islam dan beliau berpikir untuk memaksakan kehendaknya agar seluruh masyarakat mengimani Islam. Dengan wahyuNya Allah menegur Nabi Muhammad agar tidak melakukan pemaksaan keimanan. Dari beberapa ayat dalam al-Qur’an terlihat bahwa Islam sebenarnya sangat menghargai semangat perbedaan. Bahkan akar kata Islam sendiri adalah bermakna perdamaian. Hubungan antara Islam dan pluralisme adalah pad aspek humanitasnya. Sebagai langkah awalnya adalah setiap individu sadar bahwa multikultur dan multireligi adalah fakta. Masalahnya kemudian adalah bukan pada bagaimana menyeragamkan perbedaan itu ke dalam satu warna, namun, bagaimana agar perbedaan (agama khususnya) bisa disandigkan dalam satu tatanan kehidupan yang harmonis.
Dalam hal ini penulis tidak mau dengan mudah menjatuhkan diri pada satu kesimpulan bahwa semua agama adalah benar seperti yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid. Bahwa semua agama mengajarkan kebaikan adalah benar, namun masing-masing pemeluk agama punya tanggung jawab secara teologis untuk benar-benar mengimani kepercayaannya dan mengakui bahwa ajaran agamanyalah yang ‘paling’ benar. Perlu ditegaskan bahwa kata ‘paling’ di sini tidak berafiliasi untuk memunculkan makna bahwa agama atau kepercayaan yang lain salah, namun lebih ke masalah personal identity. Seperti yang dituturkan oleh Talcott Parsons, bahwasannya setiap individu mempunyai kebutuhan untuk mengaktualkan identitasnya, namun di balik itu, tiap individu juga mempunyai kecenderungan yang sama untuk mencari titik ekuilibrium atau titik keseimbangan. Obyek bidik yang tepat bagi bahasan pluralisme adalah wilayah hubungan antara agama dan sosial bukan wilayah keimanan.
Jika kemudian Islam dengan konspe ajarannya seringkali ‘berpenampilan’ garang dan kurang terbuka terhadap perbedaan, tentu bukanlah kesalahan dari ajaran melainkan adanya missing link antara teks dengan konteks. Jika kita berpikir historis, kita akan menemukan sejarah perjalanan Nabi Muhammad yang begitu akomodatif dalam mengatur perbedaan. Hal itu nampak ketika ia mendeklarasikan Piagam Madinah untuk mengatur tata kehidupan masyarakat madinah waktu itu yang terdiri atas masyarakat muslim dan non-muslim. Bisa dibilang, Piagam Madinah adalah bentuk peraturan konstitusional pertama yang mengakomodasi kepentingan dari kelompok-kelompok yang berbeda keyakinan agama. Nabi Muhammad dengan semangat kemerdekaan individu secara langsung ingin mencitrakan Isalam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Jadi, Islam diturunkan oleh Allah tidak semata hanya untuk umat Islam saja, namun juga bagi semua kalangan termasuk yang tidak mengimaninya.
Sebagai muslim, harus bisa membedakan antara Islam (murni sebagai doktrin) dan Islam yang berkembang di ranah sosial. Islam sebagai ajaran murni adalah ajaran agama yang dibawa Muhammad yang bersumber dari Allah dengan tujuan menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Sedangkan Islam sebagai agama yang berkembang di ranah sosial adalah seperangkat ajaran Islam tentang peribadatan dan hukum-hukum (fiqh) yang sudah menyatu dengan kebudayaan di mana Islam pertama kali dipahami dan berkembang. Oleh sebab itu tidak bisa disangkal bahwa Islam mau tidak mau selalu terikat ruang dan waktu. Islam yang berkembang dua ratus tahun yang lalu pasti berbeda dengan Islam yang berkembang di era kekinian. Begitu juga Islam yang berkembang di Afrika tentu berbeda dengan Islam yang berkembang di Asia. Kostruksi sosial yang berbeda senantiasa membuat Islam berevolusi menyesuaikan kebutuhan zaman, walau dari segi subtansinya, Islam di mana dan kapanpun ia berkembang tetaplah sama.
Agar Islam bisa mempertahankan reputasinya sebagai rahmatan lil ‘alamin dan shalihun li kulli zaman wa makan, diperlukan penafisran yang tidak hanya normatif, namun juga mengedepankan sisi historis. Tafsir al-Qur’an dan Hadist dituntut mampu menjawab kegelisahan manusia modern yang sering kali gamang melihat persoalan. Kritik untuk model penafsiran klasik adalah matinya teks tersebut ketika berusaha ditarik ke wilayah kontekstual atau realitas kehidupan. Teks-teks keagamaan yang dipahami secara normatif terkesan terengah-engah mengikuti gerak zaman yang dinamis. Tantangan ini harus segera dijawab dengan langkah nyata. (Zuly Qodir, 2007: 24)
Respon dari gerak dinamis kehidupan dan ketidakmampuan ilmu-ilmu agama yang bercorak positivistik-noramtif itu melahirkan tradisi berpikir baru yang lebih berani dalam melakukan pembacaan ulang atas teks-teks keagamaan dan kemudian mereinterpretasikan makna yang dikandungnya. Aktifitas penafisiran dengan model seperti itu dikenal dengan istilah hermeneutika. Dalam perkembangannya hermeneutika terpecah dalam beberapa aliran. Aliran-aliran hermeutik itu dilatarebelakangi oleh pemikiran tokoh-tokohnya. Untuk menyebut beberapa nama misalnya, hermeneutika versi Hans Robert Gadamer (Sumaryono, 1999). dikenal dengan hermeneutika Gadamerian, hermeneutika versi Jaques Derrida kemudian disebut hermeneutika Derridarian. Namun secara substansial, kesemuanya ada dalam koridor batas yang sama yaitu metode pembacaan teks yang tidak sekedar mengalihbahasakan dari bahasa asli ke bahasa sang pembaca namun juga mencari makna baru dari tafsir yang sudah dimunculkan pada pemaknaan sebelumnya (reproduktif). Model penafsiran seperti ini memungkinkan pembaca untuk masuk ke dalam sudut pikir penulis, sehingga ada kedalaman makna yang ditampilkan.
