JURNAL SOSIOLOGI AGAMA. Vol II No. 1 JuniI 2008

Arah dan Isu Kajian Sosiologi Agama di Indonesia

Haedar Nashir
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga


Kajian sosiologi agama di Dunia Barat memiliki akar sejak awal kemunculan sosiologi klasik. Sementara untuk kasus Indonesia, rintisan Prof.H.A.Mukti Ali mengenai agama dan masyarakat sebenarnya dapat dijadikan titik tolak munculnya studi sosiologi agama. Untuk menentukan arah dan isu kajian sosiologi agama di Indonesia, pertama, perlu dilakukan reposisi tentang sosiologi agama dan studi agama pada umumnya. Kedua, dirumuskan paradigma sosiologi agama yang bersifat multi-perspektif dan multi-metodologis dengan asumsi bahwa studi sosiologi agama cenderung berwatak positivisme dan orientalisme, seperti dalam kajian-kajian mengenai fundamentalisme agama. Adapun prioritas kajian studi sosiologi agama yang dilakukan adalah: Pertama, perlu mengkaji berbagai macam fenomena “world-view” para pemeluk agama. Kedua, berbagai aspek relasional antara agama dengan segenap bidang kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, sosial budaya, dan lain-lain. Ketiga, yang menyangkut relasi sosial antar dan inter kelompok agama di Indonesia. Keempat, yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dan organisasi-organsisasi keagamaan.

Kata kunci : sosiologi agama multi-perspektif dan multi-metodologis


Gerakan Sosial Keagamaan

Mohammad Damami
Dosen Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga

Selalu saja di dunia ini terjadi benturan antara kemapanan dengan perubahan. Sebagian orang suka kemapanan, dalam saat seperti itu jika terjadi perubahan, ia akan mengalami reaksi. Perubahan dianggap sebagai sebuah aksi, karena itu perlu direaksi. Dalam konteks itulah, artikel berjudul “gerakan sosial keagamaan” disajikan untuk mengelaborasi korelasi agama dan dunia sosial yang digumuli. Gerakan sosial keagamaan itu sendiri dapat diartikan sebagai gerakan sosial atau aktivitas kolektif yang dilatarbelakangi oleh respons pemeluk agama terhadap ajaran agamanya secara kontekstual. Gerakan sosial keagamaan memiliki tiga faktor penggerak, yakni (1) ulama pemikir; (2) pranata keagamaan; (3) organisasi keagamaan. Dalam prakteknya, ketiga hal tersebut saling bersinergi dan berkohesi. Kohesi sosial internal agama bisa digoncang karena beberapa sebab, yaitu masuknya faktor kepentingan; dan perbedaan metode penafsiran ajaran.

Kata kunci: Gerakan sosial keagamaan, kemapanan dan perubahan


Doktrin dan Sejarah Kepemimpinan Sunni, Syiah,
dan Khawarij dan Implikasinya dalam Demokrasi Modern


Badrun Alaena
Dosen Sosiologi Kebudayaan
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga
Masroer Ch. Jb.
Dosen Agama dan Konflik Sosial
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Gerakan-gerakan Islam kontemporer memiliki konsep kepemimpinan politik atau khilafat yang beragam. Keragaman ini dapat dilacak dari berbagai konsep kepemimpinan klasik dalam perspektif Sunni, Syi’ah, dan Khawarij. Ketiga perspektif ini memiliki pengaruh yang masih dapat dirasakan hingga dewasa ini. Doktrin Sunni mengenai konsep bai’at, ahlul hili wal aqdi, dan majlis syuro masih mempengaruhi doktrin-doktrin modern dan model suksesi kepemimpinan dalam gerakan-gerakan Islam di Indonesia seperti PKB, Muhammadiyah, NU, PKS, HTI, MMI, dan lain-lain. Sementara doktrin imamah dan ahlul bait dalam tradisi Syiah yang direpresentasikan dalam wilayat faqih hingga sekarang masih diterapkan oleh Republik Islam Iran. Sedangkan doktrin kepemimpinan Khawarij berbeda dengan kedua paham yang lain dimana kepemimpinan politik tidak berada di tangan elit , melainkan di tangan umat.

Kata kunci : Doktrin khilafah, sejarah sosial, demokrasi modern



Ketimpangan Gender Pada Jabatan Stuktural
Kepala SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat

Oom Komarudin Maskar
Staf Pengajar STAI Sayid Sabiq
Indramayu Jawa Barat


Kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas dan profesionalitas guru sekaligus pengembangan karirnya sebagai pegawai, tanpa melihat perbedaan gendernya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat persoalan ketimpangan peran perempuan sebagai guru SD di Kabupaten Kuningan yang menduduki jabatan struktural kepala sekolah. Dari analisis gender terhadap pengambilan kebijakan pendidikan di SD Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan pembangunan di bidang pendidikan ternyata masih bersifat gender blind, yakni kurang memperhatikan isu kepekaan gender. Akibatnya kebijakan pengangkatan jabatan struktural kepala SD kurang proposional dari sisi gender; kaum perempuan masih sedikit yang menduduki jabatan kepala SD, sekalipun kualitas sumber daya mereka tidak diragukan

Kata kunci : profesionalitas guru, ketimpangan peran gender, gender blind


Iptek Berbasis Humanisme Religius
Pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Nafilah Abdullah
Dosen Ilmu Budaya Dasar
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga

Paradigma integrasi interkoneksi yang dibangun oleh UIN masih memiliki keterbatasan, karena cenderung jatuh ke dalam bangunan kritik epistemologis dan ideologis. Ini mengakibatkan paradigma integrasi interkoneksi tidak menyentuh persoalan dasar pemahaman agama yang selama ini menjadi satu-satunya cara pandang dalam melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu diperlukan paradigama baru yang berbasis humanisme religius, yakni iptek selayaknya bermuatan nilai-nilai kemanusiaan transeden. Dalam arti perkembangan iptek harus bernilai obyektif, yaitu hasil produknya dapat dimanfaatkan secara universal; Islam maupun tidak. Jadi produk iptek sebisanya bermanfaat untuk seluruh umat manusia tanpa memandang agama, bangsa, ras, suku dan warna kulit. Dengan demikian produk iptek bertumpu pada wawasan kemanusian yang berjiwa religius, yakni manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berada dalam kesucian dan kebaikan bagi semesta

Kata kunci: integrative-interconnective paradigm, religious human insight


Kepemimpinan Jawa

Nurus Sa'adah
Dosen Psikologi Sosial
Prodi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Kepemimpinan Jawa tidak cukup hanya kharismatik tetapi juga mistis kharismatik. Kefanatikan pada pemimpin mistis kharismatik pun tidak mudah pudar sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia lebih memilih pemimpin dari keturunan pemimpin mistis kharismatik meskipun tidak memiliki kemampuan sebagaimana kriteria kharismatik orang Barat. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia khususnya Jawa yang berbudaya kolektivis (extended family) lebih memandang bobot, bibit, dan bebet.
Kata kunci: pemimpin kharismtik, pemimpin mistik

2 komentar:

Anonim mengatakan...

saya suka dengan jurnal ini, menarik dan nyentrik

Lucu Dan Selalu Ceria mengatakan...

Heyy.. salam Kenal..

Blogne anak SA nichh..???