Lalu apa signifikansi hermenutika bagi perkembangan Islam dan khususnya terhadap gagasan Teologi Humanis seperti yang digagas dalam tulisan ini? Selama ini, umat Islam hanya terpancang pada satu tradisi berpikir yang mendewakan teks. Teks-teks keagamaan diyakini sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Muhammad Arkoun bahkan sampai menyebut bahwa penyakit utama umat Islam era kontemporer adalah taqdisu afkari diniyyah (pensakralan terhadap agama). Hal itu berjalan sekian lamanya, turun temurun dari beberapa generasi ke generasi selanjutnya. Side effectnya adalah Islam berkembang ke arah yang tak lagi sejalan dengan semangat awal ketika masa Nabi Muhammad yaitu Islam yang ramah menebar kedamaian untuk semua manusia tanpa terkecuali. Aspek normatifitas yang terlalu mendominasi pelaksanaan keislaman oleh sebagian besar umat telah menyebabkan matinya nilai-nilai humanitas dalam Islam.
Padahal humanitas seperti dituturkan oleh John Harwood Hicks adalah inti dari semua ajaran agama. Faktanya memang semua agama mengakarkan kebaikan dan kasih sayang antar manusia, bukankah itu unsur-unsur pembantuk humanisme? Terkadang perselingkuhan teks (baca: agama) dengan bermacam kepentingan (politik kekuasaan, ekonomi, dominasi golongan atau yang lainnya) menyebabkan mandulnya peran agama dalam menciptakan satu keadaan sosial yang sehat, bebas dari hegemoni kelas dan bebas dari kekerasan. Pernyataan Gregory Baum mungkin pantas diperhitungkan dalam masalah ini, di berujar bahwa misi awal Islam adalah liberatif-emansiatorif, kalau dalam perkembangannya Islam kemudian menjadi kekuatan penghancur atas apa yang bertentangan darinya, maka Islam secara historis telah menyalahi misi awalnya dan niscaya lambat laun akan ditinggalkan (sebagian) para pemeluknya.
Hal mendesak yang harus dilakukan sebelum Islam benar-benar berganti wajah menjadi wajah garang adalah upaya membongkar tradisi pikir eksklusif, taqdis dan budaya truth claim. Amin Abdullah, (1999) misalnya dalam pemikiran epistemologi Integrasi-Interkoneksi berusaha menalanjangi kejumudan tradisi berpikir dalam Islam kemudian menggantikannya dengan tradisi berpikir baru yang lebih relevan dengan konteks kekinian dan keIndonesiaan. Ia (Amin) tidak sepenuhnya yakin bahwa ilmu bisa berdiri sendiri sebaghai sebuah single entity. Di zaman klasik para pemikir cenderung menempatkan Ilmu sebagai kluster-kluster yang berbeda satu sama lain dan dibatasi oleh garis batas demarkasi. Hampir tidak ada celah untuk berdialog. Bahkan antara satu tradisi berpikir yang satu dengan tradisi berpikir yang lain saling menyalahkan, mengkafirkan dan semacamnya (ingat kasus antara epistemology Bayani, Burhani dan Irfani). Pola itu tentu berakibat negatif dalam praksis sosial, terbukti Islam yang tumbuh dalam tradisi berpikir rigid seperti itu lambat laun berubah citranya, dari agama santun menjadi agama radikal. Ironis memang, adanya missing link antara teks dengan konteks telah mereduksi makna dan menimbulkan sekian banyak (meminjam istlahnya Thomas Khun) anomali-anomali.
Pendidikan Bercorak Multikulturatif-Liberatif: Sebuah Solusi Clash of Religion Community
Pendidikan adalah elemen penting pembentuk jati diri bangsa. Nasib masa depan dari sebuah paradaban bangsa ditentukan oleh kualitas sistem pendidikan. (Paulo Freire, 1999). Sistem pendidikan yang tidak ‘menceraikan’ peserta didik dengan konteks kehidupan beserta tantangan problematika yang dihadapi akan membentuk bangsa dengan heterogenitas tinggi untuk senantiasa hidup dalam harmoni kedamaian. Begitu pula dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu Islam. Pendidikan multicultural-liberatif adalah model pendidikan yang dipandang relevan diterapkan di Indonesia yang pluralis. Model pendidikan ini menawarkan nilai-nilai dasar yaitu penanaman dan pembumian sikap toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial. Dari sistem pendidikan ini diharapkan lahir generasi yang tak hanya mempunyai kesalehan individual tetapi juga mempunyai kesalehan sosial. Satu hal yang harus digaris bawahi dalam proses ini adalah jangan sampai isu-isu pluralitas, toleransi dan inklusifitas hanya berhenti pada ranah wacana tanpa diaplikasikan pada praksis sosial. Tidak mudah memang bagaimana satu paham (baca: paradigma) bisa memperoleh simpati di kalangan luas dan mendapat sosial acceptance. Kepentingan kekuasaan, politis dan status quo adalah halangan terbesar agenda pendidikan yang bercorak multikulturatif –liberatif.
Model pendidikan yang selama ini dijalankan di wilayah keagamaan, faktanya sering melahirkan fanatisme keagamaan yang pada akhirnya menimbulkan gerakan radikal. Beberapa contoh kasus kerusuhan antar agama dan beberapa terror bom di Indonesia adalah contoh nyata kegagalan sistem pendidikan agama yang selama ini diterapkan di Indonesia. Penulis yakin ada kaitan antara tindak sentimen keagamaan dengan sistem pendidikan karena di lapagan, orang-orang yang terlibat dalam gerakan fundamentalis-liberal sebagian besar adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan baik formal (sekolah) atau non formal (Islam: pesantren). Hal itu bisa terjadi karena praktik pendidikan agama kurang menyentuh aspek realitas sosial. Padahal bidang garap ilmu-ilmu agama sebagaimana diungkapkan oleh Amin Abdullah tidak hanya sampai ke wilayah teologis (ketuhanan), namun merambah sampai ranah sosial. Sistem pendidikan agama yang selama ini diterapkan cenderung bergaya dogmatis dan eksklusif sehingga tidak mengeherankan jika SDM yang dihasilkannya pun berideologi yang serupa. Sanagt perlu untuk dimunculkan sistem pendidikan baru yang visible untuk mencetak insan muslim moderat yang mampu mencari solusi atas beragam konflik agama yang kian merebak di masyarakat.
Di Indonesia khususnya, model yang tepat tentu saja harus digali dari aspek sosiologis, antropologis dan teologis masyarakatnya. Terminologi itu dalam epistemilogi Amin Abdullah dikenal dengan teoantroposentris yang kemudian ia kembangkan menjadi epistemologi integrasi-interkoneksi keilmuan. Epistemologi itu di tahap yang paling awal berusaha menghapus dikotomi ilmu umum dan ilmu agama yang sampai saat ini masih kental mejadi adagium dalam pendidikan. Pendidikan multikulturatif-liberatif sedianya menawarkan paradigma baru bagi pendidikan keagamaan di Indonesia, yang bebas dari intervensi negara. Pendidikan yang diselenggarakan bukanlah untuk mencetak intelektual positivis yang hanya bisa memecahkan problem dari sudut pandang keilmuan namun mencetak intelektual yang mampu mengawal perkembangan agama agar benturan antar agama tidak berakhir menjadi satu konflik melainkan berakhir dalam sebuah dialog. Ali Syari’ati (Eko Prasetyo, 2007), membahasakannya dengan istilah rausyan fikr, yaitu intelektual yang tidak hanya piawai berretorika dengan teks-teks keagamaan tanpa tahu problem dasariah umat, namun inteletual yang terjun langsung mengurai benang kusut umat beragama.
Pluralisme keberagamaan yang dipupuk lewat aspek pendidikan adalah mesin transformasi sosial yang efektif untuk merubah cara pandang masyarakat dari narrowminded ke arah openminded. Paham toleransi adalah langkah awal terbukanya kesempatan dialog antar agama dan kemudian melakukan aksi nyata. Misalnya bekerja sama dalam keadaan sulit seperti ketika terjadi bencana dan semacamnya. Alih-alih antara agama saling ribut dan mengklaim dirinya yang paling benar alangkah eloknya jika perbedaan tersebut diterima sebagai sebuah keniscayaan kehidupan dan mengalihkan tensi aktifitas ke isu yang lebih produktif. Tujuan final pencapaian pendidikan multikultural-liberatif adalah memunculkan kesadaran peserta didik bahwa tugas manusia adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Tak bisa ditawar lagi, pendidikan berbasis multikulturalisme dan pluralisme urgen untuk diterapkan di Indonesia. Mengingat begitu rawannya keberagamaan kita digesek lalu dibenturkan dalam perang terbuka. Perlu ditanamkan sifat kedewasaan dalam beragama. Nilai penting ajaran agama juga harus didesain ulang. Selama ini, agama lebih dipahami sebagai sesuatu yang simbolis yang dikemas dalam satu kultur atau style yang sebenarnya tidak agamis. Dalam Islam misalnya, Islam yang kaffah sering disimbolkan dengan sesuatu yang kearab-araban dari segi fashion dan tampilan. Tingkat keislaman seseorang kemudian hanya dilihat dari apakah ia memakai gamis, berjenggot, memakai sorban, memakai celana di atas mata kaki, berjidat hitam, berjilbab dan lain sebagainya. Abdurrahman Wahid (2003) melihat fenomena tesebut dengan paradigma Arabisasi. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa semua agama tidak bisa tidak harus melewati tiap fase kehidupan yang di dalamnya tentu tidak bisa mengelak dari persinggungan dengan budaya. Simbol-simbol Islam seperti jilbab, gamis dan lain-lain adalah produk budaya Islam ketika bersinggungan dengan realitas Arab pada waktu itu. Nilai-nilai toleransi, semangat kebersamaan dan kesetaraanlah yang seharusnya ditampilkan dalam kehidupan keberagamaan.
Menggalang Dialog dan Kerjasama Antar Agama
Satu pertanyaan yang pantas untuk mengawali pembahasan dalam sub bab ini adalah ‘bagaimanakah sikap al-Qur’an ketika berhadapan dengan agama lain? Apakah Islam harus menerima kebenaran mereka juga dan bagaimana Islam lewat al-Qur’an mengatur hubungan masyarakat beda agama? Semua pertanyaan tersebut sebenarnya telah terjawab oleh al-Qur’an. Dalam surat al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terlepas. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.
Ayat di atas bisa dipahami bahwa Islam sendiri mengakui eksistensi manusia untuk memilih keyakinan agama. Tidak ada satu pun yang berhak mengintervensi seseorang untuk masuk dalam agama tertentu. Ayat tentang kebebasan beragama di atas mengandung dua macam makna. Pertama, bahwa kebenaran keberagamaan tidak ditentukan oleh manusia atau kelompok sosial melainkan ditentukan oleh Allah. Fazlur Rahman (Islam and Modernity) menegaskan bahwa kebebasan beragama ini erat kaitannya dengan klaim kebenaran oleh sebagian pemeluk agama. Ditinjau dari ayat al-Qur’an Rahman sepakat bahwa klaim kebenaran adalah tindakan arogan yang menyalahi ketentuan agama Islam sendiri karena yang berhak menentukan sesuatu itu benar atau salah hanyalah Allah sebagai pemilik kebenaran sejati.
Sekali lagi ditekankan bahwa kebebasan beragama penting ditanamkan menjadi paradigma berpikir masyarakat pluralis. Bentuk dari kebebasan beragama salah satunya adalah tidak mengajak atau bahkan memaksa seseorang yang sudah beragama untuk masuk ke dalam salah satu agama. Hal ini juga diatur dalam hukum positif Indonesia, di mana setiap agama diberi hak untuk beribadah dan menyabarkan ajarannya dengan catatan tidak ada pemaksaan. Sebenarnya, ditinjau dari perangkat hukum (UU) Indonesia sudah mempunyai semacam protectioan law untuk mencegah timbulnya konflik horizontal antara agama. Namun, lagi-lagi fundamentalisme keberagamaan yang begitu kuat membudaya dalam masyarakat tidak bisa dengan mudah digeser dengan paradigma yang lebih moderat dan humanis.
Di dalam masyarakat, terlepas apakah itu masyarakat agraris, industrialis, kapitalis atau komunis, pasti terdapat konsep pengidolaan. (Anthony Giddens, 1985), Satu atau dua dari anggota masyarakat yang dianggap pantas untuk memimpin kemudian diangkat menjadi pemimpin walau tanpa keputusan tertulis. Budaya ini juga terjadi dalam Islam (Sunny khususnya), yang dikenal dengan sebutan kiai, ulama, syekh dan semacamnya. Perannya dalam masyarajat cukup sentral. Di kalangan muslim tradisional (katakanlah yang masih tinggal di perkampungan dan memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah) kiai atau orang yang dianggap tahu tentang agama memiliki otoritas yang lebih dibanding pemerintah. Segala yang dikatakan olehnya, maka sebuah keharusan bagi para pengikutnya, dengan tidak lagi menghidupkan budaya kritis untuk sekedar tahu apakah ucapan kiai itu benar atau penuh dengan tendensi personal. Dalam konteks ini, kiai kemudian menjelma menjadi role model, trend setter serta penguasa dari sebuah grand theory. Sayangnya, sebagian besar elit agamapun masih terjebak pada pemahaman keberagamaan primordial dan ekslusif. Dari hasil analisa gerakan-gerakan radikal di Indonesia termasuk gerakan jihad versi Imam Samudera cs tidak murni berasal dari grass root Islam, namun digerakkan oleh elit-elit fundamentalis yang kebetulan mempunyai power untuk menggerakkan umat pengikutnya.
Ketika sayap kiri (baca: golongan Islam inklusif) melakuakan counter radical, maka yang paling efektif adalah memberi kesadaran pentingnya toleransi dan dialog antar agama pada para elit agama terlebih dahulu. Mengingat masih kuatnya budaya pengidolaan dalam masyarakat beragama di Indonesia. Cukup menggembirakan dan membanggakan melihat fakta bahwa kesadaran akan toleransi dan dialog antar agama tersebut kian hari kian meningkat. Layaknya jamur di musim penghujan, banyak sekali bermunculan forum-forum kajian lintas agama baik yang hanya berupa kegiatan seminar-seminar sampai lembaga-lembaga non pemerintahan (LSM) bahkan di beberapa perguruan tinggi telah dibuka konsentrasi studi tentang dialog lintas agama dan yang terkait konflik antar agama (beberapa diantaranya adalah CRCS di UGM dan Studi Agama dan Resolusi Konflik di UIN Yogyakarta), sayangnya kedua program studi tersebut hanya ada di jenjang strata dua. Dialog antar agama memang tidak bisa instan lalu menghasilkan tawaran ideal bagu hubungan antar agama. Dinamisnya masyarakat beragama juga berbanding lurus dengan masalah-masalah yang muncul. Thus, idealnya adalah terjadi komunikasi dan dialog yang berkelanjutan antar agama, demi menghindari kesalahpahaman yang sering berujung pada konflik. Lembaga-lembaga kajian lintas agama diharapkan tidak bersifat sporadis atau bekerja hanya untuk mendapatkan grand project dari lembaga donor asing, tentu hal itu akan megaburkan misi awal untuk menyandingkan agama-agama dalam satu barisan paduan suara yang menyanyikan lagu persatuan dan perdamaian.
Kesimpulan
Membicarakan agama dalam penggal sejarah kapanpun, terpaksa harus diakui bahwa selain berisi ajaran tentang kedamaian, cinta kasih dan janji-janji sorga, agama (tentu tidak dipahami an sich) juga menyimpan sisi potensi konflik. Sejarah telah mencatat setumpuk cerita kelam pertarungan antar agama yang menumpahkan darah-darah pejuang pembela kepercayaan yang diklaim menjadi kebenarana universal. Dalam sebuah kesempatan, Gandhi pernah ditanya oleh seseorang, “Jika memang ada satu kebenaran (Tuhan), mengapa harus ada banyak agama?” Gandhi menjawabnya dengan ilustrasi sebuah pohon besar yang memilki banyak cabang, di cabang-cabang tersebut tumbuh ranting-ranting kecil dan di sela-sela ranting itu menggantung dedaunan. Alangkah indahnya jika antar cabang, ranting maupun daun tidak saling ingin membinasakan namun sebaliknya saling menopang demi keberdirian pohon.
Jelasnya, perbedaan (apapun) haruslah dipahamai sebagai kenyataan hidup. Bukankah dalam Islam sendiri dikenal idiom ‘perbedaan adalah rahmat’. Perbedaan, baik yang dimunculkan oleh sebuah proses shifting paradigma atau apapun hendaknya disikapi dengan bijak, mujadalah bil laty hiya akhsan tentu akan lebih mulia dibanding clash berkepanjangan. Dalam dekonstruksi cara beragama seperti yang penulis tawarkan dengan konsep Teologi Humanis di atas, terlihat bahwa agama tidak hanya dipahami sebatas sebagai dogma, kulit muka, institusi-institusi dan ritual-ritual seperti yang dipahami akhir-akhir ini. Lebih penting dari beberapa hal tersebut adalah keharusan umat agar menempatkan agama sebagai sebuah bentuk relativisme (tanpa terjebak pada pemahaman postmodern) dan lebih mementingkan isi, substansi dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Intinya, dogma agama penting bagi dasar eksistensi agama secara independent, mustahil satu agama ‘meminjam’ ajaran agama lain sebagai dogma, namun di tangan pemeluk agama, dogma tidak lagi mempunyai otoritas untuk membenarkan diri dan merusak eksistensi dogma agama lain.
Yang terjadi di masyarakat kekinian tidaklah demikian. Betapa masyarakat mementingakan ritus agama melebihi isi dan pengalaman manusia sebagai pelaku agama. Ketika itu semua memuncak dalam satu paradigma besar kehidupan, muncul pertanyann, bagaimana roh agama bisa membangun peradaban manusia yang penuh dengan keadilan dan perdamaian jika perbedaan antar agama selalu dijadikan alasan untuk bertindak tidak adil bahkan tidak manusiawi? Problem antar agama semakin rumit ketika keyakinan satu pemeluk agama kemudian pada akhirnya mengantarkannya pada ekspresi keberingasan untuk menyerang kelompok lain yang berkeyakinan beda. Pertanyaan di atas mungkin cukup memicu refleksi cara berteologi yang dipahami selama ini. Teologi Humanis sebagi konsep berpikir mungkin memberi warna baru bagi hubungan antar agama-agama.
Penulis meyakini bahwa maslah besar yang dihadapi pemeluk agama di era glonbalisasi ini adalah di seputar penafsiran umat atas teks-teks keagamaan. Tak bisa disangkal, hampir semua kitab suci agama meriwayatkan kisah kekerasan, namun cerita-cerita itu dituturkan bukan untuk ditiru. Cerita-cerita tersebut adalah ibrah, pesan Tuhan agar manusia di kehidupan yang akan datang tidak melakukan hal serupa. Teks sebagaimana dituturkan para hermeneut haruslah dipahami dengan tidak memisahkannya dari konteks. Saat ini yang dibutuhkan adalah pemahaman teks kegamaan yang sesuai dengan konteks pengalaman kemanusiaan yang sedang dihadapi. Pemahaman yang berdasarkan akar historis semata akan membawa manusia ke legitimasi kekerasan dari yang satu atas yang lain. sudah lama manusia merindukan rahmat berwujud kedamaian hidup. Untuk apa beragama jika setiap detik kita dituntut untuk selalu menjadi yang peling benar dan itu berarti kita harus memusnahkan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita? Pada umumnya manusia meyakini bahwa agama bisa mengantarkannya menuju kedamaian, bahkan yang sifatnya abadi. Namun dalam prosesnya, seringkali manusia lupa akan tujuan awal diturunkannya agama. Kebenaran agama kemudian menjadi mutlak dipertentangkan.
Akhirnnya setiap invidu agama harus sadar bahwa warna-warni hidup adalah sebuah fakta sejarah. Sudah saatnya sifat kekanak-kanakan dala beragama dihapus total dari pemahaman kita. Agama bukanlah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan beragamam permasalaha kehidupan yang kita hadapi. Beragama, jelas bukan pekerjaan meniti lorong waktu lalu kembali pada masa lampau di mana pertama kali agama turun. Paham romantisisme seperti ini hanya akan mengasingkan manusia dari ajaran agamanya sendiri. akibat paling nyata dari pola pikir itu adalah munculnya manusia-manusia yang mengaku mampu membela Tuhan dengan gerakan radikal-anarkisnya. Padala menurut penulis, tidak ada Tuhan dalam agama apapun yang pantas untuk dibela, yang wajib dibela adalah rasa moralitas dan humanitas manusia sendiri yang kian hari kian menjadi barang langka. Bukanlah Tuhan yang ada di balik perjuangan kaum-kaum radikal. Kesombongan, kecongkakan dan hasrat untuk berkuasa yang tak terbendunglah Tuhan mereka, karena pada dasarnya tidak ada Tuhan yang memerintahkan umatnya untuk membinaskan golongan yang berbeda. Seperti ditulis Gibran dalam satu sajaknya, “ Perdamaian ada bersamamu, yang terjaga”. Semoga para insan beragama senantiasa terjaga untuk tidak gelap mata lalu membenarkan tindakan radikal atas nama agama.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, ”Kata Pengantar” dalam Ilham B. Saenong, Hermenetika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Mizan, Teraju, 2002
----------------------, Islamic Studies di Peguruan Tunggi Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan terj. Zainul Am (Bandung: Mizan, 2001
Engineer, Ali Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Krirtis, Jakarta: Gramedia, 2004.
Freire, Paulo, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyanto Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Giddens, Anthony, Kapitallisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim dan Weber terj. Suhera Kramadibrata, Jakarta: UI PRESS, 1985
Mulkhan, Abdul Munir, Teologi Kiri: Landasan Membela Kaum Mustadz’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002
Prasetyo, Eko, Jadilah Intelektual Progresif. Yogyakarta: Ressist Book, 2007
Qodir, Zuly, Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Rahmena, Ali (ed.). Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995
Russsel, Bertrand, Bertuhan Tanpa Agama,Yogyakarta: Ressist Book, 2008
Sumaryono, E., Hermeneutik Yogyakarta: Kanisius, 1999
Wahid, Abdurrhaman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2003
Pendekatan Tradisional dan Revisionis dalam Islamic Studies
Judul buku : Strategies for Social Research: The Methodological Imagination in Islamic Studies (Bahan Kuliah untuk Metodologi Penelitian dalam Bidang Studi Islam)
Pengarang : Akh. Minhaji
Penerbit : SUKA-Press
Tahun terbit : Mei, 2009
Tebal : viii+ 132 hlm
Oleh: Fina ‘Ulya
Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Buku ini merupakan karya Prof. Drs. Akh. Minhaji, M.A., Ph. D., seorang profesor dalam islamic studies. Beliau sangat intens dalam menggeluti kajian tersebut, hal itu dibuktikan dengan berbagai karyanya baik dalam bentuk jurnal ilmiah maupun buku, seperti Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (2001), Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schact (2001), Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (2003), Islamic Law and Local Tradition (2008), Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi dan Sejarah Sosial Pemikiran Islam (Forthcoming). Peran beliau dalam membangun strutur fundamental tentang ilmu keislaman di UIN Sunan Kalijaga diantaranya dengan men-design ulang dan reformulasi kurikulum dan silabus.
Dalam buku ini memuat berbagai macam metode dalam kajian islamic studies, diantaranya, traditional approach (pendekatan tradisional) dan empirical approach (pendekatan empiris). Kedua pendekatan tersebut merupakan paradigma besar dalam islamic studies, yang mana dapat digunakan untuk menganalisis bentuk atau corak seorang ilmuwan baik Barat maupun Timur dalam mengkaji Islam. Selain itu, kedua pendekatan tersebut juga dapat digunakan untuk melihat problem yang dihadapi umat Islam kontemporer. Buku ini merupakan bahan kuliah untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Agama (Islam) untuk Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namun demikian, buku ini juga berguna bagi siapapun terutama yang menekuni studi agama.
a. Agama sebagai Tradisi dan sebuah Keimanan
Agama bukanlah sesuatu yang turun di ruang hampa, yang tidak mengenal locus dan tempus, akan tetapi agama lahir pada suatu waktu dan tempat yang telah memiliki adat dan budaya sendiri. Sebelum berbicara lebih lanjut tentang agama, ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan “Apa yang disebut dengan agama?” apakah sesuatu yang menentramkan jiwa? Ataukah sesuatu yang memiliki daya jual tinggi? Dalam mencari definisi agama bukan hal yang mudah karena sangat banyaknya definisi yang telah diberikan kepada istilah tersbut. Menurut Edgar S. Brightman;
“Agama ialah suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tertinggi. Pengabdian keapada suatu kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan yang melestarikan nilai-nilai ini, dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain yang bersifat perseorangan dan yang bersifat kemasyarakatan”.
Pernyataan di atas menunjukkan agama merupakan sebuah pengabdian terhadap pemilik kekuasaan yang menjadi asal-mula segala sesuatu. Selain itu agama muncul dalam tempat dan waktu tertentu, dimana tidak dapat lepas dengan keadaan, tradisi dan adat pada saat agama tersebut muncul. Oleh karena itu, dalam mengkaji agama harus dapat membedakan antara faith dan tradition. Faith adalah “aspek internal”, tidak terkatakan dan orientasi terdalam, sedang tradition adalah “aspek eksternal keagamaan” atau aspek sosial-historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Aspek historis dapat ditemukan dalam pengalaman dan tindakan umat agama tersebut dalam menunjukkan keimanannya
Hal yang sama seperti diungkapkan oleh Charles J. Adams, menurutnya konsep agama melingkupi dua aspek yaitu pengalaman kebatinan seseorang (inward experience) dan perilaku luar seseorang (outward behaviour). Tujuan studi agama adalah untuk mengetahui dan memahami perilaku pribadi dan nyata seseorang. Studi agama harus memiliki kemampuan yang terbaik dalam mengeksplorasi baik aspek yang nyata maupun aspek yang tersembunyi dari fenomena keberagamaan. Dua aspek keberagamaan (tradition dan faith, inward experience dan outward behavior, hidden dan manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena keduanya adalah satu kesatuan. Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek kehidupan dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi seorang akademisi harus mampu menggunakan tradisi dan aspek luar dari suatu agama sebagai landasan untuk melakukan studi agama.
Mengenai hal tersebut, Adams sepakat dengan pandangan Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradisi (tradition) dan keimanan (faith), dimana kedua aspek tersebut masing-masing memiliki komponen-komponen di dalamnya.
No. Tradition Faith
1. External Internal
2. Observable social Ineffable
3. Historical aspect Transcendentally oriented
4 - Private dimension of relegious life.
b. Bentuk-bentuk Pendekatan dalam Kajian Islamic Studies
Dalam melakukan studi islami, yang menjadi obyek penelitian adalah aspek tradisi dari agama tersebut. Hal ini juga berlaku dalam meneliti agama yang lain. Lebih dari beberapa dekade yang lalu, Barat telah mengembangkan dua pendekatan berbeda, yaitu pendekatan tradisional (traditional approach) dan pendekatan pendekatan revisionis atau kritik sumber (source critical approach) dalam mengkaji sejarah awal Islam dan kedudukan al-Quran sebagai sebuah kitab suci yang didalamnya. Ada bentuk pembagian lain dalam pendekatan studi islam,
Non empirical (normative)
Islamic Studies
Empirical approach (description)
Source critical
Irenic
Historic Phenomenological
Reduction
“Or”
Non normative approach/ Irenic dan Phenomenological
Empirical approach
Source critical approach
(Revisionist approach)
Dalam tulisan ini, menggunakan teori J. Koren dan Y.D Nevo dalam pembagian antara pendekatan tradisional dan pendekatan kritik sumber. Prof. Akh Minhaji menempatkan teori ini dalam kelompok historical-empirical approach. Pendekatan tradisional (tradisional approach) adalah sebuah pendekatan yang hanya membatasi dalam penelitiannya sumber-sumber yang berasal dari sarjana muslim, dan menganalisisnya berdasarkan pada premis-premis dan asumsi-asumsi yang berkembang di dunia Islam. Dalam pendekatan tradisional, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya:
1. Literatur-literatur sarjana muslim yang datang dari pertengahan abad ke-2/8 dan selanjutnya, pada kenyataannya benar-benar menggambarkan fakta-fakta sejarah mengenai periode pra-islam, kemunculan Islam dan penaklukannya. Oleh karena itu, seseorang dapat merekonstruksi fakta sejarah dengan valid, misalnya mengenai sejarah masyarakat jahili di Hijaz, kemunculan Islam dan biografi nabi, penaklukan Islam terhadap daerah dekat-Timur, sejarah awal pemerintahan Islam, semua data sejarah tersebut bersumber dari sarjana muslim.
2. Jika terjadi perbedaan dan bahkan pertentang informasi mengenai suatu peristiwa, maka diselesaikan dengan cara mengkaji rangkaian transmisi dari para pembawa berita (rawi) yang dikenal dengan sanad atau isnad.
3. Data tertulis menjadi sangat dominan bahkan hampir tidak diperlukan bukti lain dalam proses analisa peristiwa sejarah.
4. Menolak argumen e-salentio, dan menyatakan bahwa tidak adanya bukti-bukti lain selain yang terdapat dan disebut di dalam data tertulis tidak bisa menegasikan peristiwa sejarah yang telah tertulis dalam dokumen tertulis tersebut. Koraborasi antara literatur dengan bukti empiris lainnya tidaklah menjadi keharusan.
5. Al-quran dianalisis berdasarkan tradisi yang berkembang dalam kalangan ilmuwan Islam.
6. Analisa linguistik juga berkembang di kalangan muslim masa klasik tetapi analisa linguistik modern dipandang tidak relevan bahkan tidak diperlukan.
Pendekatan revisionis atau kritik sumber (source critical approach) adalah pendekatan yang dalam analisisnya menggunakan metode kritik teks, selain itu menggunakan bukti-bukti yang relevan dengan literatur-literatur non Arab kontemporer, menggunakan hasil penemuan arkeologi , epigrafi dan numismatik , yang mana semua sumber tersebut tidak digunakan dalam pendekatan tradisional. Perbedaan kedua pendekatan tersebut terlihat nyata dalam hasil penelitiannya. Jika pendekatan tradisional menghasilkan konklusi yang bisa diterima oleh umat Islam, karena tidak bertentang dengan apa yang mereka pahami. Berbeda dengan pendekatan revisionis atau kritik sumber, pendekatan ini cenderung menghasilkan konklusi yang memunculkan konflik dengan umat Islam. Salah satu alasannya, dalam pendekatan ini menolak kebenaran historis atau fakta-fakta yang diambil dari sumber-sumber literer Islam.
Ada tiga hal dasar yang urgen dalam pendekatan kritik sumber atau pendekatan revisionis, yaitu: pertama, kritis terhadap teks-teks sejarah, kedua adanya keharusan untuk membandingkan apa yang tertulis dengan konteks kekinian pada tradisi keislaman, ketiga penggunaan bukti material kontemporer (arkeologi, numismatik dan epigraphi) sehingga penerimaan kesimpulan yang diperoleh dari metode tersebut tampaknya akan lebih sah.
Para ilmuwan yang menggunakan pendekatan tradisional dalam studi kajian Islam diantaranya, Charles J. Adams, William M. Watt, Searjeant. Sedang ilmuwan yang menggunakan pendekatan kritik sumber atau pendekatan revisionis, diantaranya Jhon Wansbrough, Andrew Rippin, Patricia Crone, Michael Cook dan Bernard Lewis
c. Contoh-contoh teks dalam Pendekatan Tradisional dan Revisionis
Di atas telah disebutkan ada beberapa tokoh yang dalam penelitiaanya menggunakan pendekatan tradisional dan revisisionis atau kritik sumber. Dalam tulisan ini hanya membahas dua tokoh, yaitu William M. Watt (pendekatan tradisional) dan Andrew Rippin (pendekatan revisionis atau kritik sumber).
William M. Watt adalah Guru Besar studi Islam di Universitas Edinburg, Inggris dan pemuka agama Anglikan. Karya-karyanya yang menonjol yaitu Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina, kedua-keduanya bercerita tentang Nabi Muhammad. Penguasaan Watt terhadap bahasa dan budaya Arab serta pendalaman dia terhadap karya-karya klasik, misal karya Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali, sehingga membuat dia mampu menghadirkan karya-karya menarik. Ada sisi menarik pada diri Watt, sebagai ahli Islam yang non muslim dia sangat bersimpati kepada Islam. hal itu ditunjukkan dalam kedua bukunya yeng membicarakan tentang kehidupan nabi Muhammad. Dalam tulisannya tampak bahwa Watt sangat mengagumi beliau dan banyak memberi ulasan yang simpatik mengeai perjuangannya.
Salah satu teks dalam bukunya “Muhammad at Mecca”, yang menunjukkan bahwa Watt menggunakan pendekatan tradisional, yaitu
“…I am convinced that Muhammad was sincere in believing that what came to him as revelation (wahy) was not the product of conscious thought on his part. I consider that Muhammad was truly a prophet, and think that we Christians sholud admit this on the basis of the Christian principle that ‘by their fruits you will know them’ since through the centuries Islam has produced many upright and saintly people”.
Dalam pendekatan tradisional, hasil atau konklusi dari sebuah penelitian tidak bertentangan dengan apa yang diyakini oleh pihak yang diteliti. Dalam hal ini, konklusi dari penelitian Watt tidak bertentang dengan apa yang diyakini oleh umat Islam sehingga tidak menimbulkan pertentangan atau konflik dengan umat Islam. Walaupun begitu, bukan berarti Watt sepi dari kritik dari ilmuwan lain, salah satunya Patricia Crone—diamana dia mengunakan pendekatan revisionis. Crone mengkritik pandangan Watt dalam buku “Muhammad at Mecca”. Watt menjelaskan bahwa Makkah tumbuh menjadi pusat perdagangan yang besar dan prestisius karena terkait dengan ka’bah. Pandangan tersebut ditentang oleh Crone, apa yang dikemukakan Watt adalah sebuah kekeliruan, menurutnya orang-orang Mekkah percaya bahwa perdagangan selama musim haji adalah haram. Oleh karena itu, pandangan yang menyebutkan bahwa rahasia kemunculan Islam disebabkan karena perdagangan mekkah, menurut Crone hal itu hanya merupakan mitos dan bukanlah sebuah fakta.
Andrew Rippin, merupakan salah satu ilmuwan yang menggunakan pendekatan revisionis atau kritik sumber dalam studi Islam. Rippin merupakan ilmuwan yang produktif dalam bidang studi islam terutama dalam topik periode formatif peradaban Islam di dunia Arab, serta al-Quran dan sejarah penafsirannya. Rippin menggunakan metodologi analisis literer (literary analisis). Dalam mendekati suatu kata atau istilah berdsarkan karya historitas penulis awal, kendati hanya sebatas pada data-data yang dapat diaksesnya(karena masih banyak karya yang belum tersingkap atau terakses olehnya). Selain itu, dia juga hanya membatasi pada karya-karya Arab. Dia juga sangat apresiatif menggunakan literatur klasik, walaupun dia sering mengkritisi kebenaran yang ada dalam informasi tersebut.
Menurutnya, permainan kata-kata dalam al-Quran merupakan sebuah fenomena yang merupakan bagian dari proses encounter (temuan) pembaca terhadap al-Quran dan contoh-contoh yang dikemukakan .merupakan suatu tekanan retorika dalam teks. Dalam karya terakhiranya, Rippin membahas tentang “wajah Tuhan”. Dia mencoba menghubungkannya dengan simbol Quran tentang pertanggungjawaban perseorangan. Dalam penelitian ini, dia juga menggunakan pendekatan analisis literer.
Buku karya Prof. Akh Minhaji sangat menarik untuk dijadikan bahan dalam diskusi mengenai islamic studies. Buku ini memang hanya sebuah bahan kuliah, akan tetapi dapat digunakan sebagai “pemantik” bagi siapa pun yang concern dalam kajian islamic studies, karena menawarkan beragam pendekatan yang pada akhirnya menghasilkan warna-warna baru dalam memahami Islam.